Minggu, 10 Februari 2008

Ibuku, Madu Ayah Tiriku (Bag. Pertama)

Aku anak lelaki semata wayang dari ibuku. Ibuku seorang wanita jawa yang terdampar sendiri di kota yang sangat asing baginya, Jogja..Di kota gudeg inilah, ia memperjuangkan hidupnya dan juga hidupku, anak satu-satunya, yang menjadi harapannya di usia renta nanti.

Aku hanyalah seorang bocah. Di saat teman-temanku seusiaku sedang belajar di Taman Kanak-kanak, aku tetap di rumah kontrakan bersama ibuku. Aku tinggalkan Taman Kanak-kanakku sewaktu ibu membawaku minggat dari rumah beberapa minggu yang lalu. Ibu tak tahan lagi untuk hidup bersama bapak. Hampir setiap hari mereka berdua bertengkar. Bapak hampir setiap hari pulang pagi, dengan wajah lusuh, dengan mata berat kurang tidur, dengan mulut yang selalu berbau sama setiap harinya, aroma KTI yang selalu saja setia menemani malam-malam yang dilalui bapakku.

Bukan itu semua yang membuat ibu mengajakku minggat meninggalkan tepian sungai Kalimalang, tempat rumah petakan tempat tinggal kami tinggal dulu, di pinggiran Jakarta Timur. Uang. Ya uanglah sumber masalahnya. Bapak, demikian ibuku memanggilnya.Aku sendiri lebih senang memanggilnya dengan sebutan ayah. Ia seorang preman di terminal bus Cililitan. Tak setiap saat ia bisa memberikan uang, walau sedikit, cukup untuk sekedar menyalakan api kompor ibuku. Seringkali, ibuku harus pontang-panting kesana-kemari mencari kebaikan hati pemilik warung agar mengijinkannya berhutang, agar kompor kami bisa nyala, agar aku anak semata wayangnya bisa makan, sekedarnya. Hampir di setiap warung yang ada di sekitar rumah kami, ibuku memiliki hutang di sana.

"Lihatlah bapakmu itu, nak. Jangan kau ikuti jejaknya. Kau harus sekolah, yang rajin, agar kelak kau dapat hidup dengan wajar, seperti yang lain" tak pernah bosan ibu menasehatiku setiap kali bapak pulang pagi dan langsung jatuh tertidur dalam kasur. Kasur satu-satunya yang kami miliki dan kami gelar dengan alas tikar di atas tanah. Lantai petakan kami memang tanah, bukan peluran semen, bukan ubin, apalagi keramik.

Aku sendiri tak sepenuhnya paham omongan ibuku itu. Aku hanya merasakan, bapakku menyayangiku. Bapakku selalu menggendongku di pundaknya jika ia mengajakku berjalan-jalan menyusuri tepian Kalimalang.

Aku masing ingat, bulan lalu, bapak mengajakku ke pasar malam yang di adakan di lapangan bola tak jauh dari rumah petakan. Sore itu ia menyuruhku. Tak biasanya.

"Ayo, jagoanku, kau lekaslah mandi, ayah akan ajak kau melihat pasar malam" kata ayahku dengan tersenyum lebar.

"Benar yah?" Teriakku gembira namun setengah tak percaya.

"Tentu, pernahkah ayah berbohong padamu" jawabnya dengan semangat yang sama, gembira.

"Lekaslah kau mandi nak, ayah semalam dapat uang banyak, lihat itu ibumu, wajahnya ceria bukan? Ibumu pun sudah ayah suruh melunasi hutangnya di warung" jelas bapak sambil menunjuk ke arah ibuku yang sedang menyapu halaman dengan dengan sapu lidi. Tapi kulihat wajah ibuku tak menunjukkan rasa gembira.

"Ibu, ...?" tanyaku terhenti di tengah-tengah, tak dapat kuselesaikan. Aku ragu.

Ibu sejenak menghentikan pekerjaannya. Perlahan ia hirup napas panjang, mencoba memenuhi rongga dadanya dengan udara.

"Mandilah nak, ayahmu benar. Mungkin ia ingin membelikan baju baru untukmu. Atau, kau boleh beli makanan kesukaanmu di sana" tuturnya pelan. Nampak ia memaksakan senyum di mulutnya.

"Horeeeee....... aku mau dibelikan baju baru, aku mau roti pancong kesukaanku, ayah..." teriakku sambil berlari menuju halaman belakang rumah. Dengan tak sabar aku bergegas menyelesaikan mandiku.

Sore itu, aku dan ayahku sudah rapi. Badan kami serasa segar. Ibuku tak ikut. Ia lebih senang menunggu di rumah. Radio kecil yang dibelikan ayah di loakan Jatinegara menjadi teman setianya.

Seperti biasa, aku digendong dipundaknya. Kedua tanganku di pegangnya, direntangkannya agar tak jatuh. Ayah berjalan dengan gembira, walau kaki kanannya sedikit kaku. Lututnya tak leluasa ia gerakan. Ayahku tak pernah meninggalkan belati kecil panjang di kaki kanannya. Pisau itu yang mengganggu kebebasan gerak langkahnya.

Tidak ada komentar: