Jumat, 31 Oktober 2008

Cerpen: "Lara, Bercinta dalam Kabut"

Lara, beberapa saat terakhir ini banyak termenung dalam kesendiriannya. Ketika jam 20.00 malam tiba, Putri, nama cinderella kesayangannya telah lelap terbuai mimpi.

Hari ini, Putri, anak tunggal tercintanya tidur dalam senyuman. Seusai bermain-main dengan caryon kesukaannya, ia mewarnai gambar-gambar kartun kesukaannya. Hobi yang ia lakukan disetiap saat yang ia miliki. Buku-buku mewarnai hampir memenuhi setiap ruangan rumah yang ada.

Lara kembali dalam ketermenungannya. Ia pandangi layar ponsel ditangannya.

Belum terdengar deru kendaraan Cakra suaminya. Seperti biasa, ia tiba di rumah paling cepat jam 21.00 malam. Tumpukan pekerjaan yang tak bisa ditunda akibat deadline harian, membuatnya ia selalu sibuk dan sibuk. Datang malam dan berangkat kerja kembali keesokan harinya ketika matahari belum bersinar penuh.

"Telpon? Jangan.... Telpon? Jangan... Atau aku sms saja?" batinnya bergelut dalam bingung. Hatinya bersiteru dengan akal pikirannya sendiri.

Sementara di layar ponsel tertera sederetan no ponsel dengan nama Anom.

Pikiran Lara menerawan beberapa minggu yang lalu. Ketika itu, ia pulang bersama Putri mengunjungi kedua orang tuanya di kota kelahirannya. Adik lelakinya menikah. Tak pernah diduga sebelumnya, ketika di kampung halaman itu, Lara bertemu dengan Cahyo, sahabat baik Anom, kekasihnya yang sesungguhnya tak pernah ia bisa hapuskan dari kedalaman lubuk hatinya. Dari Cahyo pula, kini Lara bisa menyimpan nomer ponsel Anom.

"Kau telpon Anom saja, Lara. Ia pasti suprise dan sangat senang bisa bertemu kembali dengannya", jelas Cahya bersemangat.

"Apakah ia mau menerima telpon dariku?" tanya Lara setengah berharap setengah ragu.

"Ah, gila kau. Tentu saja ia akan senang sekali bisa mendengar suaramu. Bukankan dulu kalian berpisah karena keinginan mamamu? Kutahu, diantara kalian tak pernah ada masalah apapun kan?" balas Cahyo panjang lebar. Matanya berbinar senang.

"Kau lihat diriku, Lara. Aku saja yang hanya sahabat kalian berdua, begitu senang bisa bertemu denganmu. Apalagi Anom? Ia pacarmu bukan? Dan kalian tak pernah terlibat pertengkaran apapun sampai kalian berdua memutuskan berpisah karena desakan mamamu itu. Benar kan?" kejar Cahya. Kedua tangannya terentang, seolah mencari pembenaran akan kalimat yang ia ucapkan.

Entah mengapa, Lara semakin membenarkan kalimat yang masuk ke dalam telinganya.

"Cahyo benar. Kenyataannya, kami sama-sama menangis saat perpisahan itu terjadi. Kami masih saling mencintai. Dan kenyataannnya, ia cinta matiku hingga kini. Aku tak pernah bisa melupakannya, tak akan pernah berhasil mengusirnya dari hati ini" batin Lara penuh pergolakan yang pada akhirnya membuat dirinya bingung sendiri.

"Dia tinggal dimana sekarang? Berapa putranya?" tanya Lara sembari berusaha mengusir kecamuk dihatinya.

"Wah, ia sudah berhasil sekarang. Ia kerja di perusahaan asing, sebuah group konglomerasi international. Seingatku, ia punya anak dua" jelas Cahyo. Ada kebanggaan disana yang tertangkap oleh mata Lara. Rupanya, Cahyo sebagai sahabat terdekat Anom, ikut merasakan kegembiraan melihat keberhasilan sahabatnya itu.

"Padahal kau tahu sendiri, Lara. Semasa kuliah dulu, ia lebih sering mencontek dari aku. Aku ini lebih segalanya dibandingkan pacarmu itu. Tapi rupanya ia berubah semenjak kerja, nyatanya, ia kini berhasil dalam karirnya. Aku salut padanya. Bahagia melihat semua itu" jelasnya lagi. Seolah Cahyo tahu perasaan apa yang baru saja terlintas dibenaknya. Ia jelaskan walau Lara sendiri belum menanyakannya.

Berjalan waktu dari hari ke hari. Matahari dan rembulan begitu harmonis bergantian menyinari bumi, silih berganti. Tak terasa, tiga bulan sudah berlalu.

Lara kini sedang di kota kelahirannya kembali. Di kampung halamannya. Tapi, malam ini ia tak tidur di rumah orang tuanya. Di sebuah hotel berbintang di tengah kota. Semalam, ia berpamitan kepada mereka, malam ini ia akan tidur di rumah seorang sahabatnya semasa kuliah dulu. Putri ia titipkan pada neneknya.

Pagi masih gelap, walau begitu, sinar temaramnya mulai menembus sela-sela gordin jendela. Dinginnya AC ruangan menembus tebalnya selimut yang mereka kenakan.

Mengenang semalam, air matanya perlahan kembali membuncah. Mata terasa panas. Ada penyesalan di sana, namun lebih banyak kebahagiaan di ujung terdalam hatinya.

"Terima kasih kak Anom... Bagiku, semalam adalah malam pengantin yang sesungguhnya bagiku. Begitu lama aku telah menantinya..." tangannya membelai pelan wajah Anom yang masih pulas tertidur disisinya. Perlahan ia kecup kening Anom perlahan dengan segenap perasaan yang ia miliki.

"Maafkan Lara, Bang Cakra. Lara bersalah. Namun Lara berjanji tak akan meninggalkan Bang Cakra, juga Putri tercinta, selamanya. Namun, maafkan bila cinta Lara sungguh tak bisa berpaling. Ia telah lama memiliki pilihannya sendiri"jerit batin Lara tenggelam dalam kesunyian.

Jumat, 24 Oktober 2008

23 Oktober Ketigabelas

Ingatkah kau...
Kala kuseret dirimu
Kedalam kolam ini
Yang sengaja kuciptakan untukmu

Seringkali malam itu tak berbintang
Tak jemu deras hujan menerpa bumi
Membuat daun kelapa bergoyang kencang tak kepalang

Diriku yang tak berbaju dengan lipatan celana di lutut
Mencoba menghalau semua itu
Iringan doa dan dzikirmu merasuki jiwaku

Sebenarnya aku harus malu padamu
Diriku tak berbaju
Tapi kau katakan padaku
Nanti kita beli kapan-kapan

Ingin kukenakan pakaian yang terbaik untukmu
Tak jemu kata bisikan,
Masih banyak waktu untuk kita membelinya di masa depan

Merenangi dalamnya kolam
Hingga ke dasar yang banyak berbatu

Batu hitam
Batu padas
Kerakal...
Hanya ada setitik kemilau
Ketika segenggam pasir ditimpa cahaya pagi

Air kecoklatan
Beku karena malam
Kotornya dedaunan
Tak pernah membuat kita tenggelam

Biarkan saja
Hadapi saja
Sabar saja
Smua akan diendapkan oleh waktu

Berulangkali kita selami
Berulangkali kita seberangi
Tak ada kelelahan disana

Ketika samudera ada dalam dada...
Kolam ini tak pernah berarti apa-apa....

* Diramaikan oleh barisan obor yang jalan beriringan di tengah malam

Foto dicopas dari: http://foto.okezone.com/

23 Oktober Ketigabelas

Ingatkah kau...
Kala kuseret dirimu
Kedalam kolam ini
Yang sengaja kuciptakan untukmu

Seringkali malam itu tak berbintang
Tak jemu deras hujan menerpa bumi
Membuat daun kelapa bergoyang kencang tak kepalang

Diriku yang tak berbaju dengan lipatan celana di lutut
Mencoba menghalau semua itu
Iringan doa dan dzikirmu merasuki jiwaku

Sebenarnya aku harus malu padamu
Diriku tak berbaju
Tapi kau katakan padaku
Nanti kita beli kapan-kapan

Ingin kukenakan pakaian yang terbaik untukmu
Tak jemu kata bisikan,
Masih banyak waktu untuk kita membelinya di masa depan

Merenangi dalamnya kolam
Hingga ke dasar yang banyak berbatu

Batu hitam
Batu padas
Kerakal...
Hanya ada setitik kemilau
Ketika segenggam pasir ditimpa cahaya pagi

Air kecoklatan
Beku karena malam
Kotornya dedaunan
Tak pernah membuat kita tenggelam

Biarkan saja
Hadapi saja
Sabar saja
Smua akan diendapkan oleh waktu

Berulangkali kita selami
Berulangkali kita seberangi
Tak ada kelelahan disana

Ketika samudera ada dalam dada...
Kolam ini tak pernah berarti apa-apa....

* Diramaikan oleh barisan obor yang jalan beriringan di tengah malam

Selasa, 14 Oktober 2008

Suasana Saat Nonton Lagi Film "Laskar Pelangi"

Hari Minggu lalu, tepatnya 05 Oktober, menghabiskan sisa libur lebaran saya ajak keluarga nonton film ini (lihat disini). Eh, Sabtu kemarin rumah dipenuhi oleh adik ibu beserta adik-adik sepupuku. Mereka sengaja datang tuk berkunjung dan menginap di rumah. Alhamdulillah.

Obrolan malam mingguan itu berlangsung hingga lewat tengah malam, di temani oleh irisan buah mangga, jeruk dan aneka gorengan. Sayang, tok beer di rumah lagi habis, hehehe.

Paginya, ditemani sarapan nasi uduk, yang sayangnya lagi tak ada semur jengkolnya, kami melanjutkan obrolan semalam yg belum usai. Tema pembicaraan ngalor ngidul kesana kemari tak ada putusnya, hingga akhirnya kami membahasa film yang tengah digandrungi banyak orang saat ini, yakni Laskar Pelangi.

Akhir kata, kami berangkat ke jaringan XXI di Bekasi. Tepat jam 10.00 pagi itu kami sudah menunggu di koridor depan bioskop yg belum dibuka. Calon penonton sudah menumpuk. Benar-benar padat. Pengamatan saya, hampir 80% dr para penunggu ini akan lari ke Studio 1 tempat dimana film LP ini diputar. Jelas, mereka bakal menjadi pesaing kami dlm berlomba mendapatkan tiket masuk. Struggle On The Fittest, begitu kata para bule disana.

Kalangan remaja ABG hingga anak-anak kecil yang ditemani oleh kedua orang tuanya. Berdasrkan survei singkat, anak-anak itu ada juga yang ditemani teman-temannya, saudara-saudarany, tetangganya, hingga ke pacar-pacarnya yang notabene masih bocah-bocah juga. Bahkan ada yg di drop melalui jasa kurir, ataupun sekedar diantar oleh sopir taksi, nanti pulangnya di jemput. (Jangan percaya paragraf ini...)

Berikutnya, ini kisah nyata, bukan karangan. Ada dua laki-laki, entah harus menyebut bapak atau om-om ya? Mereka mendiskusikan kepadatan penunggu ini. Saya dengarkan, lebih dr 15 menit mereka menggerutukan prosedur antrian yang sangat padat itu. Mestinya, mereka buka untuk pesanan juga, jadi kita bisa pesan atau beli tiket untuk 1, 2 atau 3 hari ke depan.

Lelaki satunya, menanggapi tak kalah serunya. Aneka teori mereka keluarkan, dlm upaya mendapatkan tiket film yg laris manis ini. Sementara, sambil meraba dan menekan-nekan perlahan pintu pembatas yang hanya terbuat dari plastik tebal, entah polycarbonat atau apapun namanya. Saya ikutan nimbrung saran kepada mereka berdua.

"Pak, dinding pembatas ini, tampaknya tak seberapa kuat. Bagaimana jika kita robohkan dan segera berlari ke loket?. Kita pasti dapat tempat terdepan"

Sesaat mereka terpana dan mencoba mencerna usul saya itu sebelum akhirnya pada tertawa.

"Ah, jangan sampai begitu pak. Nanti kita ga jadi nonton, malah urusan sama polisi..."

Langsung ke filmnya saja. Saya lebih dapat menikmati film ini saat menonton untuk yang kedua kali. Lebih tertawa saat ada kejadian lucu. Begitu juga saat adegan sedih dan mengharukan, saya pun lebih menangis dibandingkan sebelumnya. Tak ada bosan saat menontonnya. Tercatat, sebuah ember menjadi penuh air mata kami yg menangis karena haru saat menikmati film ini.

Rabu, 08 Oktober 2008

Terpaksa, Balik Kemarin Aku Menyuap Lagi

Hari Jumat, tgl 3 kemarin, saya membawa keluarga kembali mengarah ke barat. Berangkat jam 08.00 an dr salah satu RM spesialis gudeg langganan di Jogja menuju Jakarta melalui jalur selatan. Jalanan mulai ramai dilalui para peserta ritual tahunan bangsa ini, lebaran. Mereka mulai mengarahkan perjalanannya ke arah rumah tinggal mereka. Musim mudik sudah usai, tinggal baliknya.

Sampai di daerah Sedayu, menuju arah Wates, di depan kami ada sebuah kendaraan yang berjalan terlalu lambat, sementara jarak dengan kendaraan di depannya sudah terpaut jauh. Hati saya mulai risi mengikuti mobil yang jalannya kaya pengantin sunat ini, sementara di belakang, kendaraan mulai mengekor mengikuti buntut kendaraan kami.

Sebenarnya saya paham benar, garis ditengah jalan berbentuk garis lurus tak putus-putus dan dobel lagi, artinya baik dari jalur yang kami pakai atau sebaliknya, tidak diperkenankan untuk melanggar jalur sebelahnya.

Mencoba bertahan untuk sabar jalan berlahan untuk sesaat, akhirnya tak tahan juga, di detik berikutnya, wuzzz, kami salip kendaraan di depan kami itu dengan mengambil porsi jalur sebelah kami.

Tuhan Maha Pemurah, begitu kami lewati kendaraan itu, tampak pak polisi dengan senyum manisnya tengah mengatur arus kendaraan di tengah jalan, tepat di hadapan kami. Sementara, di jarak seratus meter di belakangnya, di sisi kiri jalan terparkir sebuah mobil patroli polisi dan seorang bapak petugas yang terhormat berdiri di belakangnya.

Begitu kendaraan kami terparkir rapi di pinggir jalan, sang bapak itu menghampiri kami, tetap dengan senyum nan ramah. Langkahnya tegap. Bangga kami melihatnya postur gagah seperti bapak petugas ini. Seringkali saya melihat, seorang polisi, sedikit berumur dengan perut yang membuncit. Bagaimana ia dapat mengejar buruannya yang nakal, sementara ia sendiri harus menjaga perutnya yang gendut itu. Setuju?

Tapi yang datang ini benar-benar gagah dan ramah. Tak nampak kemarahan atau kejengkelan di matanya, padahal ia tahu persis kenakalan kami dengan garis-garis lalu lintas itu. Begitu tiba disamping kaca tempat duduk saya, ia angkat tangannya menghormat, katanya:

"Selamat pagi pak. Bapak telah melanggar garis pembatas jalan. Mohon berikan STNK dan SIM bapak".

Percakapan berlanjut di belakang mobil patroli. Saya keluar tetap dengan celana pendek dan sandal jepit kebangsaan. Tak ada tempat dan waktu yang pas bagi saya untuk menghormati dirinya dengan mengganti celana panjang dan sepatu, bukan? Bukaaaaan...

"Dari mana pak? Atau mau kemana?" tanya sang petugas.

"Dari Jogja pak, mau pulang ke Jakarta" jawabku sambil mencoba seramah mungkin.

"Bisa bahasa Jawa, pak?" tanyanya lagi.

"Yo mesti iso, pak. Lha, wong aku wong kene" saurku cepet.
("Ya pasti bisa, pak. Lha saya ini kan orang sini" jawabku cepat).

Percakapan selanjutnya berlangsung akrab dalam bahasa jawa sehari-hari, penuh tawa dan canda selayaknya dua sahabat yang bertahun-tahun tak bertemu. Ini terjemahannya.

P - "Bagaimana ini mas? Kalo ditilang biayanya seratus ribu"
S - "Ya sudah pak. Saya memang salah, ditilang saja"
P - "Loh, nanti mas jadi repot. Kan Jauh. Mas di Jakarta sementara sidangnya disini"
S - "Ndak apa-apa pak. Saya banyak teman disini. Nanti biar saya minta bantu mereka untuk datang menebusnya ke pengadilan. Tolong buatkan saja surat tilangnya dengan form biru, jangan form merah"

Sejenak pak pol itu memandang saya, terus ia tanya lagi.

P - "Di Jakarta kerja dimana mas?"
S - "Di pabrik pak. Saya ini kuli pabrik"
P - "Wah, di pabriknya pasti pejabat ya? Mobilnya saja bagus"
S - "Masa pejabat pakai sandal jepit kaya gini, pak. Ga pantas"
P - "Lho, pengusaha saja banyak yang cuma pakai celana pendek kalo pergi kemana-mana"

Keduanya sesaat cengengesan.

S - "Trus, gimana pak? Saya tunggu surat tilangnya, takut keburu siang dan macet nanti"
P - "Gini saja mas. Sekarang lagi lebaran, saling memaafkan. Nah, apa mas keberatan jika sekali-kali memberi buat polisi untuk berlebaran?"

Sesaat saya terdiam tergugu. Sambil menahan nafas yang jadi ga karuan, saya jawab lagi.

S - "Sebenarnya saya ingin ditilang saja, pak. Saya salah kok"
P - "Ayolah mas, apa ga kasihan sama petugas kaya kami ini. Seikhlasnya saja. Sukarela, terserah mas mau kasih berapa"

Semenit kemudian, kami berlalu dari tempat itu, setelah saya selipkan uang "noban" ke dalam buku tilangnya. Tak lupa, saya ambil kembali SIM dan STNK. Wuzzz...
-------------------
Gambar dari:
sufimatre.wordpress.com

Senin, 06 Oktober 2008

Jogja, Tempat Hati Berlabuh - Bag. 2 "Sholat Id di Alun-alun Lor Depan Kraton"

Pagi waktu Shubuh, mata sudah dipaksakan untuk terbuka. Lelah perjalanan kemarin dr Purbalingga seolah tak berbekas lagi. Nikmat ayam panggang Klaten sebelah kampus UGM masih semalam masih terbayang. Ingatan pagi ini kudu berangkat pagi-pagi benar tuk Sholat Id membuatku bersemangat tuk mandi, walau udara dingin terasa.

Jam 05.15 sudah menderukan mesin kendaraan menuju gedung THR, bioskop low end yang jadi langganan jaman sekolah dulu. Nantilah, saya cerita lebih dalam tentang kisah maksiat saya dgn gedung bioskop ini di jaman dahulu kala. Sekarang kita cerita yang baik-baik saja dulu.

Hanya memerlukan waktu 15 menit dr penginapan sampai di pelataran parkir gedung bioskop yang ternyata sdh berubah nama dan fungsi. Kini gedung ini bernama "Jogja Gelery". Dari namanya, kita pasti tahu apa fungsinya gedung itu sekarang.

Lapangan besar yang biasa dijadikan ajang sekatenan, masih teramat lengang. Diujung sana, diseberang ringin kembar, nampak mimbar sang khotib. Di depannya digelar karpet sembayang sebanyak 3 baris, sisanya kebelakang hanya di pasang tali-tali yang menunjukkan barisan shaf sholat.

Keinginan terpendam dalam hati semakin membara. Angan dan ingin yang selama ini terpendam, walau kenyataannya saya pernah hidup berpuluh tahun di kota ini, namun tak sekalipun keinginan ini muncul dalam angan, kini membuncah minta pelampiasan.

"Yuks mas, kita harus duduk di barisan depan paling dekat dengan tempat imam dan khatib berada" ajak saya kepada anak lelaki sulung yang menyertai sholat Id kali ini. Sementara istri dan si bungsu, tahun ini harus sholat sendirian di kamar penginapan, perut istri mendadak konslet sejak semalam.

"Kenapa harus paling depan, pa?" tanya si anak penasaran.

"Lihat saja nanti, semoga keinginan papa kali ini bisa sejalan dengan rencana Allah di atas sana" jawaban yang sesungguhnya justru menambah bingung anak lelaki saya ini. Tapi ia diam saja, walau hatinya pasti ga puas.

Ambil tempat duduk di shaf ketiga dari depan, pas di tengah-tengah antara imam dan khatib.

"Mas, tunggu saja, di depan kita ini nanti, Sri Sultan akan duduk dan sholat disitu" bisik saya lirih ditelinga kanan si sulung.

Hari semakin siang, panas mentari mulai mengusir dinginnya embun pagi di rerumputan alun-alun lor ini. Akh, bicara soal embun dan rumput pagi, membuat pikiranku menerawang ke nama seorang rekan dari pulau dewata. Sedang apakah ia sekarang? Gelombang manusia tak ada putus-putusnya memasuki arena sholat kali ini, baik dr arah kantor pos yang ada tepat di depan kraton Jogja ini, maupun dari daerah-daerah pemukiman yang ada di kiri kanannya. Alun-alun sendiri seperti berubah menjadi lautan manusia yang siap menampung sebesar dan sebanyak apapun gelombang manusia yang datang. Dahsyat, mungkin jumlah orang yang datang tak kalah dengan padatnya manusia di lapangan masjid Istiqlal Jakarta.

Jam 07.00 sholat dimulai, kami mencoba menjalani semua itu dengan keikhlasan dan kekhusyuan yang kami punya. Selepas sholat, ritual dilanjutkan dengan ceramah sang Khatib di mimbar. Prof Dr Habib Moh Chirzin, sungguh masih muda belia dengan gelar setinggi itu. Salut untuknya.

Begitu acara selesai, tanpa sempat pamitan pada si sulung, saya berdiri dan berlari menghampiri Sri Sultan X yang baru saja berhasil meluruskan kakinya tuk berdiri dan beranjak pulang. Tanpa sadar setengah kaget melihat kedatangan saya yang begitu tiba-tiba dan menjulurkan tangannya kepadanya, ia menyambut tangan saya.

Momen itu hanya berjalan 3-4 detik saja. Saya jabat erat tangannya. Dengan sepenuh hati saya tempelkan punggung tangannya ke dahi saya. Di detik berikutnya, saya cium punggung tangan sang nata tersebut. Perlahan saya lepaskan jabatan tangan saya itu, dengan ngapurancang, saya menundukkan dan menganggukkan kepala kepada beliau sembari berjalan mundur perlahan. Dalam sepersekian detik, puluhan orang bergegas mengikuti tindakan saya tersebut, termsuk si sulung yang sejenak kemudian saya lihat ikut bersalaman dengan Sri Sultan X itu.

Inilah tujuan utama saya ke Jogja kali ini. Menghirup udara Jogja, menyerap aura magisnya dan sungkem kepada sang raja. Semua sudah berhasil saya jalankan pagi ini.

Bateri batin dan spirituil yang sepertinya low bat mendadak terasa full power lagi. Bahkan seperti baterei HP baru yang habis di charge selama 8 jam, begitu kata buku manualnya. Dada terasa penuh, aura Kraton, Parangtritis - Parangkusumo serta kawah Merapi melebur menyatu dalam dada sang kawula alit seperti saya. Ngalap berkah namanya. Bagi kami, tak ada yang melebihi kasunyatan yang begini indah seperti indahnya pagi ini.

Jogja, Tempat Hati Berlabuh - Bag. 1

Lama sekali saya tak bisa menjalani sholat Id di kampung halaman sendiri, Jogja. Seingat saya, lebih dari 5 atau 6 tahun lalu, mungkin lebih, untuk terakhir kali saya menjalankan sholat Id di kota tersebut. Ketidakbisaan itu karena alasan waktu ataupun karena saya memang tidak bisa pulang di hari raya tersebut.

Tahun ini, kerinduan itu begitu memuncak. Serasa asmaragama yang tak mungkin tuk ditunda lebih lama lagi. Jauh-jauh hari, saya perhitungkan, hari raya yang jatuh ditengah minggu kali ini merupakan satu kesempatan terbaik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

"Lebaran ini, saya harus pulang" jerit dalam hati.

Entahlah, kota kecil yang sekarang semakin krodit dan semrawut itu, tak pernah lekang dalam hati. Kerinduan yang selalu mengundang saya untuk datang dan datang lagi kesana. Sementara itu, tak ada lagi keluarga dalam arti sebenarnya yang kudu saya "sungkemi". Rumah orang tuapun sudah bukan milik kami lagi. Tapi, itulah kenyataannya.

Batin ini selalu merindukan udara kota Jogja. Menikmati jalan-jalan yang sering saya lalui dan nikmati. Airnya, makanannya, auranya. Ya, itu dia! Aura kota ini yang selalu memiliki nilai magis tersendiri, membuat hati ini tak mungkin menjauh selamanya. Dalam berjalannya kurun waktu, hati selalu saja memupuk helai demi helai kerinduan, merajutnya menjadi panggilan jiwa.

Kota ini bukanlah kota kelahiran, namun di kota inilah jiwa saya dibesarkan. Cara memandang dunia, baik secara kasat mata maupun halus, simbol-simbol keharmonisan antara sesama dan gusti pangeran dibenamkan dalam jiwa. Manunggaling manusia, alam lingkungan dan ingkang gusti diwujudkan dalam simbol-simbol yang sulit dipahami secara akal pikiran modern masa kini namun mengikat "rasa" sedemikian kuatnya dlm lubuk hati terdalam.

Disamping itu, pemahaman hubungan magis antara kraton, pantai kidul dan sang penjaga setia gunung merapi, merupakan satu kabut tebal yang selalu melindungi kami semua kawula Jogja dengan"rasa" tentrem yang sulit dijabarkan.

Meninggalnya Sultan IX dan penampakan Sri Ratu Kidul dalam kereta kencana yang menandai restu sang ratu dengan pengangkatan Sultan X merupakan pengalaman batin yang sangat mengayakan dimasa lalu. Begitu juga mengenai perjalanan Sultan X yang diuji harus mengambil air dari Taman Sari ke laut kidul pulang pergi dalam waktu yang sesaat, sulit dipercaya kebenaran logisnya, namun sangat sulit tuk dihapuskan begitu saja dari pandangan batin ini.
--------------------------------------------------------------

Gambar: http://bornjavanese.blogspot.com/

Selasa, 16 September 2008

Kita Akan Menjadi Besar Jika Mau Berkaca Pada Diri Sendiri

Bagi kawan-kawan disini, khususnya yang bekerja di perusahaan swasta, pasti paham bagaimana ketatnya persaingan dalam memperebutkan karir dan kesempatan yang ada. Selayaknya politikus ulung, kita mesti pandai-pandai bersiasat guna mencapai tangga tertinggi yang ada. Yang paling sigap dan kencang larinya, pasti akan sampai di puncak paling duluan. Itu artinya, nama besar, kekuasaan dan uang, akan mengalir semakin deras memasuki kantong kita. Kalau sudah sampai di tahap ini, ibarat bang Bento, kita ingin apapun, sekali lirik oke sajalah.

Menggapai cita-cita setinggi langit sebenarnya sah-sah saja. Islam sendiri mengajarkan bahwa kita mesti mencapai keberhasilan hidup baik di dunia maupun di akhirat kelak. Bukankah tangan yang memberi itu lebih baik dari pada yang meminta atau menerima?

Namun, seringkali kita melupakan, bahwa Tuhan menghendaki satu kehidupan yang harmonis, pola hidup yang berimbang. Kita mesti menjalankan kegiatan dan ibadah kita dalam keseimbangan.

Terlalu memikirkan dunia itu mengubah kita menjadi manusia-manusia beringas bak serigala. Yang selalu berkeinginan membunuh saingan-saingannya di dalam memperebutkan mangsa kesukaan kita. Jangankan orang lain, jika perlu, saudarapun kita lenyapkan demi mangsa yang kita buru.

Sebaliknya, Allah sendiri tak suka jika kita sebagai umatnya, hanya menghabiskan waktu kita di dunia ini hanya untuk beribadah semata. Sholat dan dzikir setiap hari dari bangun tidur hingga mau tidur lagi, jelas Allah tidak menghendaki kita lakukan. Dengan begitu, kita akan menelantarkan banyak hal, baik keluarga kita maupun hubungan sosial kita.

Jadi, satu keseimbanganlah yang menjadi tujuan hidup kita. Keseimbangan yang selalu mendasarkan pada "rasa", beriringan dengan "suara hati" atau "hati nurani" kita.

Namun, seringkali kita dihadapkan pada monster-monster kehidupan, baik itu manusia-manusia biasa, dalam arti wajar-wajar saja, maupun manusia-manusia yang menurut kita termasuk manusia pilihan, baik karena jenjang pendidikannya yang bagus, pola ibadahnya yang tekun maupun gelar-gelar duniawi yang menempel padanya.

Banyak contoh, manusia pilihan semacam itu, menjadi gelap mata, mati rasa dan mendadak bisa nuraninya ketika ia berhadapan dengan peluang-peluang dunia yang terhampar di depan matanya. Peluang yang membungkus akal pikirannya, membutakan matanya. Peluang yang jika ia ambil segera terbayang betapa enak kehidupan yang bisa ia gapai, baik untuk dirinya sendiri maupun sanak kadangnya.

Nabi Muhammad sendiri pernah mengatakan, bahwa ia kuatir dengan umatnya kelak (yakni kita-kita ini semua), karena tidak kuat menghadapi tantangan hidup seperti harta, tahta dan wanita.

Kita mesti sadar, bahwa yang Nabi sebutkan sebagai "tantangan hidup" itu bukan saja kesulitan hidup yang mendera kita dan membuat hidup kita semakin sulit. Tidak. Tantangan hidup tidak mesti selalu diartikan sebagai kesulitan hidup. Karena sesungguhnya, kebahagiaan, peluang karir, peluang bisnis yang serba nikmat itu, justru sebenarnya "tantangan hidup" yang jauh lebih dahsyat karena ia terkemas dalam bungkus yang sedemikian cantik dan sangat menyilaukan mata hati kita.

Tantangan hidup berupa peluang baik itu seringkali berhasil mengubur orang-orang dengan kualitas pilihan sekalipun ke dalam jurang gelap yang tak berkesudahan. Ujung-ujungnya, ia rela dan sanggup membunuh siapapun yang menghalangi langkahnya, walaupun halangan itu berupa niat baik untuk membawanya kembali ke jalan yang lurus.

Bagaimana dengan kita? Masihkan mata hati kita awas memandang? Apakah nurani kita masih keras berbisik? Adakah rasa kita masih peka tuk meraba?

Rabu, 13 Agustus 2008

Jangan Tunda Lagi, Negeri Ini Sudah Menanti

hemm…
berair mataku membaca semua ini...
tak sanggup lagi aku melihat…
tak kuat lagi aku mendengar…
habis sudah segala kata-kata...

aku tak sanggup lagi untuk berbicara...
negara ini kini menjadi komoditi...
bagi mereka yang memiliki kepandaian, kewenangan dan kesempatan...
mereka meraih, menggapai, mengambil semuanya...
harta, tahta dan wanita menjadi tuhan...
menghalalkan semuanya.... 

tak peduli tetangga...
tak peduli saudara...
tak peduli keluarga...
apalagi kita yg bukan siapa-siapa mereka....

kupercaya sudah tiba saatnya....
melanjutkan revolusi yang terhenti....
terselimut retorika reformasi...

bukan, bukan kenyataan seperti ini yg kita cari...
mari singsingkan celanamu, lengan bajumu...
kita cari kebenaran yang hilang...

kebenaran yang menjadi barang langka
kita harus bergerak bersama....
mencari dan mencari....

tak peduli apa di depan mata...
tak peduli siapa yang menghadang kita....
saatnya kebenaran ditegakan di negeri ini....
tak peduli mereka tak bernurani harus mati...

saudaraku, jalanan menunggu kita...
bergerak bersama...
berjalan bersama...
berjuang bersama...
mari....
jangan tunda lagi...

Selasa, 12 Agustus 2008

Cerpen: Gelut Batin Rama

Baca bagian cerita ini sebelumnya, disini.

Siang itu Rama akhirnya bertemu dengan Damayanti. Beberapa tahun mereka tak bertemu. Banyak perubahan di keduanya. Setidaknya, keduanya kini berkaca-mata minus. Walau begitu, keduanya saling menganggap bahwa lawan bicaranya justru lebih baik kondisinya dibandingkan saat kuliah dulu. 

Menurut Rama, Damayanti lebih anggun dalam kedewasaannya. Wajahnya jauh lebih bersih dan terawat walau dengan polesan sesederhana itu. Kacamata membuatnya tampak sangat matang dan dewasa. Tubuhnya tak menampakan perubahan yang banyak walau sudah memiliki dua anak.

Sebaliknya, Damayanti melihat Rama tampak gagah dengan kematangan usia yang ditunjukkan oleh beberapa helai rambut yang memutih di sisi kiri dan kanan kepalanya. Cara berpakaian yang jauh lebih rapi. Bagaimanapun Damayanti tak bisa melupakan cara berpakaian Rama yang gaya suka-suka sewaktu sekolah dulu. Rambut panjang sebahu kadang diikatnya dengan karet gelang. Kalung dari tali sepatu berwarna hitam dengan liontin bergambarkan daun ganja. Entah mengapa, waktu itu ia bisa dekat dan tertarik dengan lelaki di depannya ini, sementara ia sendiri gadis yang demikian tekun menjalankan kewajiban kepada Tuhannya.

Pertemuan yang demikian mengesankan bagi keduanya. Rasa dan kematangan jiwa tak pernah luntur dari mereka berdua. Entah mengapa, Rama selalu merasa jadi lelaki yang berbeda ketika bersama Damayanti. Hatinya tegar, kokoh sekaligus begitu lapang dan dalam untuk menerima rasa apapun.

Rasa sayang dan kangen yang membuncah dihati keduanya tak terekspresikan dalam perbuatan. Tak ada sentuhan-sentuhan fisik diantara mereka, walau sekedar sentuhan di ujung jari sekalipun. Tidak ada.

Kebahagiaan mereka telah terpenuhi dengan pertemuan dan pembicaraan yang mengalir tak kunjung putus, tentang pengalaman mereka sejak meninggalkan fakultas, dunia kerja, kesibukan hari-hari, hingga pengalaman-pengalaman lucu anak-anak mereka.

-------------------------------

Rama mengendarai mobilnya dengan rasa yang tak terucapkan. Dalam beberapa hari ini saja, ia bertemu kembali dengan perempuan-perempuan yang pernah mengisi relung hatinya. Shinta berpuluh tahun yang lalu ketika ia masih remaja. Damayanti ketika ia mulai menginjak dunia kedewasaan, walau mungkin dewasa yang tanggung. Akhirnya, pikirannya berlabuh pada Anjani, istrinya di rumah. 

Shinta yang memiliki kecantikan sempurna, kini perlahan terkikis oleh waktu. Benar kata banyak orang, kecantikan tubuh akan luruh bersama berjalannya waktu. Selain itu, Rama kini menyadari, banyak rahasia dalam diri Shinta yang belum bisa ia kenali. Beberapa kali ia terpaksa mengkerutkan keningnya melihat dan mendengar Shinta siang itu. Shinta memang tak pernah memilih, tapi ia kawin dengan lelaki pilihan orang-tuanya. Lalu, dimanakah bedanya?

Akh, Rama gelisah memikirkan itu. Hati Rama berkelahi dengan dirinya sendiri.

"Kau cemburu, Rama. Atau, kau merasa tertipu karena ternyata ia sudah menikah?" tanya batin hitamnya.

"Tidak, aku tidak cemburu, ataupun merasa tertipu...." jawab batin putihnya.

"Kau pasti akan menikahinya bila ia belum bersuami. Bukankah ia kekasih tercantik dalam hidupmu?" kejar batin hitam.

Batin putih tak perlu menjawab ketika ia dapati Rama sudah dalam keputusannya, Rama tak akan menikah dengannya.

----------------------------

Damayanti tak secantik Shinta. Namun, Rama merasa mengenal perempuan itu begitu dalam. Sepertinya ia bisa merenangi lubuk hatinya yang mengalun perlahan. Tak pernah ada percikan gelombang disana. Ia senang bisa menyelami semua itu walau tak memiliki raga Damayanti. Rasanya, ia sudah memiliki semua rasa yang ada dilubuk perempuan itu, begitu juga sebaliknya. Pada tahap ini, pernikahan antara mereka memang tak diperlukan lagi. Tali perkawinan telah dijalani oleh kedua hati mereka sejak lama. Rama saja yang terlambat menyadari hal itu.

Lepas dari itu semua, Rama semakin mantap menginjak pedal gas mobilnya. Dadanya serasa ringan seakan mau terbang. Kerinduannya yang memuncak secara tiba-tiba muncul dihatinya terhadap wanita yang paling dikasihinya. Kini ia tahu kemana ia harus berlabuh. Kini ia paham bersama siapa sampan ini harus dikayuh bersama.

"Anjani, aku mencintaimu...., sungguh...." teriak batinnya seakan meluncur ke langit menuju rumahnya. Jauh lebih cepat mendahului raganya yang terkekang dalam batas kecepatan mobil yang ia pacu.

Senin, 11 Agustus 2008

Cerpen: Pertemuan yang Lain

Semenjak pertemuannya dengan Shinta, hati Rama justru menjadi tak tenang. Masa-masa kebersamaan dengan Shinta di bangku SMA menggiring benaknya ke masa yang lebih dekat, di masa ia kuliah.

"Akh, Damayanti...." sesaat hatinya mengucap nama kekasihnya dulu.

Perlahan Rama meletakkan punggungnya di sandaran kursi kantor. Ia datang terlalu pagi hari ini. Sendirian di ruang kerjanya. Meja teman-temannya masih kosong. Sedikit dibuai rasa kantuk sisa bangun pagi, dalam keheningan pikirannya, ia menerawang ke satu waktu, beberapa tahun yang lalu.
---------------------------

Rama dan Damayanti memiliki kesepakatan, walau keduanya saling mencintai, mereka tak mungkin berpadu. Damayanti seorang gadis muslimah, berjilbab dalam kesehariannya. Keteduhan matanya, kehalusan sikapnya, kecerdasannya membuat Rama berubah total. Hubungan yang mereka jalin, sungguh berbeda. Rama kali ini mengalami hubungan yang sedemikian santun dengan seorang gadis yang menjadi pacarnya. Sesekali Rama bisa memegang atau menggenggam pergelangan tangan sang gadis, itu pun di saat Rama membimbing Damayanti menyeberangi jalan. Lebih dari itu, tak pernah ia lakukan. Dulu, ia sering mengolok-olok temannya yang berpacaran demikian santun. Kini ia mengalaminya. Tak pernah ia sesali keadaan ini. Kebersamaannya dengan Damayanti sungguh menggugah nuraninya.

Sayang, mereka saat itu tak mungkin berlanjut. Damayanti memiliki kekasih dari masa lalunya saat ia masih SMA. Pacar yang jarang sekali bertemu, dan menghadapi kerikil tajam, kedua orang tua Damayanti tak merestui hubungannya dengan pacarnya itu.

Dalam kondisi demikian, Rama tak pernah merasa dirinya di duakan. Demi kebahagiaan Damayanti, ia sanggup menerima keadaan, seberapapun buruknya.

"Rama, kita tahu hati kita masing-masing. Rasanya aku tak adil jika kita tetap bersama, sementara aku sendiri belum menuntaskan masa laluku. Masa lalu yang membawa pertentangan batin dengan kedua orangtuaku. Kita percaya, jodoh ada di tangan Allah Swt. Satu saat kita dipertemukan, di saat yang lain kita dipisahkan. Namun, bila jodoh, kelak kita pasti dipertemukannya kembali oleh-NYA." Damayanti bertutur dengan lembut. Matanya menatap langsung ke bola mata Rama. Tak ada keraguan di sana. Dalam kelembutan penuh kasih sayang, Damayanti dapat menuturkannya dengan runtut.

"Hemm..." Rama tertunduk, tak sanggup memandang mata sang kekasih. Namun kembali ia dibuat heran oleh hatinya sendiri. Tak ada kemarahan di sana. Ia seolah memiliki hati seluas dan sedalam samudera yang sanggup menampung limpahan air sebanyak apapun.

"Aku berjanji padamu, Rama. Jika masalahku ini telah dapat kuselesaikan, apapun hasilnya, aku pasti mencarimu. Namun begitu, jangan kau halangi hidupmu dari orang-orang yang kau cintai jika kelak kau bertemu dengan mereka hanya karena aku. Terima dan sambutlah mereka. Siapa tahu, itu jodohmu" desis Damayanti perlahan. Kali ini, ada sedikit getar dinada suara sang gadis.

"Akh, tak mungkin aku..." Rama mencoba menjawan perlahan. Kalimatnya terputus ketika tertatap olehnya, Damayanti menegakkan kembali wajahnya, ia memandang dirinya dalam-dalam dengan menggelengkan kepalanya perlahan.

"Seperti tadi kubilang, jangan kau coba tutupi hatimu. Jalani saja hidupmu sewajarnya"
----------------------------

Itu menjadi pembicaraan terakhir mereka sebagai sepasang kekasih. Pertemuan-pertemuan berikutnya terasa sangatlah aneh bagi Rama. Walau begitu, tak ada yang berubah dari kebersamaan mereka. Ke kampus berdua, berjalan berdua, makan siang bersama di warung dekat kampus hingga sesekali jalan bersama menyusuri keramaian pusat pertokoan. Hingga akhirnya, mereka berpisah karena masa kuliah usai dan keduanya terjun kedunia baru, dunia pekerjaan.
------------------------------

Satu hari, Rama telah menjalin pertunangan dengan Anjani. Hari pernikahan beberapa bulan ke depan sudah ditetapkan. Damayanti menelponnya, meminta dirinya bertemu dengannya, juga dengan kedua orang tuanya.

Getaran hati Rama begitu dahsyat. Walau tak terucap, Rama tahu persis arti dari permintaan Damayanti barusan. Kesepakatan beberapa tahun yang lalu terungkit kembali, sedemikian detilnya. Tak ada yang terlewatkan.

Cerita Damayanti dulu tentang pertemuan sepasang kekasih setelah perpisahan, apabila sudah menjadi kehendak Allah, bukanlah hal yang mustahil. Lamaran yang ia lakukan pada Anjani dua bulan yang lalu, hari pernikahan yang akan diselenggarakan enam bulan ke depan seakan menghantui segenap otaknya. Nurani saling hantam dahsyat dengan ego diri yang berselimut kebenaran akal pikirannya.

Dalam puncak kebimbangan, Rama bersikap benar saat itu. Paling tidak, itulah yang ia rasakan.

Pintu perjodohan yang Damayanti buka bagi dirinya ia tolak.

"Maaf, bukannya aku tak mengharapkan lagi hal ini. Rasaku tak pernah berubah kepadamu, tapi di saat ini telah hadir seorang perempuan dalam hidupku"

Damayanti memang gadis luar biasa. Kejujurannya membuka pintu dengan senyum, begitu juga ketika ia mendengar ketidakmungkinan Rama menerima kembali dirinya, masih dengan senyum yang sama.

Tak lama setelah Rama menikah dengan Anjani, ia menerima kabar pernikahan Damayanti pula.
-----------------------------

Perlahan Rama bangkit dan menegakkan punggungnya. Perlahan ia buka phonebook di ponselnya. Hari itu pula, Rama telah membuat janji untuk bertemu Damayanti esok harinya.

Cerpen: Dimana Arti?

Arti termenung di bangku belakang taksi. Kegembiraan sesaat yang lalu tak nampak lagi. Kilat sinar mata bahagia, ekspresi kegembiraan keluar masuk dari satu merchant ke merchant yang lain pupus sudah.

Pikiran menerawang pada kehidupan yang kini ia jalani.

"Akh, ini hanyalah sementara waktu. Tak ada pilihan lain, aku memang harus lalui tahapan ini..." batinnya berusaha menenangkan dirinya sendiri yang tengah gelisah.

Taksi terus melaju menembus sore yang kian temaram, sebentar lagi malam memanjat perlahan.
------------------

Sementara itu, di seberang jalan, dua lelaki seolah tak berkedip menatap ke arah pintu rumah tinggal Arti.

"Ia belum datang... Mungkinkah kita terlambat?" desis seorang diantara.
"Sabar, sebentar lagi ia pasti datang. Teman kita melaporkan ia naik taksi dan ia yakin, gadis itu sedang dalam perjalanan pulang ke rumahnya, kemari" jawab rekan satunya.
--------------------

"Kau harus dapatkan anak itu, atau jangan pernah kau berani berdiri lagi dihadapanku". Suara teriakan Amin terdengar serak di ponsel lelaki yang tengah melajukan kendaraannya membelah kota.

"Siap, bos. Saya paham" jawabnya tegas. Bukan sekali ini ia melakukan tugas penculikan. Baginya tak akan terlalu sukar mendapatkan seorang gadis dari rumahnya. Dulu, seorang pengusaha nasionalpun pernah ia ciduk di pelataran parkir kantor, walau untuk itu ia harus menikam seorang satpam dengan pisau di perutnya.
-------------------

Taksi memperlambat laju kendaraannya ketika mendekati rumah berpagar hijau yang ditunjukkan oleh penumpangnya. Ketika taksi berhenti, Arti segera membuka dompetnya mengambil uang yang ditunjukkan oleh argometer. Semua berjalan cepat, ketika secara bersamaan dua lelaki memasuki taksi tersebut. Seorang lelaki dengan sigap duduk disebelahnya dan mendekap erat badannya. Ketika kesadarannya sesaat kemudian pulih, ia membuka mulutnya hendak berteriak minta tolong pada orang-orang di sekitar taksi. Belum sempat ia lakukan, kain beraroma khas telah menutup mulut dan hidungnya. Sesaat kemudian, dunia Arti menjadi gelap gulita.

Di saat yang sama, sopir taksi dengan tubuh sangat gemetar dipaksa keluar oleh seorang lelaki bertopi dan berkaca mata gelap yang mengarahkan pistol ke jidatnya. Masih dengan ketakutannya, sang sopir membuka pintunya dan menjatuhkan diri ke aspal jalan. Bergegas sang penodong masuk dan memegang kendali atas mobilnya, untuk melesat menghilang dalam gelapnya malam sesaat kemudian.
-----------------

"Anjing, sialan...." teriak lelaki yang datang tak lama kemudian di tempat itu. Kerumunan orang saling bersahutan menceritakan kejadian pencurian sebuah taksi berikut seorang gadis penumpangnya. Arti diculik. Ya, Arti nama gadis tetangga mereka kini hilang di culik oleh dua orang lelaki.

"Hem, apa yang harus kukatakan pada bos Amin?" keluh lelaki yang perlahan meninggalkan tempat itu.

Rabu, 30 Juli 2008

Fatamorgana...

Antara ada dan tiada

Mata bak fatamorgana

Ketika asa bertemu waktu

Nyata dan mimpi menyatu

Aku

Kamu

Kita

Bersama menggapai semu

Berapa lama asa bertahan?

Berapa cepat waktu berlalu?

Selasa, 29 Juli 2008

... dan Siswa pun Mulai Belajar Kolusi dr Guru Mereka Sendiri ...

Saat sekarang ini, siswa pelajar memasuki awal tahun ajaran baru. Anak dan orang tua disibukkan dengan berbagai kebutuhan guna melengkapi perlengkapan belajar putra-putri kesayangan mereka. Pertama, tentang seragam, mulai dari seragam sekolah yang masing-masing sekolah menetapkan aturan sendiri, misalnya badge di lengan kiri dan kanan yang biasanya di sediakan koperasi sekolah. Dasi pun harus beli di sana, topi juga karena harus dilengkapi dengan nama sekolahan yang bersangkutan. Jadi tak ada pilihan bagi para orang tua untuk memilih membli di luar, walau mungkin saja di luar sana mereka bisa mendapatkannya dengan kualitas lebih baik dan harga bersaing.

