Jumat, 31 Oktober 2008

Cerpen: "Lara, Bercinta dalam Kabut"

Lara, beberapa saat terakhir ini banyak termenung dalam kesendiriannya. Ketika jam 20.00 malam tiba, Putri, nama cinderella kesayangannya telah lelap terbuai mimpi.

Hari ini, Putri, anak tunggal tercintanya tidur dalam senyuman. Seusai bermain-main dengan caryon kesukaannya, ia mewarnai gambar-gambar kartun kesukaannya. Hobi yang ia lakukan disetiap saat yang ia miliki. Buku-buku mewarnai hampir memenuhi setiap ruangan rumah yang ada.

Lara kembali dalam ketermenungannya. Ia pandangi layar ponsel ditangannya.

Belum terdengar deru kendaraan Cakra suaminya. Seperti biasa, ia tiba di rumah paling cepat jam 21.00 malam. Tumpukan pekerjaan yang tak bisa ditunda akibat deadline harian, membuatnya ia selalu sibuk dan sibuk. Datang malam dan berangkat kerja kembali keesokan harinya ketika matahari belum bersinar penuh.

"Telpon? Jangan.... Telpon? Jangan... Atau aku sms saja?" batinnya bergelut dalam bingung. Hatinya bersiteru dengan akal pikirannya sendiri.

Sementara di layar ponsel tertera sederetan no ponsel dengan nama Anom.

Pikiran Lara menerawan beberapa minggu yang lalu. Ketika itu, ia pulang bersama Putri mengunjungi kedua orang tuanya di kota kelahirannya. Adik lelakinya menikah. Tak pernah diduga sebelumnya, ketika di kampung halaman itu, Lara bertemu dengan Cahyo, sahabat baik Anom, kekasihnya yang sesungguhnya tak pernah ia bisa hapuskan dari kedalaman lubuk hatinya. Dari Cahyo pula, kini Lara bisa menyimpan nomer ponsel Anom.

"Kau telpon Anom saja, Lara. Ia pasti suprise dan sangat senang bisa bertemu kembali dengannya", jelas Cahya bersemangat.

"Apakah ia mau menerima telpon dariku?" tanya Lara setengah berharap setengah ragu.

"Ah, gila kau. Tentu saja ia akan senang sekali bisa mendengar suaramu. Bukankan dulu kalian berpisah karena keinginan mamamu? Kutahu, diantara kalian tak pernah ada masalah apapun kan?" balas Cahyo panjang lebar. Matanya berbinar senang.

"Kau lihat diriku, Lara. Aku saja yang hanya sahabat kalian berdua, begitu senang bisa bertemu denganmu. Apalagi Anom? Ia pacarmu bukan? Dan kalian tak pernah terlibat pertengkaran apapun sampai kalian berdua memutuskan berpisah karena desakan mamamu itu. Benar kan?" kejar Cahya. Kedua tangannya terentang, seolah mencari pembenaran akan kalimat yang ia ucapkan.

Entah mengapa, Lara semakin membenarkan kalimat yang masuk ke dalam telinganya.

"Cahyo benar. Kenyataannya, kami sama-sama menangis saat perpisahan itu terjadi. Kami masih saling mencintai. Dan kenyataannnya, ia cinta matiku hingga kini. Aku tak pernah bisa melupakannya, tak akan pernah berhasil mengusirnya dari hati ini" batin Lara penuh pergolakan yang pada akhirnya membuat dirinya bingung sendiri.

"Dia tinggal dimana sekarang? Berapa putranya?" tanya Lara sembari berusaha mengusir kecamuk dihatinya.

"Wah, ia sudah berhasil sekarang. Ia kerja di perusahaan asing, sebuah group konglomerasi international. Seingatku, ia punya anak dua" jelas Cahyo. Ada kebanggaan disana yang tertangkap oleh mata Lara. Rupanya, Cahyo sebagai sahabat terdekat Anom, ikut merasakan kegembiraan melihat keberhasilan sahabatnya itu.

"Padahal kau tahu sendiri, Lara. Semasa kuliah dulu, ia lebih sering mencontek dari aku. Aku ini lebih segalanya dibandingkan pacarmu itu. Tapi rupanya ia berubah semenjak kerja, nyatanya, ia kini berhasil dalam karirnya. Aku salut padanya. Bahagia melihat semua itu" jelasnya lagi. Seolah Cahyo tahu perasaan apa yang baru saja terlintas dibenaknya. Ia jelaskan walau Lara sendiri belum menanyakannya.

Berjalan waktu dari hari ke hari. Matahari dan rembulan begitu harmonis bergantian menyinari bumi, silih berganti. Tak terasa, tiga bulan sudah berlalu.

