Minggu, 17 Februari 2008

Lembayung Majapahit - Bag. Kedua-puluh (20)

Senang rasanya bisa mengupload kelanjutan dari kisah sederhana ini. Setelah beberapa minggu ditinggalkan dan diendapkan dalam laci pikiran saja. Kisah mulai menjadi rumit, sementara keinginan untuk mencari sela terbaik baik isi cerita maupun sudut penuturan menjadi kepusingan tersendiri.

Bacalah buku-buku lainnya yang sejenis dulu. Akh, nasihat bijak itu seringkali bergaung didalam benak. Keinginan terbesar adalah memulai untuk membaca sekaligus menuntaskan buku Senopati Pamungkas 2, secara periode waktu Bocah Mada kecil hingga remaja bertepatan dengan setting waktu pada buku itu.

Apa yang terjadi dengan Ki Ajar Galura setelah mengetahui bahwa sepasang keris yang berhasil diambilnya hanyalah keris turunan semata? Bagaimanakah sikap yang diambil oleh Ibunda Prabu Tribhuanatunggadewi terhadap beberapa Senapati yang di penjara oleh Gajah Mada? Bagaimanakah sikap para senapati itu ketika mereka dibebaskan?

Sementara, cerita Bocah Mada yang tumbuh dari ia berusia 5 sampai 15 tahun menempa diri di lereng gunung Arjuna sendiri sungguh menarik untuk dikupas tuntas. Masa-masa mesu diri yang melelahkan. Belum lagi berbicara tentang peran Senapati Dalam Istana Halayudha yang memiliki sejuta akal untuk satu masalah yang ia hadapi, khususnya terhadap remaja sang Gajah Mada.

Terlepas dari itu semua, Gajah Mada ternyata dibawa oleh sang Brahmana dari istana utama yang didiami oleh Raden Wijaya, prabu Majapahit yang pertama. Siapakah sebenarnya orang tua dari bocah Mada ini?


Sang Brahmana dari Nusa Penida, Bali di masa akhir pendadaran Gajah Mada, sebelum ia kembali ke dalam lingkungan istana dalam, Sang Brahmana memerintahkan Gajah Mada mencari keberadaan sebuah pusaka berbentuk segitiga, peninggalan dari para leluhur yang agung, jauh sebelum kepulauan Nuswantara sekarang terbentuk. Dimanakah ia harus mendapatkannya? Bagaimana caranya? Konon, pusaka segitiga itu merupakan perlambang bangkitnya kembali kejayaan Nuswantara selanjutnya. Pusaka apakah itu? Dengan pusaka itu Gajah Mada mengawali perjuangan panjangnya, dan karena pusaka itu pula Gajah Mada menyembunyikan semuanya.

Begitu banyak yang masih harus diungkap. Tenang saja, jangan terburu-buru. Semua ada waktunya sendiri-sendiri.

Salam hangat selalu...
----------------------------------

Padepokan Watu Gunung, tepatnya berada di lereng sebelah timur Gunung Arjuna. Berada pada satu dataran yang merupakan puncak dari satu bukit. Bagian depan dan belakangnya merupakan lereng-lereng curam. Namun, padepokan itu memiliki jalan penghubung berupa jalan setapak diarah kanan dan kirinya, cukup lebar untuk dilalui sambil berkuda.

Dari arah lembah, dengan berkuda melalui jalan sebelah kiri, kira-kira akan memerlukan sepenginangan[1] waktu untuk sampai di padepokan itu. Sebaliknya, orang bermaksud naik ke puncak gunung itu, mereka harus mendaki memalui jalan setapak yang ada di sisi kanannya.

Bangunan utama padepokan Watu Gunung berada ditengahnya, dikelilingi oleh bangunan-bangunan lainnya yang berukuran lebih kecil. Cantrik padepokan itu sendiri tidak banyak, hanya berkisar seratusan murid saja. Mereka ngangsuh kawruh berbagai ilmu. Tak semua murid di sana belajar oleh kanuragan jaya kasantikan semata. Sebagian besar murid justru lebih banyak mendalami cara bercocok tanam, baik untuk memilih bibit padi, membuat pengairan, menentukan musim tanam dan musim panen. Juga belajar membuka lahan baru sebagai petegalan. Hanya sebagian kecil diantara mereka yang memperdalam kemampuan dalam olah sastra.

Apapun yang diminati oleh para cantrik di situ, Ki Ajar Watu Gunung mengharuskan mereka semua mendalami olah batin dengan kegiatan keagamaan, memanjatkan doa-doa pujian kepada para dewata di Khayangan.

Tengah malam itu, Ki Ajar Watu Gunung masih bersemedi di sanggar pamujan. Ruangan pamujan itu sendiri tak terlalu besar, di dalamnya hanya terdapat peralatan-peralatan yang biasa digunakan untuk keperluan pemanjatan doa-doa dan pujian kepada dewata yang agung. Beralaskan tikar pandan, Ki Ajar tengah duduk bersila di bagian tengah ruangan. Napasnya mengalir teratur, seperti orang yang tengah tidur pulas. Matanya terpejam, kedua telapak tangannya menangkup menyatu di dadanya. Iringan doa perlahan keluar dari mulutnya tanpa putus-putusnya. Bersatu dengan derasnya asap pembakaran kemenyan dan dupa yang terbang mengangkasa dari sebuah tungku kecil dari tanah liat dihadapannya.

Sementara itu, keadaan di luar padepokan penuh dengan kabut. Hawa dinginnya serasa menusuk tulang. Sesekali dari arah puncak gunung terdengar raungan garang harimau. Raja hutan itu biasa memberi tanda dengan bau air kencingnya sebagai peringatan harimau lainnya tidak memasuki wilayah kekuasaannya. Ular bandotan yang memiliki badan sebesar paha manusia, tengah bertengger di dahan pohon randu alas raksasa. Sejenak ia menegakkan kepalanya ketika raja hutan itu meraung garang tak jauh dari tempatnya. Namun, ia tak terlalu peduli, sejenak kemudian, ia menurunkan dan meletakan kepalanya kembali ke dahan pohon, tidur. Dirinya tak bernafsu untuk menghadapi sang raja hutan itu. Perutnya masih penuh setelah ia berhasil memangsa seekor induk kancil sehari sebelumnya di tepi sebuah danau

Ruang dalam sanggar pamujan kini telah sepi, tak terdengar lagi bacaan doa-doa dari mulut orang tua itu. Perlahan mata Ki Ajar Watu Gunung terbuka. Ia amati bara api yang semakin mengecil, asapnya semakin surut pula. Tangan kanannya terjulur mengambil potongan-potongan kecil batu kemenyan, ia letakan beberapa ke dalam tungku api itu. Lalu ia ambil pula sejumput butiran halus serbuk dupa, ia taburkan di atasnya. Sesaat nyala api membesar dan membakar potongan-potongan kemenyan itu. Asap pembakaran semakin banyak mengepulkan, menghantarkan asap wangi memenuhi ruang dalam sanggar pamujan itu.

Mata batinnya yang setajam eri pandan mendadak berdesir keras. Sejenak Ki Ajar mencoba memejamkan matanya kembali, ia coba kerahkan panggraita dalam hatinya. Perlahan ajian sapta pangrungu ia bangkitkan dari tidurnya. Berlandaskan ilmu itu, kemampuan mendengar telinganya akan meningkat dan memiliki ketajaman tak kalah dengan telinga burung guwek.

Hemmm, saatnya telah tiba. Sebentar lagi, mereka akan sampai di sini” ucapnya di dalam hatinya.

Perlahan ia mulai rapikan kembali peralatan untuk pamujannya. Setelah semuanya dirasa telah pada tempatnya, Ki Ajar Watu Gunung mulai melangkah keluar sanggar dan menuju ke halaman depan padepokannya.

Tepat di tengah halaman depan, orang tua itu mendongak ke langit. Dengan seksama ia perhatikan susunan pijar bintang yang satu dua mulai menampakan diri. Langit mulai bersih, gulungan awan telah menjauh tertiup angin sedari tadi. Tiba-tiba, matanya terpaku oleh satu bintang yang dilihatnya bersinar sangat terang jauh di langit utara.

Hem, sepertinya bakal ada kejadian besar yang akan di alami oleh bumi Tarik ini. Peralihan masa dari Singasari ke Wilwatikta sepertinya sesuai dengan kehendak para dewata. Semoga saja, aku dan sahabatku itu, tak salah menyimpulkannya” hati Ki Ajar Watu Gunung mencoba mencari keyakinan atas kesimpulannya itu.

Akh, kenapa aku mesti pusing sendiri? Bukankah lebih aku tunggu saja sampai ia datang kemari dan aku bisa membicarakan hal ini berdua dengannya” orang tua itu berusaha menutupi keresahan hatinya.

Perlahan ia memutar balik badannya, menuju satu amben yang terletak di teras depan padepokannya. Perlahan Ki Ajar Watu Gunung menaruh badannya di atas amben itu. Ia duduk bersikap semedi, bersila. Perlahan ia pusatkan semua kekuatan nalar budi yang dimilikinya.



[1] Sepenginangan = jumlah waktu yang dihabiskan seseorang untuk menginang. Menginang sendiri merupakan kebiasaan masyarakat Jawa masa lampau, berbahan baku: daun sirih, injet, buah jambe dan gambir. Keempat bahan itu bisa ditumbuk terlebih dahulu, biasanya menggunakan alat yang khusus untuk keperluan itu, terbuat dari besi kuningan. Hasil tumbukan tsb kemudian dikunyah-kunyah sampai habis rasanya, seperti kita memakan permen karet. Setelah proses menginang tsb selesai, orang biasanya akan melanjutkan dengan “menyusur”, yakni membersihkan gigi yang berwarna kemerah-merahan akibat menginang tadi dengan racikan tembakau. Seluruh proses ini bisa memakan waktu sekitar 30 menit, bisa lebih bisa kurang.

Tidak ada komentar: