Kamis, 31 Januari 2008

Februari Bersama Asma Nadia - TB Gramed Depok

Sahabat,
Apa agendamu sabtu (2 Februari 2008) ini?
Kalau ingin nikmati akhir pekan dengan enjoy sambil ngobrol santai tentang begitu menggugahnya sebuah doa atau ingin tau seberapa kuat doa mempengaruhi hidup seorang perempuan. Tentang daya seorang perempuan yang seperta angin laut.

Sejuk, namun didalamnya terdapat pusaran tenaga yang mencengangkan.

Ya, pada sabtu ini kita akan berkisah dan mendengar kisah dari seorang istri, seorang ibu, seorang perempuan dalam menghadapi hidup ini. So, sahabat wajib datang di acara ini :


Mendengar Getar Hati Perempuan
Bersama : Asma Nadia, dkk

Hari/Tanggal : Sabtu, 2 Februari 2008
Pukul :           14.00 - 16.00
Tempat :         TB Gramedia Depok, Lt 2

Datangi acaranya. Dapatkan kejutannya. Rasakan gelombang empatinya

sumber: promolingkarpena@yahoo.com

Sabtu, 26 Januari 2008

Lemariku Bukuku Baruku

Pagi ini, spirit tuk membenahi buku-bukuku yang berserakan lagi benar. Jam 08.00 mulai membuka kardus lemari buku yang belum di rakit. Lemari buku ini sudah kubeli hampir 6 bulan yang lalu dan tetap utuh dalam kardusnya hingga pagi tadi.

Berbekal semangat 2008 ini, didukung dengan pusingnya melihat buku bertebaran di mana-mana, belum lagi dengingan omelan ibu jendral di rumah yang tiada putusnya,akhirnya, lemari berwarna coklat ini berhasil juga di rakit, walau dengan kerapian yang sedikit acak-acakan. Sekarang bersanding manis dengan lemari bukuku yang pertama. Sedikit berbeda warnanya, yang lama agak mudaan.

Yupz, inilah hasilnya. Bukuku kini tampil lebih manis. Mohon maaf untuk komik-komik jadoel, kalian kini hanya kutempatkan di bagian box bawah lemari ini saja.

Kamis, 24 Januari 2008

Workshop "Tips-tips Menulis" - di Bogor

diambil dari:
resensibuku@yahoogroups.com

Kepada rekan-rekan semua, Komunitas Menulis Bogor (KMB) mengundang anda untuk hadir dalam acara : Workshop "Tips-Tips Menulis" oleh O. Solihin, yang akan diadakan pada : Hari / Tanggal : Sabtu, 2 Pebruari 2008 Pukul : 13:00 Tempat : TB. Alternatif Jendela Kompleks LIPI, Baranangsiang Jl. Cikabuyutan No.6, BOGOR Pembicara : O. Solihin - http://osolihin. wordpress. com/ Kami tunggu kedatangan anda untuk acara workshop ini Salam Komunitas Menulis Bogor ~ http://kmb.meisolar .com bekerjasama dengan TB. Alternatif Jendela ~ jendelaonline@ yahoo.com

Selasa, 22 Januari 2008

Langit KH Bakal Tampil di Acara Kupas Tuntas - Trans 7

Sekilas Info...

Hari Minggu, tgl 20 Jan 2008 kemarin, bertempat di Candi Bajang Ratu, Trowulan, Mojokerto, dimana situs Kerajaan Majapahit berada telah dilaksanakan proses shooting untuk program TV Trans-7 "Kupas Tuntas".

Hadir sebagai nara sumber. novelis ternama Langit Kresna Hariadi, yang populer dengan novel best sellernya, serial roman sejarah "Gajah Mada", dan Pak Aris, seorang ahli purbakala.

Menurut rencana, wawancara "Kupas Tuntas" ini akan ditayangkan di TV Trans-7 pada hari Selasa, tgl 05 Februari 2008. Jam tayang masih dikonfirmasikan ke pihak stasiun TV tersebut.

Bagi penggemar Langit KH atau penggemar novel serial Gajah Mada dan juga bagi sahabat yg memiliki kepedulian atas budaya Nusantara lama, sehubungan dengan santernya berita akan di bangun ulangnya (rekonstruksi) bekas Kerajaan Majapahit di situs tersebut, jangan lewatkan penayangan acara ini nanti.

Senin, 21 Januari 2008

Perhatian Penerbit Pada Penulis

Republika Minggu, 13 Januari 2008 | Selisik

>> Anwar Holid

SELISIK saya di awal tahun 2008 ini agak murung. Bukan karena di bulan Januari ini kita hampir tiap hari diguyur hujan, tapi karena saya mendengar kabar buruk buat penulis. Kabar itu ialah minimnya perhatian penerbit pada judul atau penulis tertentu.

Dalam pertemuan penerbit-penulis- peresensi di acara Kompas-Gramedia Fair (KGF) 2007 di Sabuga, saya mendapati fakta bahwa penerbit besar seperti Elexmedia saja tak menyediakan dana untuk launching setiap buku. Yang dianggarkan ialah dana promosi untuk keseluruhan buku, terutama dalam setiap acara yang diikuti penerbit. Jelas ini membuat setiap judul sulit menonjol, minimal sekali saja persis begitu terbit.

Memang kesempatan sebuah buku bisa menonjol masih terbuka, misalnya terpilih ikut disertakan dalam iklan ramai-ramai di koran, atau karena pertimbangan tertentu, judul tersebut dipajang poster X-bannernya. Contoh Cherish Every Moment karya Arvan Pradiansyah (Elex, 2007), yang X-bannernya dipasang persis di gerbang ruang utama pameran KGF. Baik Arvan dan bukunya tak muncul dalam rangkaian acara KGF, tapi bisa jadi karena dua buku dia sebelumnya (Life is Beautiful dan You Are a Leader!) termasuk bestseller, Elex memutuskan mengiklankan buku ke-3 dia.

Harus diakui penerbit memang penuh pertimbangan dalam mengiklankan buku. Baru ketika sebuah judul mampu mengangkat reputasi penerbit dan jelas mendatangkan keuntungan, mereka mau berisiko mempromosikan buku.

Ada alasan tertentu kenapa penerbit cenderung hanya mau mendukung 1 - 2 judul bestseller dalam anggaran mereka, yaitu masalah posisi tawar penerbit terhadap toko buku. Makin bestseller, makin banyak diperbincangkan sebuah judul, akan membuat penerbit punya daya tawar bahwa produknya laku dan menguntungkan toko. Harapannya penerbit bisa menegaskan dan berharap lantas produk mereka lainnya bisa ikut terangkat dan terdisplay dengan pantas. Hukum pasar berlaku. Wajar bila penerbit berhitung atas setiap rupiah pengeluaran. Memang penerbit hingga sekarang masih penasaran apa bedah buku dan
sejenisnya beriringan dengan larisnya sebuah judul.

Salah satu aspek yang juga patut diperhatikan ialah ada baiknya seorang penulis memiliki event organiser atau 'publisis' yang mau fokus terus-menerus mengusahakan promosi bukunya. Kondisi ini sebenarnya kurang ideal bagi penulis, sebab secara finansial keuntungan penulis rata-rata hanya 10 persen dari harga buku. Coba bayangkan kerepotan penulis harus mencari rekan kerja yang mau menggulirkan terus ide-ide penerbitan bukunya, belum soal biaya.

Penulis lain, terutama dari kalangan motivator dan manajemen, menyertakan penjualan bukunya dalam paket training atau seminar yang dia adakan. Perimbangan keuntungan dengan cara seperti ini lebih masuk akal; penerbit dan penulis mendapat bagian masing-masing, sedangkan angka penjualan bisa terus bertambah. Tapi memang sudah ada
banyak contoh betapa buku yang dipromosikan dengan gegap gempitan (istilahnya 'hype') dengan pantas berbuah jadi bestseller.

PROMOSI pasti berhubungan dengan anggaran, harapan keuntungan, dan tujuan yang ingin dicapai penerbit; tapi kesan bahwa penerbit pilih kasih dan kurang perhatian pada terbitan mereka jadi sulit dihindari. Penulis yang punya energi dan dana lebih kadang-kadang mesti rela merogoh kantong sendiri untuk berbagai keperluan, baik diskusi, imbalan resensi, bahkan sejenis promosi dari satu tempat ke tempat lain. Terbayang betapa 'pengorbanan' penulis yang amat besar buat bukunya, bahkan akhirnya jadi terasa berlebihan karena kurang didukung sungguh-sungguh oleh penerbit. Pernah saya dengar pengakuan tentang penulis yang sampai mesti mengeluarkan uang untuk pembicara agar mau mengkritik karyanya atau tambahan biaya konsumsi diskusi bukunya, sementara meminta penerbit serius menyediakan buku untuk komplimen bagi para rekanan media atau orang yang relevan saja agak
sulit.

Kira-kira setahun lalu saya pernah ketemu penulis muda yang berambisi agar bukunya mesti disokong promosi, iklan, training, dan sebagainya, agar idenya bisa massif di ruang publik dan mempengaruhi pembaca sebanyak mungkin---mirip yang terjadi pada 'ESQ' karya Ary Ginanjar. Jelas sulit mencari penerbit yang mau setuju dengan klausulnya. Mendengar itu, saya sengaja mendukung dia dengan bilang begini, "Terbitkan sendiri saja mas, kan Anda yakin betul dengan rencana untuk buku itu, apalagi perangkat pendukungnya juga lengkap,
termasuk klik yang siap membantu Anda. Biar semua yang Anda impikan terwujud dan porsi terbesar keuntungan dari penerbitan itu persis jatuh ke tangan Anda." Rupanya buku dia akhirnya diterbitkan sebuah penerbit besar. Tapi barangkali anggaraan promosi untuk buku itu tetap minim, buku dia terbit begitu saja, tanpa iklan atau rencana-rencana besar sebagaimana dia impikan. Jelas keinginannya buyar. Saya berharap, apa pun yang terjadi pada bukunya, semoga buku itu masih bisa merebut perhatian pembaca, terutama ide-ide orisinal yang keluar dari kesungguhannya mencerap pemikiran.

Barangkali ada porsi yang patut dilakukan penerbit terhadap judul dan penulis tertentu. Memang ada penerbit yang agak menolak anggapan bahwa penerbit adalah pihak yang paling besar mendapat porsi keuntungan sebuah buku, dengan bilang bahwa pihak yang paling besar mendapat porsi keuntungan ialah toko buku.

Wah, lepas dari kondisi yang tampak kurang ideal itu, saya berharap perhatian penerbit terhadap penulis terus meningkat, setidaknya kerja sama kedua belah pihak itu lebih berimbang. Bila begitu, barangkali nada murung dalam Selisik bisa sedikit lebih berkurang.[]

Note:
Cherish Every Moment (Arvan Pradiansyah) terpilih sebagai salah satu buku nonfiksi terbaik 2007 versi Ruang Baca Koran Tempo. Kata Hernadi Tanzil, "buku ini memberikan pesan yang singkat tapi sarat makna dan menginspirasi agar hidup kita semakin berkualitas, bisa menikmati hidup yang indah setiap saat, dan menjadi berkat bagi sesama kita di mana pun dan apa pun yang kita hadapi pada saat ini."

Beberapa orang telah meresensi buku ini, antara lain Akmal Nasery Basral, Ratih Poeradisastra, Audifax, Wawan Eko Yulianto, juga saya. Selain mengelola ILM (perusahaan HRD), Arvan Pradiansyah dikenal sebagai pembicara publik dan motivator. Di radio Ramako, setiap Jumat pukul 07.00 - 08.00 pagi dia menjadi host talkshow 'Friday Spirit', tampil sebagai 'personal inspirator.'

Cherish Every Moment kini tengah cetak ulang, dijadwalkan beredar lagi pada awal Februari 2008. Cetak ulang ini membuktikan bahwa buku-buku Arvan bisa diserap pasar dengan baik.

ANWAR HOLID, penulis & penyunting, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung.

KONTAK: 08156140621 - (022) 2037348 | wartax@yahoo. com | Panorama II
No. 26 B, Bandung 40141

Artikel ini diambil selengkapnya dari millis: resensibuku@yahoogroups.com

Minggu, 20 Januari 2008

Pesta Buku Bandung - Jan 29 s.d. Feb 04

Pesta Buku Bandung
29 januari - 4 februari 2008
Landmark Convention Hall
Jl. Braga 129 Bandung

Kunjungi Stand Books
Balkon Area Stand G - H
Buku-buku Impor, harga mulai Rp 10.000 - Rp 60.000
buku sejarah, science, novel, textbook, buku anak, buku masakan, reader digest, dst dst..










dicopas dari:
http://pencintabuku.multiply.com/journal/item/70/pesta_buku_bandung_2008_

Sabtu, 19 Januari 2008

Lembayung Majapahit - Episode 03


Episode 03

Di tengah lapangan para prajurit tengah memperagakan pertempuran antara Capit Urang melawan Cakra Byuha. Capit Urang, atau Supit Urang, para prajurit membentuk pasukan menjadi beberapa bagian, dua kelompok pertama akan bertindak menjadi tangan-tangan perkasa dari seekor udang, masing-masing di pimpin oleh pemimpin sayap, bisa seorang Senopati, Penatus, ataupun cukup hanya seorang Lurah, tergantung dari besarnya jumlah pasukan yang ada.

Mereka akan menjepit dan mengacaukan pihak musuh dari dua arah yang berlawanan. Sementara itu, di bagian tengahnya, pasukan utama akan bertemu berhadapan dada dengan pihak lawan. Jika dilihat dari atas menara pengawas yang ada di depan kraton, pasukan Capit Urang ini membentuk sebuah garis melengkung bagaikan tapal kuda.

Sedangkan gelar Cakra Byuha, menirukan gerak sebuah cakram bergerigi yang tengah berputar. Di setiap gerigi di pimpin oleh seorang pimpinan prajurit, sementara sang pemimpin tertinggi akan berada diporosnya sembari memberikan perintah-perintah melalui prajurit penghubung ke setiap pimpinan prajurit yang ada di tiap-tiap gerigi. Pertemuan ke dua gelar perang tersebut, menjadikan pertempuran yang dahsyat, walau hanya sekedar latihan saja.

Sewaktu pagi masih gelap tadi, mereka berlatih terlebih dahulu menggunakan gelar perang Glatik Neba melawan Dirada Meta. Glatik Neba, satu gelar yang mencoba mengikuti gerakan cepat dan menukik dari sekelompok burung glatik yang mulanya terbang tinggi dan secara tiba-tiba dan bersamaan, mereka terbang menukik menyerang lawannya. Sedangkan Dirada Meta sendiri merupakan gelar perang yang ditampilkan dengan penuh percaya diri, selayaknya seekor gajah raksasa. Pimpinan pasukan berada di depan di tengah pasukan. Sementara beberapa pimpinan kelompok berada di depan bertindak sebagai belalai sang gajah.

Telah tiga bulan terakhir ini, prajurit Majapahit seperti tak kenal lelah berlatih pertempuran dalam bentuk-bentuk gelar perang yang mereka kenal, Pasir Wutah, Garuda Nglayang, Gedong Minep, Samodra Rob dan lainnya. Dalam Sepasaran hari, mereka bisa berlatih hingga dua sampai tiga kali. Mereka mencoba mendapatkan setiap kemungkinan yang ada pada masing-masing gelar yang mereka dapat manfaatkan dalam petempuran sesungguhnya kelak.

Dari tengah lapangan, dimana pertempuran sedang berlangsung riuh, seekor kuda tiba-tiba memisahkan diri dan berderap kencang menunju ke tempat Gajah Mada dan dua sahabatnya menyaksikan latihan tersebut. Sang penunggang mengenakan topi hitam yang khas dan bergaris merah di tengahnya, berseragam baju hitam dengan kain lurik dengan corak tertentu pula, sementara di pundak kirinya berselempang kain yang di ikatkan dipinggang sebelah kanan. Corak kain lurik serta warna selempang dipundak itulah yang menunjukkan bahwa sang penunggang kuda itu adalah seorang berpangkat Senopati. Senopati Macan Liwung datang menghampiri mereka bertiga dengan tawanya yang lebar.

“Selamat pagi, kakang Gajah Mada” ujarnya riang, tak menampakan kelelahan sedikitpun.

“Bagaimana penilaian kakang terhadap latihan ini?” tanyanya kemudian.

Gajah Mada tersenyum menyambut kedatangan Senopati Macan Liwung.

“Bagus, Macan Liwung, aku senang menyaksikan perkembangan kemampuan dan semangat mereka semua”

“Namun orang-orang pasti segera menyadari, hal itu bisa terjadi karena Senopati Macan Liwung yang memimpin mereka” lanjut maha patih.

Macan Liwung tertawa semakin lebar, demikian juga Gajah Enggon dan Gagak Bongol. Sudah lama rasanya mereka tak tertawa gembira seperti sekarang ini.

“Itu semua bisa terjadi karena sesungguhnya para prajurit melihat kakang Gajah Mada berada di sini” jelas Macan Liwung.

“Mereka tak mau mengecewakan pepundhen yang sangat mereka kagumi”

Dada sang Maha Patih mongkog hatinya mendengar dan melihat semua itu. Mereka kini telah kembali menemukan kemampuan terbaiknya yang sempat hilang sewaktu ia tinggalkan setahun yang lalu.

Tiba-tiba mata sang maha patih menangkap sepasang burung bence yang tengah terbang melintas di atas tanah lapang. Hatinya merasa tidak nyaman, apalagi ia melihat arah kedatangan burung itu searah dengan Istana Kepatihan berada. Panggraitanya yang melebihi tajamnya eri pandan berdesir kencang.

“Hemm, apa gerangan yang sudah terjadi?” tanya batinnya.

Gajah Mada memutar kudanya, mengarah ke Gajah Enggon dan ke dua sahabatnya.

“Kalian teruskan latihan ini hingga waktunya. Dan bukankah Prabu Hayam Wuruk mengundang kita hadir di istana waktu sepenggalah matahari nanti?”.

“Benar kakang, kami pun tak akan lama di sini. Setelah latihan selesai, kami segera menghadiri pasewakan hari ini” sahut Kanuruhan Gajah Enggon.

“Baiklah, kita akan bertemu di pasewakan nanti, sekarang aku harus segera kembali ke Kepatihan. Nampaknya ada sesuatu yang harus kukerjakan terlebih dahulu di sana. Ku minta kalian berhati-hatilah dan waspadai segala sesuatu yang mencurigakan dan tidak pada tempatnya. Aku pergi dulu”.

Gajah Mada tak lagi menunggu jawaban, langsung menghentakkan kaki ke perut kudanya, menuju ke rumahnya, Istana Kepatihan. Sang kuda perkasa yang terkejut dengan perintah tuannya yang sangat tiba-tiba itu, sempat mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi sebelum akhirnya berlari secepat anak panah yang lepas dari busurnya. Ringkikan kuda sang maha patih demikian menggetarkan, seolah-olah di lambari oleh aji Gelap Ngampar.

Kanuruhan Gajah Enggon, Pasangguhan Gagak Bongol dan Senopati Macan Liwung tak sempat lagi menjawab. Mereka terpana dengan kejadian yang berlangsung cepat itu.

Sepeninggal Gajah Mada, mereka saling pandang tanpa suara, sinar mata mereka seolah sepakat, bahwa mereka memiliki kesan dan penilaian yang sama. Mereka melihat dan merasakan bahwa sang Maha Patih telah berubah, sama sekali berbeda jika dibandingkan sebelum ia di usir secara halus oleh Sang Prabu Hayam Wuruk karena peristiwa Bubat setahun yang lalu. Selama tiga bulan terakhir ini, baru sekali ini mereka melihat sang maha patih bisa tertawa lepas.

Gajah Enggon dan ke dua sahabatnya itu menyadari. Sekembalinya dari padepokan Madakaripura, Gajah Mada kini lebih banyak diam. Sepertinya ia sedang menanggung satu beban yang berat dan sangat mengganggu pikirannya. Sulit bagi mereka bertiga untuk menerkanya, dan tak mungkin pula menanyakannya.

Sesungguhnya mereka masih menyayangi leher dan kepala mereka. Mereka masih merasa enggan untuk melepaskannya sekarang. Lebih baik jika untuk sementara ini, mereka memilih bersikap diam saja, menunggu hingga tiba saatnya Sang Maha Patih sendiri berkenan hati membagikan beban itu kepada mereka. Namun demikian, mereka seolah telah berjanji pula, bahwa mereka pasti akan membantunya dengan segenap hati, walaupun harus bertaruh dengan nyawa mereka sekalipun.

Bersambung ke episode 04

Lembayung Majapahit - Episode 02


Episode ke 02

Di bagian depan lapangan, tak seberapa jauh dari sepasang gapura gerbang istana, berdiri seekor kuda hitam paling kekar dari seluruh kuda yang ada di Majapahit. Sang penunggangnya memiliki sepasang mata tajam, setajam mata burung hantu, alis matanya tebal dan hitam. Serius memperhatikan yang tengah terjadi di tengah lapangan. Raut wajah sang pemilik tampak sesekali mengerenyitkan matanya, terkadang mengangguk-anggukkan kepalanya. Badannya tak seberapa tinggi untuk ukuran seorang prajurit, bahkan cenderung sedikit gempal. Wibawa yang dimiliki, sungguh tak kalah dengan tingginya sang gunung kampud.

Gajah Mada senang melihat kembali besarnya semangat juang dan ketekunan yang ditunjukkan oleh para prajurit dalam mengikuti tatanan gelar perang yang dijalankannya. Telah tiga bulan ini ia berupaya keras untuk itu.

“Hmm, kenapa kalian biarkan para prajurit ini menjadi kendur semangatnya? Apa saja yang kalian kerjakan selama setahun ini?”

Pasangguhan Gagak Bongol menundukkan kepala dan melirik ke arah rekan disampingnya. Kanuruhan Gajah Enggon sejenak kemudian memajukan kudanya dua tindak mendekati sang maha patih.

“Kakang Gajah Mada, sebenarnya kami tetap mempertahankan beban latihan para prajurit sebagaimana yang biasa kakang lakukan, bahkan akhir-akhir ini kami telah tambahkan pula beberapa bentuk latihan baru yang lebih berat”,

“Gajah Enggon benar, kakang” sahut Gagak Bongol

“Namun, ketidakhadiran kakang di antara kami rupanya sangat mempengaruhi ketegaran jiwani semua prajurit. Api obor didalam dada mereka seperti kehabisan minyak. Kakang Gajah Mada-lah yang selama ini menjadi minyak jarak di hati mereka semua”.

“Apakah artinya kalian akan membiarkan negara ini musnah sepeninggalku kelak? Lalu, apa artinya segala jerih payah yang telah kita kerjakan selama ini? Lihatlah, bukankah kini, negera Majapahit ini telah menjadi cahaya utama dan panutan bagi seluruh negara-negara yang terbentang dari Onin di ujung timur hingga ke Tumasek di sisi barat sana. Semua itu memerlukan semangat dan tenaga kita, baik untuk meraihnya, juga mempertahankannya” ucap Maha Patih lirih.

“Sudah sampai dimanakah pasukan Nala?”, tanyanya tiba-tiba.

“Petugas penghubung menjelang pagi tadi baru saja melaporkan, bahwa Laksamana Nala dan pasukannya semalam bersandar di Hujung Galuh. Mereka baru saja tiba, setelah melakukan tugas berkeliling di perairan sekitar Celebes”, sahut Gajah Enggon.

“Saya perkirakan, saat matahari tepat di atas kepala, ia baru akan tiba di sini”

Nala, laksamana angkatan maritim yang dimiliki oleh Majapahit. Seorang perwira muda yang sangat menggigirisi tindakannya. Cepat dan tuntas. Kepandaiannya bertempur di lautan tak pernah ada yang meragukannya, hingga negeri-negeri di Swarna Dwipa dan Dharma Sraya pun mengakui kehebatannya. Begitu juga Tumasek.

Gajah Mada memiliki harapan besar kepada seorang Laksamana Nala. Gajah Mada memiliki pendapatnya sendiri, jika wilayah Nusantara ini ingin tetap utuh seperti saat ini, pasukan maritimlah pemegang kuncinya. Air dan lautan, baginya, adalah pemersatu, bukan pemisah.

Jika Majapahit bisa berjaya di lautan, berarti Majapahit akan memegang semuanya, hingga tak perlu cemas lagi jika pasukan tentara negeri Atap Langit datang kembali kelak. Gajah Mada harus selalu waspada terhadap mereka, dan itulah yang selalu menghantui batinnya selama ini. Bagaimanapun, seorang Khan Agung dari negeri Atap Langit itu pasti begitu murkanya karena pasukan yang dikirimnya ke Jawa Dwipa ini telah diperdaya oleh Raden Wijaya, penggagas berdirinya Negara Majapahit ini.

Perlahan Gajah Mada menundukan kepalanya kembali. Lama ia termenung, sementara ke dua rekannya ikut terdiam tak berani bersuara sedikitpun. Mereka menyadari kegalauan sang maha patih tersebut. Alangkah rapuhnya negara ini jika hanya bergantung pada seorang Gajah Mada. Hanya akan seumur jagungkah kelangsungan hidup negera ini? Sungguh menyedihkan bila itu yang terjadi kelak.

Bersambung ke episode 3…

Lembayung Majapahit - Episode 01


Episode 01

Jejak embun pagi masih membayang di daun pepohonan depan kraton Majapahit. Matahari masih enggan untuk bangun dari tidurnya. Sinarnya masih rendah di ufuk timur. Berbeda dengan keengganan sang matahari tersebut, lapangan Kesatriyan di depan kraton telah riuh oleh derap ratusan kaki kuda. Sesekali para penunggang kuda meningkahinya dengan teriakan penuh semangat. Pedang, tombak, penggada, trisula saling berayun dan beradu.

Ada yang bersenjata penggada yang bentuknya besar dan mengerikan. Walaupun gada itu tak bergerigi besi namun ukurannya sangat menyeramkan. Besarnya seakan hendak menyaingi kekarnya badan sang pemilik senjata itu.

Keringat dan peluh telah membasahi tubuh para prajurit itu. Beberapa diantara prajurit itu bahkan telah diwarnai oleh warna darah pula. Darah yang muncul akibat goresan-goresan kecil di kulit mereka.

Senjata-senjata yang mereka pergunakan telah dibuat khusus untuk berlatih. Pedang-pedang itu hanya terbuat dari kayu. Tombakpun tanpa bilah pisau di ujungnya. Demikian juga penggada besar itu berlapis sulur rotan. Namun tak urung sesekali senjata-senjata itu tetap menggores tubuh mereka. Kecuali gada besar itu tentunya. Ia tak akan melukai kulit mereka, namun jejak membiru yang ditinggalkan di kulit sanggup bertahan beberapa hari lamanya.

Tanah lapangan telah berubah bagai sawah yang tengah dibajak lembu. Lembabnya embun malam tak mampu lagi menahan kerasnya injakan kaki-kaki kuda itu. Hingga debu tanahpun beterbangan menyatu dengan hiruknya latihan perang itu.

Beberapa tombak dari pinggir lapangan telah dipadati oleh ribuan penonton. Kawula Majapahit datang semenjak hari masih gelap. Beberapa diantara mereka yang datang sejak hari kemarin malam. Ada yang datang sendirian, ada pula yang bersama dengan sahabat dan keluarga. Mereka ikut membantu kesibukan para prajurit mempersiapkan lapangan yang akan digunakan.

Mereka ikut sibuk memasang patok-patok dan tali dadung sebesar ular bandotan ke sekeliling lapangan. Tali itu berguna sebagai tanda pembatas bagi penonton yang memisahkan antara penonton laki-laki dengan wanita dan anak-anak. Dengan begitu, penonton bisa terhindar dari berdesak-desakan.

Malamnya banyak yang tidak tidur di malam itu. Setelah persiapan usai, mereka berbincang dan bersenda-gurau dengan para prajurit itu. Perbincangan yang sangat seru dengan ditemani oleh hangatnya ketela rebus, jagung bakar, wedang jahe maupun wedang sereh. Sebenarnya itu semua bukanlah makanan yang aneh, karena sesungguhnya merekapun sering memakannya di rumah. Namun menyantapnya bersama para prajurit di malam seperti itu, rasanya sungguh jauh lebih nikmat.

Sekembalinya ke padukuhan nanti, mereka bisa bercerita dengan bangganya, bahwa mereka berhasil melihat atau berbincang dengan Kanuruhan Gajah Enggon, Pasangguhan Gagak Bongol, Macan Liwung dan atau lainnya. Nama-nama para perwira utama kerajaan yang kehebatannya sering dibicarakan dari mulut ke mulut secara getok tular.

Perwira-perwira utama itulah yang telah membantu Sang Maha Patih memajukan dan membesarkan negara Majapahit hingga ke negara seberang lautan. Majapahit kini memiliki nama besar yang bergaung dari tempatnya matahari terbit hingga ke negara-negara di ujung barat, di mana matahari kembali ke peraduannya.

Apalagi bila rakyat itu berhasil saling menyapa dengan Sang Maha Patih Gajah Mada sendiri, waktu tujuh hari tujuh malam tak cukup rasanya untuk menceritakannya kepada semua orang yang mereka kenal di padukuhan. Hingga seolah-olah diri merekalah Sang Maha Patih itu sendiri.

Rakyat yang bangga dengan prajuritnya akan semakin memperkokoh dan memperbesar negara. Tak heran jika rakyat banyak yang berangan-angan diri atau anak mereka bisa menjadi seorang prajurit. Bagi yang tidak memiliki anak laki-laki, mereka tidak perlu putus harapan. Mereka masih bisa berharap melalui anak gadis mereka. Mereka akan panjatkan doa agar anak gadis mereka bisa bersuamikan seorang prajurit. Dengan begitu, mereka sebagai orang tua akan menjadi terkenal hingga ke seberang padukuhan. Alangkah membanggakannya.

Bersambung ke episode 02 …

Lembayung Majapahit - Prolog



Sahabat semua, terpancing oleh provokasi beberapa sahabat kepada saya, sungguh terpaksa bila akhirnya saya memberanikan diri untuk mencoba membuat satu tulisan. Tulisan bersambung yang akan saya beri nama sebagai "Lembayung Majapahit".

Paling tidak, jika saya boleh berharap, cerita ini kelak bisa menjadi satu kesatuan yang utuh dalam satu bagian cerita. Paling tidak, bisa setara dengan satu bab buku cerita standar.

Adapun maksud dari cerita ini, saya ingin (jika sahabat berkenan) untuk memberikan komentar, kritikan, saran ataupun masukan. Ini forum bebas, sebebas apapun sahabat hendak memberikannya kepada saya. Ucapan terima kasih yang tak ada putusnya akan saya berikan sebagai balasan kepada sahabat semua yang berkenan melakukannya. Bebas saja, cemo'oh paling sadis, sesadis apapun yang sahabat bisa berikan, saya akan terima dengan lapang dada sepanjang itu untuk lebih baiknya tulisan ini selanjutnya. Luasnya langit & dalamnya samudera hati akan saya buka untuk menampung semua itu. Jika ada sahabat yang merasa risi melakukan di forum bebas ini, sahabat bisa mengirimnya melalui jalur PM.

Pada kesempatan awal ini, saya mengucapkan "a great great thank so much" saya kpd para provokators yg tdk jemu2nya berusaha menjerumuskan saya & nampaknya usaha mereka tsb berhasil, yakni: FH, LF & DB. Juga kepada dua orang yg saya sangat hormati & kagumi karya-karyanya yg luar biasa, SHM & LKH, mereka adalah sumber ide & semangat yang tiada habisnya untuk diteladani.

Maafkan atas kelancangan saya ini.
Salam hangat selalu.

Jumat, 18 Januari 2008

Lembayung Majapahit - Sebuah Sinopsis Singkat



Ibunda Prabu Tribhuanatunggadewi tetap dengan pendiriannya. Gajah Mada, ia anggap telah menghancurkan ikatan darah yang semestinya berpadu. Niat suci untuk menyatukan balung pisah, telah berbalik menjadi tragedi. Baginya, tak pantas lagi Sang Maha Patih kembali ke di Istana Wilwatikta.

Sementara itu, Sang Prabu Hayam Wuruk sendiri kini berada dipersimpangan jalan. Ia berhadapan dengan pilihan yang sulit. Mana yang harus ia utamakan? Perasaan Sang Ibunda Prabu, atau menyelamatkan keutuhan wilayah negara? Memanggil pulang Gajah Mada jelas melukai hati Sang Ibunda Prabu.

Nyatanya, ketika sosok Gajah Mada tak lagi hadir di tengah pusat kekuasaan Majapahit, hal itu telah membawa dampak yang buruk. Beberapa negara bawahan mulai bertingkah dengan berbagai alasan. Mereka tidak hadir ketika diundang serta mulai menghindar dari kewajiban mereka kepada Majapahit.

Akhirnya, Gajah Mada kembali lagi ke Majapahit. Setahun lamanya ia terusir karena tragedi Bubat. Sumpah Palapa yang tinggal sejengkal lagi akan membulat, terpaksa ia hentikan. Sudah cukup sampai disini, ujar batinnya. Namun demikian, kecintaannya kepada negaranya tak pernah surut sedikitpun.

Amukti Palapa akhirnya terwujud di bumi Nuswantara, walaupun tak bisa sempurna hanya karena wanita. Jasanya mempersatukan wilayah yang sedemikian luas bagaikan pupus tak berarti karena perasaan cinta Sang Prabu Hayam Wuruk. Bagi Gajah Mada, wanita dan cinta adalah bagian dari Amukti Palapa. Jauh sebelum Amukti Palapa itu ia sumpahkan, sesungguhnya, sumpah itu sendiri sudah melekat di dirinya sejak ia baru berumur lima tahun.

Tak perlu orang tahu siapakah diriku, dari manakah asalku dan dimanakah aku menyatu dengan bumiku. Karena itu semua bagian dari amalan Amukti Palapa.

Benarkah semua itu tak akan dapat disingkap? Jawabnya, belum tentu.

Sementara itu di ujung barat Jawa Dwipa, Kerajaan Sunda Galuh di Panjalu Ciamis mencoba menerima malapetaka itu dengan legawa. Istana Wilwatikta sudah memohon maaf beserta tangisnya. Tak ada lagi yang dapat mereka lakukan. Hanya sebatas “Esti larangan ti kaluaran” sebagai balasannya. Tidak boleh bagi mereka menikah dengan orang dari luar lingkungan kerabat Sunda. Istana Surawisesa bisa saja mengambil sikap lunak. Namun tidak demikian bagi sebagian kawula. Merekapun berangkat menuju Bumi Tarik untuk mengukur lebarnya dada Sang Maha Patih.

Mohon doanya, agar penulisan cerita ini berjalan lancar hingga selesai,

Great thanks

Visit My Profile

Salam Persahabatan



Pagi ini mula pertama saya hadir di blog ini. Sejuta harapan agar blog ini dapat berjalan lancar dengan berbagai cerita dan keinginan dari saya pribadi. Secuil harapan, sahabat bisa mendapatkan satu manfaat dari keberadaan blog ini, walaupun sedikit.

Selamat berjumpa, salam kenal dan sukses selalu.