Lara kini sedang di kota kelahirannya kembali. Di kampung halamannya. Tapi, malam ini ia tak tidur di rumah orang tuanya. Di sebuah hotel berbintang di tengah kota. Semalam, ia berpamitan kepada mereka, malam ini ia akan tidur di rumah seorang sahabatnya semasa kuliah dulu. Putri ia titipkan pada neneknya.

Pagi masih gelap, walau begitu, sinar temaramnya mulai menembus sela-sela gordin jendela. Dinginnya AC ruangan menembus tebalnya selimut yang mereka kenakan.

Mengenang semalam, air matanya perlahan kembali membuncah. Mata terasa panas. Ada penyesalan di sana, namun lebih banyak kebahagiaan di ujung terdalam hatinya.

"Terima kasih kak Anom... Bagiku, semalam adalah malam pengantin yang sesungguhnya bagiku. Begitu lama aku telah menantinya..." tangannya membelai pelan wajah Anom yang masih pulas tertidur disisinya. Perlahan ia kecup kening Anom perlahan dengan segenap perasaan yang ia miliki.

"Maafkan Lara, Bang Cakra. Lara bersalah. Namun Lara berjanji tak akan meninggalkan Bang Cakra, juga Putri tercinta, selamanya. Namun, maafkan bila cinta Lara sungguh tak bisa berpaling. Ia telah lama memiliki pilihannya sendiri"jerit batin Lara tenggelam dalam kesunyian.

Jumat, 24 Oktober 2008

23 Oktober Ketigabelas

Ingatkah kau...
Kala kuseret dirimu
Kedalam kolam ini
Yang sengaja kuciptakan untukmu

Seringkali malam itu tak berbintang
Tak jemu deras hujan menerpa bumi
Membuat daun kelapa bergoyang kencang tak kepalang

Diriku yang tak berbaju dengan lipatan celana di lutut
Mencoba menghalau semua itu
Iringan doa dan dzikirmu merasuki jiwaku

Sebenarnya aku harus malu padamu
Diriku tak berbaju
Tapi kau katakan padaku
Nanti kita beli kapan-kapan

Ingin kukenakan pakaian yang terbaik untukmu
Tak jemu kata bisikan,
Masih banyak waktu untuk kita membelinya di masa depan

Merenangi dalamnya kolam
Hingga ke dasar yang banyak berbatu

Batu hitam
Batu padas
Kerakal...
Hanya ada setitik kemilau
Ketika segenggam pasir ditimpa cahaya pagi

Air kecoklatan
Beku karena malam
Kotornya dedaunan
Tak pernah membuat kita tenggelam

Biarkan saja
Hadapi saja
Sabar saja
Smua akan diendapkan oleh waktu

Berulangkali kita selami
Berulangkali kita seberangi
Tak ada kelelahan disana

Ketika samudera ada dalam dada...
Kolam ini tak pernah berarti apa-apa....

* Diramaikan oleh barisan obor yang jalan beriringan di tengah malam

Foto dicopas dari: http://foto.okezone.com/

23 Oktober Ketigabelas

Ingatkah kau...
Kala kuseret dirimu
Kedalam kolam ini
Yang sengaja kuciptakan untukmu

Seringkali malam itu tak berbintang
Tak jemu deras hujan menerpa bumi
Membuat daun kelapa bergoyang kencang tak kepalang

Diriku yang tak berbaju dengan lipatan celana di lutut
Mencoba menghalau semua itu
Iringan doa dan dzikirmu merasuki jiwaku

Sebenarnya aku harus malu padamu
Diriku tak berbaju
Tapi kau katakan padaku
Nanti kita beli kapan-kapan

Ingin kukenakan pakaian yang terbaik untukmu
Tak jemu kata bisikan,
Masih banyak waktu untuk kita membelinya di masa depan

Merenangi dalamnya kolam
Hingga ke dasar yang banyak berbatu

Batu hitam
Batu padas
Kerakal...
Hanya ada setitik kemilau
Ketika segenggam pasir ditimpa cahaya pagi

Air kecoklatan
Beku karena malam
Kotornya dedaunan
Tak pernah membuat kita tenggelam

Biarkan saja
Hadapi saja
Sabar saja
Smua akan diendapkan oleh waktu

Berulangkali kita selami
Berulangkali kita seberangi
Tak ada kelelahan disana

Ketika samudera ada dalam dada...
Kolam ini tak pernah berarti apa-apa....

* Diramaikan oleh barisan obor yang jalan beriringan di tengah malam

Selasa, 14 Oktober 2008

Suasana Saat Nonton Lagi Film "Laskar Pelangi"

Hari Minggu lalu, tepatnya 05 Oktober, menghabiskan sisa libur lebaran saya ajak keluarga nonton film ini (lihat disini). Eh, Sabtu kemarin rumah dipenuhi oleh adik ibu beserta adik-adik sepupuku. Mereka sengaja datang tuk berkunjung dan menginap di rumah. Alhamdulillah.

Obrolan malam mingguan itu berlangsung hingga lewat tengah malam, di temani oleh irisan buah mangga, jeruk dan aneka gorengan. Sayang, tok beer di rumah lagi habis, hehehe.

Paginya, ditemani sarapan nasi uduk, yang sayangnya lagi tak ada semur jengkolnya, kami melanjutkan obrolan semalam yg belum usai. Tema pembicaraan ngalor ngidul kesana kemari tak ada putusnya, hingga akhirnya kami membahasa film yang tengah digandrungi banyak orang saat ini, yakni Laskar Pelangi.

Akhir kata, kami berangkat ke jaringan XXI di Bekasi. Tepat jam 10.00 pagi itu kami sudah menunggu di koridor depan bioskop yg belum dibuka. Calon penonton sudah menumpuk. Benar-benar padat. Pengamatan saya, hampir 80% dr para penunggu ini akan lari ke Studio 1 tempat dimana film LP ini diputar. Jelas, mereka bakal menjadi pesaing kami dlm berlomba mendapatkan tiket masuk. Struggle On The Fittest, begitu kata para bule disana.

Kalangan remaja ABG hingga anak-anak kecil yang ditemani oleh kedua orang tuanya. Berdasrkan survei singkat, anak-anak itu ada juga yang ditemani teman-temannya, saudara-saudarany, tetangganya, hingga ke pacar-pacarnya yang notabene masih bocah-bocah juga. Bahkan ada yg di drop melalui jasa kurir, ataupun sekedar diantar oleh sopir taksi, nanti pulangnya di jemput. (Jangan percaya paragraf ini...)

Berikutnya, ini kisah nyata, bukan karangan. Ada dua laki-laki, entah harus menyebut bapak atau om-om ya? Mereka mendiskusikan kepadatan penunggu ini. Saya dengarkan, lebih dr 15 menit mereka menggerutukan prosedur antrian yang sangat padat itu. Mestinya, mereka buka untuk pesanan juga, jadi kita bisa pesan atau beli tiket untuk 1, 2 atau 3 hari ke depan.

Lelaki satunya, menanggapi tak kalah serunya. Aneka teori mereka keluarkan, dlm upaya mendapatkan tiket film yg laris manis ini. Sementara, sambil meraba dan menekan-nekan perlahan pintu pembatas yang hanya terbuat dari plastik tebal, entah polycarbonat atau apapun namanya. Saya ikutan nimbrung saran kepada mereka berdua.

"Pak, dinding pembatas ini, tampaknya tak seberapa kuat. Bagaimana jika kita robohkan dan segera berlari ke loket?. Kita pasti dapat tempat terdepan"

Sesaat mereka terpana dan mencoba mencerna usul saya itu sebelum akhirnya pada tertawa.

"Ah, jangan sampai begitu pak. Nanti kita ga jadi nonton, malah urusan sama polisi..."

Langsung ke filmnya saja. Saya lebih dapat menikmati film ini saat menonton untuk yang kedua kali. Lebih tertawa saat ada kejadian lucu. Begitu juga saat adegan sedih dan mengharukan, saya pun lebih menangis dibandingkan sebelumnya. Tak ada bosan saat menontonnya. Tercatat, sebuah ember menjadi penuh air mata kami yg menangis karena haru saat menikmati film ini.

Rabu, 08 Oktober 2008

Terpaksa, Balik Kemarin Aku Menyuap Lagi

Hari Jumat, tgl 3 kemarin, saya membawa keluarga kembali mengarah ke barat. Berangkat jam 08.00 an dr salah satu RM spesialis gudeg langganan di Jogja menuju Jakarta melalui jalur selatan. Jalanan mulai ramai dilalui para peserta ritual tahunan bangsa ini, lebaran. Mereka mulai mengarahkan perjalanannya ke arah rumah tinggal mereka. Musim mudik sudah usai, tinggal baliknya.

Sampai di daerah Sedayu, menuju arah Wates, di depan kami ada sebuah kendaraan yang berjalan terlalu lambat, sementara jarak dengan kendaraan di depannya sudah terpaut jauh. Hati saya mulai risi mengikuti mobil yang jalannya kaya pengantin sunat ini, sementara di belakang, kendaraan mulai mengekor mengikuti buntut kendaraan kami.

Sebenarnya saya paham benar, garis ditengah jalan berbentuk garis lurus tak putus-putus dan dobel lagi, artinya baik dari jalur yang kami pakai atau sebaliknya, tidak diperkenankan untuk melanggar jalur sebelahnya.

Mencoba bertahan untuk sabar jalan berlahan untuk sesaat, akhirnya tak tahan juga, di detik berikutnya, wuzzz, kami salip kendaraan di depan kami itu dengan mengambil porsi jalur sebelah kami.

Tuhan Maha Pemurah, begitu kami lewati kendaraan itu, tampak pak polisi dengan senyum manisnya tengah mengatur arus kendaraan di tengah jalan, tepat di hadapan kami. Sementara, di jarak seratus meter di belakangnya, di sisi kiri jalan terparkir sebuah mobil patroli polisi dan seorang bapak petugas yang terhormat berdiri di belakangnya.

Begitu kendaraan kami terparkir rapi di pinggir jalan, sang bapak itu menghampiri kami, tetap dengan senyum nan ramah. Langkahnya tegap. Bangga kami melihatnya postur gagah seperti bapak petugas ini. Seringkali saya melihat, seorang polisi, sedikit berumur dengan perut yang membuncit. Bagaimana ia dapat mengejar buruannya yang nakal, sementara ia sendiri harus menjaga perutnya yang gendut itu. Setuju?

Tapi yang datang ini benar-benar gagah dan ramah. Tak nampak kemarahan atau kejengkelan di matanya, padahal ia tahu persis kenakalan kami dengan garis-garis lalu lintas itu. Begitu tiba disamping kaca tempat duduk saya, ia angkat tangannya menghormat, katanya:

"Selamat pagi pak. Bapak telah melanggar garis pembatas jalan. Mohon berikan STNK dan SIM bapak".

Percakapan berlanjut di belakang mobil patroli. Saya keluar tetap dengan celana pendek dan sandal jepit kebangsaan. Tak ada tempat dan waktu yang pas bagi saya untuk menghormati dirinya dengan mengganti celana panjang dan sepatu, bukan? Bukaaaaan...

"Dari mana pak? Atau mau kemana?" tanya sang petugas.

"Dari Jogja pak, mau pulang ke Jakarta" jawabku sambil mencoba seramah mungkin.

"Bisa bahasa Jawa, pak?" tanyanya lagi.

"Yo mesti iso, pak. Lha, wong aku wong kene" saurku cepet.
("Ya pasti bisa, pak. Lha saya ini kan orang sini" jawabku cepat).

Percakapan selanjutnya berlangsung akrab dalam bahasa jawa sehari-hari, penuh tawa dan canda selayaknya dua sahabat yang bertahun-tahun tak bertemu. Ini terjemahannya.

P - "Bagaimana ini mas? Kalo ditilang biayanya seratus ribu"
S - "Ya sudah pak. Saya memang salah, ditilang saja"
P - "Loh, nanti mas jadi repot. Kan Jauh. Mas di Jakarta sementara sidangnya disini"
S - "Ndak apa-apa pak. Saya banyak teman disini. Nanti biar saya minta bantu mereka untuk datang menebusnya ke pengadilan. Tolong buatkan saja surat tilangnya dengan form biru, jangan form merah"

Sejenak pak pol itu memandang saya, terus ia tanya lagi.

P - "Di Jakarta kerja dimana mas?"
S - "Di pabrik pak. Saya ini kuli pabrik"
P - "Wah, di pabriknya pasti pejabat ya? Mobilnya saja bagus"
S - "Masa pejabat pakai sandal jepit kaya gini, pak. Ga pantas"
P - "Lho, pengusaha saja banyak yang cuma pakai celana pendek kalo pergi kemana-mana"

Keduanya sesaat cengengesan.

S - "Trus, gimana pak? Saya tunggu surat tilangnya, takut keburu siang dan macet nanti"
P - "Gini saja mas. Sekarang lagi lebaran, saling memaafkan. Nah, apa mas keberatan jika sekali-kali memberi buat polisi untuk berlebaran?"

Sesaat saya terdiam tergugu. Sambil menahan nafas yang jadi ga karuan, saya jawab lagi.

S - "Sebenarnya saya ingin ditilang saja, pak. Saya salah kok"
P - "Ayolah mas, apa ga kasihan sama petugas kaya kami ini. Seikhlasnya saja. Sukarela, terserah mas mau kasih berapa"

Semenit kemudian, kami berlalu dari tempat itu, setelah saya selipkan uang "noban" ke dalam buku tilangnya. Tak lupa, saya ambil kembali SIM dan STNK. Wuzzz...
-------------------
Gambar dari:
sufimatre.wordpress.com

Senin, 06 Oktober 2008

Jogja, Tempat Hati Berlabuh - Bag. 2 "Sholat Id di Alun-alun Lor Depan Kraton"

Pagi waktu Shubuh, mata sudah dipaksakan untuk terbuka. Lelah perjalanan kemarin dr Purbalingga seolah tak berbekas lagi. Nikmat ayam panggang Klaten sebelah kampus UGM masih semalam masih terbayang. Ingatan pagi ini kudu berangkat pagi-pagi benar tuk Sholat Id membuatku bersemangat tuk mandi, walau udara dingin terasa.

Jam 05.15 sudah menderukan mesin kendaraan menuju gedung THR, bioskop low end yang jadi langganan jaman sekolah dulu. Nantilah, saya cerita lebih dalam tentang kisah maksiat saya dgn gedung bioskop ini di jaman dahulu kala. Sekarang kita cerita yang baik-baik saja dulu.

Hanya memerlukan waktu 15 menit dr penginapan sampai di pelataran parkir gedung bioskop yang ternyata sdh berubah nama dan fungsi. Kini gedung ini bernama "Jogja Gelery". Dari namanya, kita pasti tahu apa fungsinya gedung itu sekarang.

Lapangan besar yang biasa dijadikan ajang sekatenan, masih teramat lengang. Diujung sana, diseberang ringin kembar, nampak mimbar sang khotib. Di depannya digelar karpet sembayang sebanyak 3 baris, sisanya kebelakang hanya di pasang tali-tali yang menunjukkan barisan shaf sholat.

Keinginan terpendam dalam hati semakin membara. Angan dan ingin yang selama ini terpendam, walau kenyataannya saya pernah hidup berpuluh tahun di kota ini, namun tak sekalipun keinginan ini muncul dalam angan, kini membuncah minta pelampiasan.

"Yuks mas, kita harus duduk di barisan depan paling dekat dengan tempat imam dan khatib berada" ajak saya kepada anak lelaki sulung yang menyertai sholat Id kali ini. Sementara istri dan si bungsu, tahun ini harus sholat sendirian di kamar penginapan, perut istri mendadak konslet sejak semalam.

"Kenapa harus paling depan, pa?" tanya si anak penasaran.

"Lihat saja nanti, semoga keinginan papa kali ini bisa sejalan dengan rencana Allah di atas sana" jawaban yang sesungguhnya justru menambah bingung anak lelaki saya ini. Tapi ia diam saja, walau hatinya pasti ga puas.

Ambil tempat duduk di shaf ketiga dari depan, pas di tengah-tengah antara imam dan khatib.

"Mas, tunggu saja, di depan kita ini nanti, Sri Sultan akan duduk dan sholat disitu" bisik saya lirih ditelinga kanan si sulung.

Hari semakin siang, panas mentari mulai mengusir dinginnya embun pagi di rerumputan alun-alun lor ini. Akh, bicara soal embun dan rumput pagi, membuat pikiranku menerawang ke nama seorang rekan dari pulau dewata. Sedang apakah ia sekarang? Gelombang manusia tak ada putus-putusnya memasuki arena sholat kali ini, baik dr arah kantor pos yang ada tepat di depan kraton Jogja ini, maupun dari daerah-daerah pemukiman yang ada di kiri kanannya. Alun-alun sendiri seperti berubah menjadi lautan manusia yang siap menampung sebesar dan sebanyak apapun gelombang manusia yang datang. Dahsyat, mungkin jumlah orang yang datang tak kalah dengan padatnya manusia di lapangan masjid Istiqlal Jakarta.

Jam 07.00 sholat dimulai, kami mencoba menjalani semua itu dengan keikhlasan dan kekhusyuan yang kami punya. Selepas sholat, ritual dilanjutkan dengan ceramah sang Khatib di mimbar. Prof Dr Habib Moh Chirzin, sungguh masih muda belia dengan gelar setinggi itu. Salut untuknya.

Begitu acara selesai, tanpa sempat pamitan pada si sulung, saya berdiri dan berlari menghampiri Sri Sultan X yang baru saja berhasil meluruskan kakinya tuk berdiri dan beranjak pulang. Tanpa sadar setengah kaget melihat kedatangan saya yang begitu tiba-tiba dan menjulurkan tangannya kepadanya, ia menyambut tangan saya.

Momen itu hanya berjalan 3-4 detik saja. Saya jabat erat tangannya. Dengan sepenuh hati saya tempelkan punggung tangannya ke dahi saya. Di detik berikutnya, saya cium punggung tangan sang nata tersebut. Perlahan saya lepaskan jabatan tangan saya itu, dengan ngapurancang, saya menundukkan dan menganggukkan kepala kepada beliau sembari berjalan mundur perlahan. Dalam sepersekian detik, puluhan orang bergegas mengikuti tindakan saya tersebut, termsuk si sulung yang sejenak kemudian saya lihat ikut bersalaman dengan Sri Sultan X itu.

Inilah tujuan utama saya ke Jogja kali ini. Menghirup udara Jogja, menyerap aura magisnya dan sungkem kepada sang raja. Semua sudah berhasil saya jalankan pagi ini.

Bateri batin dan spirituil yang sepertinya low bat mendadak terasa full power lagi. Bahkan seperti baterei HP baru yang habis di charge selama 8 jam, begitu kata buku manualnya. Dada terasa penuh, aura Kraton, Parangtritis - Parangkusumo serta kawah Merapi melebur menyatu dalam dada sang kawula alit seperti saya. Ngalap berkah namanya. Bagi kami, tak ada yang melebihi kasunyatan yang begini indah seperti indahnya pagi ini.

Jogja, Tempat Hati Berlabuh - Bag. 1

Lama sekali saya tak bisa menjalani sholat Id di kampung halaman sendiri, Jogja. Seingat saya, lebih dari 5 atau 6 tahun lalu, mungkin lebih, untuk terakhir kali saya menjalankan sholat Id di kota tersebut. Ketidakbisaan itu karena alasan waktu ataupun karena saya memang tidak bisa pulang di hari raya tersebut.

Tahun ini, kerinduan itu begitu memuncak. Serasa asmaragama yang tak mungkin tuk ditunda lebih lama lagi. Jauh-jauh hari, saya perhitungkan, hari raya yang jatuh ditengah minggu kali ini merupakan satu kesempatan terbaik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

"Lebaran ini, saya harus pulang" jerit dalam hati.

Entahlah, kota kecil yang sekarang semakin krodit dan semrawut itu, tak pernah lekang dalam hati. Kerinduan yang selalu mengundang saya untuk datang dan datang lagi kesana. Sementara itu, tak ada lagi keluarga dalam arti sebenarnya yang kudu saya "sungkemi". Rumah orang tuapun sudah bukan milik kami lagi. Tapi, itulah kenyataannya.

Batin ini selalu merindukan udara kota Jogja. Menikmati jalan-jalan yang sering saya lalui dan nikmati. Airnya, makanannya, auranya. Ya, itu dia! Aura kota ini yang selalu memiliki nilai magis tersendiri, membuat hati ini tak mungkin menjauh selamanya. Dalam berjalannya kurun waktu, hati selalu saja memupuk helai demi helai kerinduan, merajutnya menjadi panggilan jiwa.

Kota ini bukanlah kota kelahiran, namun di kota inilah jiwa saya dibesarkan. Cara memandang dunia, baik secara kasat mata maupun halus, simbol-simbol keharmonisan antara sesama dan gusti pangeran dibenamkan dalam jiwa. Manunggaling manusia, alam lingkungan dan ingkang gusti diwujudkan dalam simbol-simbol yang sulit dipahami secara akal pikiran modern masa kini namun mengikat "rasa" sedemikian kuatnya dlm lubuk hati terdalam.

Disamping itu, pemahaman hubungan magis antara kraton, pantai kidul dan sang penjaga setia gunung merapi, merupakan satu kabut tebal yang selalu melindungi kami semua kawula Jogja dengan"rasa" tentrem yang sulit dijabarkan.

Meninggalnya Sultan IX dan penampakan Sri Ratu Kidul dalam kereta kencana yang menandai restu sang ratu dengan pengangkatan Sultan X merupakan pengalaman batin yang sangat mengayakan dimasa lalu. Begitu juga mengenai perjalanan Sultan X yang diuji harus mengambil air dari Taman Sari ke laut kidul pulang pergi dalam waktu yang sesaat, sulit dipercaya kebenaran logisnya, namun sangat sulit tuk dihapuskan begitu saja dari pandangan batin ini.
--------------------------------------------------------------

Gambar: http://bornjavanese.blogspot.com/

Selasa, 16 September 2008

Kita Akan Menjadi Besar Jika Mau Berkaca Pada Diri Sendiri

Bagi kawan-kawan disini, khususnya yang bekerja di perusahaan swasta, pasti paham bagaimana ketatnya persaingan dalam memperebutkan karir dan kesempatan yang ada. Selayaknya politikus ulung, kita mesti pandai-pandai bersiasat guna mencapai tangga tertinggi yang ada. Yang paling sigap dan kencang larinya, pasti akan sampai di puncak paling duluan. Itu artinya, nama besar, kekuasaan dan uang, akan mengalir semakin deras memasuki kantong kita. Kalau sudah sampai di tahap ini, ibarat bang Bento, kita ingin apapun, sekali lirik oke sajalah.

Menggapai cita-cita setinggi langit sebenarnya sah-sah saja. Islam sendiri mengajarkan bahwa kita mesti mencapai keberhasilan hidup baik di dunia maupun di akhirat kelak. Bukankah tangan yang memberi itu lebih baik dari pada yang meminta atau menerima?

Namun, seringkali kita melupakan, bahwa Tuhan menghendaki satu kehidupan yang harmonis, pola hidup yang berimbang. Kita mesti menjalankan kegiatan dan ibadah kita dalam keseimbangan.

Terlalu memikirkan dunia itu mengubah kita menjadi manusia-manusia beringas bak serigala. Yang selalu berkeinginan membunuh saingan-saingannya di dalam memperebutkan mangsa kesukaan kita. Jangankan orang lain, jika perlu, saudarapun kita lenyapkan demi mangsa yang kita buru.

Sebaliknya, Allah sendiri tak suka jika kita sebagai umatnya, hanya menghabiskan waktu kita di dunia ini hanya untuk beribadah semata. Sholat dan dzikir setiap hari dari bangun tidur hingga mau tidur lagi, jelas Allah tidak menghendaki kita lakukan. Dengan begitu, kita akan menelantarkan banyak hal, baik keluarga kita maupun hubungan sosial kita.

Jadi, satu keseimbanganlah yang menjadi tujuan hidup kita. Keseimbangan yang selalu mendasarkan pada "rasa", beriringan dengan "suara hati" atau "hati nurani" kita.

Namun, seringkali kita dihadapkan pada monster-monster kehidupan, baik itu manusia-manusia biasa, dalam arti wajar-wajar saja, maupun manusia-manusia yang menurut kita termasuk manusia pilihan, baik karena jenjang pendidikannya yang bagus, pola ibadahnya yang tekun maupun gelar-gelar duniawi yang menempel padanya.

Banyak contoh, manusia pilihan semacam itu, menjadi gelap mata, mati rasa dan mendadak bisa nuraninya ketika ia berhadapan dengan peluang-peluang dunia yang terhampar di depan matanya. Peluang yang membungkus akal pikirannya, membutakan matanya. Peluang yang jika ia ambil segera terbayang betapa enak kehidupan yang bisa ia gapai, baik untuk dirinya sendiri maupun sanak kadangnya.

Nabi Muhammad sendiri pernah mengatakan, bahwa ia kuatir dengan umatnya kelak (yakni kita-kita ini semua), karena tidak kuat menghadapi tantangan hidup seperti harta, tahta dan wanita.

Kita mesti sadar, bahwa yang Nabi sebutkan sebagai "tantangan hidup" itu bukan saja kesulitan hidup yang mendera kita dan membuat hidup kita semakin sulit. Tidak. Tantangan hidup tidak mesti selalu diartikan sebagai kesulitan hidup. Karena sesungguhnya, kebahagiaan, peluang karir, peluang bisnis yang serba nikmat itu, justru sebenarnya "tantangan hidup" yang jauh lebih dahsyat karena ia terkemas dalam bungkus yang sedemikian cantik dan sangat menyilaukan mata hati kita.

Tantangan hidup berupa peluang baik itu seringkali berhasil mengubur orang-orang dengan kualitas pilihan sekalipun ke dalam jurang gelap yang tak berkesudahan. Ujung-ujungnya, ia rela dan sanggup membunuh siapapun yang menghalangi langkahnya, walaupun halangan itu berupa niat baik untuk membawanya kembali ke jalan yang lurus.

Bagaimana dengan kita? Masihkan mata hati kita awas memandang? Apakah nurani kita masih keras berbisik? Adakah rasa kita masih peka tuk meraba?

Rabu, 13 Agustus 2008

Jangan Tunda Lagi, Negeri Ini Sudah Menanti

hemm…
berair mataku membaca semua ini...
tak sanggup lagi aku melihat…
tak kuat lagi aku mendengar…
habis sudah segala kata-kata...

aku tak sanggup lagi untuk berbicara...
negara ini kini menjadi komoditi...
bagi mereka yang memiliki kepandaian, kewenangan dan kesempatan...
mereka meraih, menggapai, mengambil semuanya...
harta, tahta dan wanita menjadi tuhan...
menghalalkan semuanya.... 

tak peduli tetangga...
tak peduli saudara...
tak peduli keluarga...
apalagi kita yg bukan siapa-siapa mereka....

kupercaya sudah tiba saatnya....
melanjutkan revolusi yang terhenti....
terselimut retorika reformasi...

bukan, bukan kenyataan seperti ini yg kita cari...
mari singsingkan celanamu, lengan bajumu...
kita cari kebenaran yang hilang...

kebenaran yang menjadi barang langka
kita harus bergerak bersama....
mencari dan mencari....

tak peduli apa di depan mata...
tak peduli siapa yang menghadang kita....
saatnya kebenaran ditegakan di negeri ini....
tak peduli mereka tak bernurani harus mati...

saudaraku, jalanan menunggu kita...
bergerak bersama...
berjalan bersama...
berjuang bersama...
mari....
jangan tunda lagi...

Selasa, 12 Agustus 2008

Cerpen: Gelut Batin Rama

Baca bagian cerita ini sebelumnya, disini.

Siang itu Rama akhirnya bertemu dengan Damayanti. Beberapa tahun mereka tak bertemu. Banyak perubahan di keduanya. Setidaknya, keduanya kini berkaca-mata minus. Walau begitu, keduanya saling menganggap bahwa lawan bicaranya justru lebih baik kondisinya dibandingkan saat kuliah dulu. 

Menurut Rama, Damayanti lebih anggun dalam kedewasaannya. Wajahnya jauh lebih bersih dan terawat walau dengan polesan sesederhana itu. Kacamata membuatnya tampak sangat matang dan dewasa. Tubuhnya tak menampakan perubahan yang banyak walau sudah memiliki dua anak.

Sebaliknya, Damayanti melihat Rama tampak gagah dengan kematangan usia yang ditunjukkan oleh beberapa helai rambut yang memutih di sisi kiri dan kanan kepalanya. Cara berpakaian yang jauh lebih rapi. Bagaimanapun Damayanti tak bisa melupakan cara berpakaian Rama yang gaya suka-suka sewaktu sekolah dulu. Rambut panjang sebahu kadang diikatnya dengan karet gelang. Kalung dari tali sepatu berwarna hitam dengan liontin bergambarkan daun ganja. Entah mengapa, waktu itu ia bisa dekat dan tertarik dengan lelaki di depannya ini, sementara ia sendiri gadis yang demikian tekun menjalankan kewajiban kepada Tuhannya.

Pertemuan yang demikian mengesankan bagi keduanya. Rasa dan kematangan jiwa tak pernah luntur dari mereka berdua. Entah mengapa, Rama selalu merasa jadi lelaki yang berbeda ketika bersama Damayanti. Hatinya tegar, kokoh sekaligus begitu lapang dan dalam untuk menerima rasa apapun.

Rasa sayang dan kangen yang membuncah dihati keduanya tak terekspresikan dalam perbuatan. Tak ada sentuhan-sentuhan fisik diantara mereka, walau sekedar sentuhan di ujung jari sekalipun. Tidak ada.

Kebahagiaan mereka telah terpenuhi dengan pertemuan dan pembicaraan yang mengalir tak kunjung putus, tentang pengalaman mereka sejak meninggalkan fakultas, dunia kerja, kesibukan hari-hari, hingga pengalaman-pengalaman lucu anak-anak mereka.

-------------------------------

Rama mengendarai mobilnya dengan rasa yang tak terucapkan. Dalam beberapa hari ini saja, ia bertemu kembali dengan perempuan-perempuan yang pernah mengisi relung hatinya. Shinta berpuluh tahun yang lalu ketika ia masih remaja. Damayanti ketika ia mulai menginjak dunia kedewasaan, walau mungkin dewasa yang tanggung. Akhirnya, pikirannya berlabuh pada Anjani, istrinya di rumah. 

Shinta yang memiliki kecantikan sempurna, kini perlahan terkikis oleh waktu. Benar kata banyak orang, kecantikan tubuh akan luruh bersama berjalannya waktu. Selain itu, Rama kini menyadari, banyak rahasia dalam diri Shinta yang belum bisa ia kenali. Beberapa kali ia terpaksa mengkerutkan keningnya melihat dan mendengar Shinta siang itu. Shinta memang tak pernah memilih, tapi ia kawin dengan lelaki pilihan orang-tuanya. Lalu, dimanakah bedanya?

Akh, Rama gelisah memikirkan itu. Hati Rama berkelahi dengan dirinya sendiri.

"Kau cemburu, Rama. Atau, kau merasa tertipu karena ternyata ia sudah menikah?" tanya batin hitamnya.

"Tidak, aku tidak cemburu, ataupun merasa tertipu...." jawab batin putihnya.

"Kau pasti akan menikahinya bila ia belum bersuami. Bukankah ia kekasih tercantik dalam hidupmu?" kejar batin hitam.

Batin putih tak perlu menjawab ketika ia dapati Rama sudah dalam keputusannya, Rama tak akan menikah dengannya.

----------------------------

Damayanti tak secantik Shinta. Namun, Rama merasa mengenal perempuan itu begitu dalam. Sepertinya ia bisa merenangi lubuk hatinya yang mengalun perlahan. Tak pernah ada percikan gelombang disana. Ia senang bisa menyelami semua itu walau tak memiliki raga Damayanti. Rasanya, ia sudah memiliki semua rasa yang ada dilubuk perempuan itu, begitu juga sebaliknya. Pada tahap ini, pernikahan antara mereka memang tak diperlukan lagi. Tali perkawinan telah dijalani oleh kedua hati mereka sejak lama. Rama saja yang terlambat menyadari hal itu.

Lepas dari itu semua, Rama semakin mantap menginjak pedal gas mobilnya. Dadanya serasa ringan seakan mau terbang. Kerinduannya yang memuncak secara tiba-tiba muncul dihatinya terhadap wanita yang paling dikasihinya. Kini ia tahu kemana ia harus berlabuh. Kini ia paham bersama siapa sampan ini harus dikayuh bersama.

"Anjani, aku mencintaimu...., sungguh...." teriak batinnya seakan meluncur ke langit menuju rumahnya. Jauh lebih cepat mendahului raganya yang terkekang dalam batas kecepatan mobil yang ia pacu.