Masih tentang seragam, ada lagi perlengkapan pramuka, seragam batik, baju olah raga dan pernik-pernik lainnya yang semuanya harus ada nama sekolah yang bersangkutan.

Diluar masalah seragam, satu hal lainnya yang lebih "hot" adalah buku. Anak saya sendiri, yang tahun ini memasuki awal tahun belajarnya di bangku SMP, harus menunggu sang guru satu per satu memberikan nama buku, pengarang dan penerbit yang hendak ia pakai mengajar siswa-siswinya.

Satu hal menarik, tentang buku ini, sang guru selalu memberi catatan di akhir penjelasannya, buku yang hendak ia pakai bisa di beli di toko buku dekat sekolahan. Siswa dianjurkan membeli buku di toko buku tersebut, karena membeli di toko buku itu sama saja membeli di koperasi sekolah. Tentang buku ini, koperasi sekolah memang tidak menjualnya, terbentur peraturan yang tidak mengijinkannya untuk itu. "Oh ya, jika kalian membeli buku cetak di toko itu, buku kalian akan di stempel nama toko itu sebagai buktinya" sang guru mengakhiri pesan sponsornya.

Jadilah toko buku super kecil mungil dan seadanya itu sedemikian padat dikerumuni pelajar yang hendak membeli buku, persis pasar malam kagetan.

Mari kita berhitung, di SMP tempat anak saya belajar untuk kelas I memiliki 10 kelas dengan rata-rata 40 pelajar per kelas, total kelas I-nya saja memiliki 400 pelajar di kalikan 3, yakni dengan kelas II dan III, keseluruhan ada 1.200 siswa.

Setiap level kelasnya memerlukan sekitar 10 jenis buku pelajaran (IPA, IPS, Bahasa dll) yang harus mereka beli, jadi disetiap awal tahun ajaran baru, sekitar 12.000 buku cetak terdistribusikan ke pelajar dengan harga rata-rata berkisar Rp. 20.000 - 30.000 perbuku. Mengambil harga minimal, 12.000 buku x Rp. 20.000 = Rp. 240 juta. Bukan angka yang sedikit. Berapa keuntungan sebuah buku? Bisa 5%, 10% hingga 30%.

Melihat itu semua, satu kerjasama yang baik sekali antara penjual buku dengan para guru telah terjalin. Entah bagaimana pola pembagian keuntungan diantara mereka.

Satu hal yang pasti, anak saya mulai mendapat pembelajaran apa yang dinamakan kolusi di saat ia masih di bangku SMP.

Saya jelaskan pula, jika antara penjual buku dan sang guru memeliki hubungan kekerabatan, itulah namanya kolusi yang dilakukan dengan cara nepotisme. Adakah unsur korupsi dalam hal ini? Entahlah, saya jadi malas memikirkannya.

Senin, 28 Juli 2008

Artikel "Menjaga Api Semangat Menulis"

Sebuah artikel yang pas banget dgn diriku. Seringkali rasa ingin menulis membuncah dalam dada, namun di kali lainnya, ia terjun bebas hingga ke dasar jurang. Sudah kucoba cari cara guna mempertahankan api semangat tuk menulis itu, walau ternyata tak pernah mudah.

Copas-an artikel ini semoga bermanfaat bagi kita semua disini, kawan-kawan semua dan juga aku pribadi.

Catatan: Di copas dengan peringkasan di beberapa paragraf untuk memperpendek artikel, diupayakan tidak mengubah makna yang ada secara keseluruhan.

-----------------------

FAKTA ini mungkin agak mengagetkan: beberapa blog teman saya ternyata tak di-up date sampai dua tahun. Ini membuat saya bertanya: ke mana semangat menulis mereka? Apa mereka ganti blog atau punya kesibukan luar biasa sampai lupa menulis?

Salah seorang menjawab enteng: "Saya sudah malas mengisi blog lagi, mas."

Wah, padahal tulisan dia jadi favorit sejumlah orang lho, termasuk di antaranya seorang kritikus yang menurut saya paling nyelekit senusantara. Posting kawan saya itu merupakan paduan antara kejujuran, humor, dan sinisme menyiasati kesulitan pilihan hidup. Jelas, orang yang malas menulis biasanya (sedang) kehilangan motif menulis.

Seminggu lalu saya menerima email dari kawan. Dia jujur bilang bahwa belakangan ini gairah menulisnya hilang, sulit konsentrasi menuntaskan draft novel yang sudah agak lama terlunta-lunta, gelisah tak punya "pekerjaan tetap," dan agak kehilangan orientasi karena mendadak kekasihnya dipanggil Tuhan. Dengan merasa ikut sedih, saya berusaha menghibur, kemungkinan besar dia sulit menemukan alasan kuat yang bisa bikin dirinya semangat, penuh motivasi.

Saya bilang, "Sebenarnya pekerjaan tetap penulis itu ya duduk menulis; bukan ngantor atau lainnya. Waktu ngobrol dengan Bagus Takwin, kami mendapati bahwa beberapa di antara kelemahan kita sebagai penulis ialah kita kesulitan, bahkan gagal, mengorganisasi diri, sulit mengelola kesempatan atau bikin skala prioritas. Akibatnya target tulisan gagal tercapai, dan dia frustrasi."

Bila blog lama terbengkalai, draft kisah tak kunjung selesai, bingung mau berbuat apa, itu merupakan tanda bahwa seorang penulis tengah kehilangan dorongan (motivasi) ataupun writer's block (halangan menulis.) Dia kehilangan api yang bisa memanaskan semangat berkarya. Sebagian penulis terhalang oleh kebingungan, lainnya bayang-bayang kesuksesan. Apa yang bisa diperbuat dalam keadaan seperti itu? 

Dorongan (motif) menulis setiap orang lain-lain, dan itu harus sejak awal ditetapkan dengan jujur oleh dirinya sendiri. Ada orang menulis karena uang, ingin melampiaskan perasaan, mengungkapkan pikiran, bersaksi (membeberkan kejujuran), mengungkap informasi, bersenang-senang, menghibur, dan 101 motif lain. Tanpa motivasi seseorang bisa segera bosan menulis atau kehilangan alasan untuk melanjutkan keinginan menulis, apalagi jika suatu ketika dia bertemu masa sulit saat menulis---misalnya mengalami writer's block, kekecewaan hidup, atau karena subjek tulisannya sulit.

Dalam kasus blog, saya berprasangka, boleh jadi si blogger bosan menulis setelah tahu ternyata blognya sepi, nyaris tak dilirik orang, dan tulisan-tulisannya didiamkan. Mungkin timbul perasaan sia-sia dirinya menulis. Padahal tujuan awal dia punya blog ialah ada media publikasi tulisan-tulisannya.

Sejumlah orang menulis karena uang. Mereka menulis dengan niat tembus ke media massa, berusaha agar tulisan itu sesuai kriteria media, dipoles, dan memenuhi idealisme tertentu. Memang belum tentu bila tulisan ditolak mereka bakal kecewa; tapi itu berarti kesempatan mendapat nafkah jadi kurang.

Wartawan merupakan contoh utama menulis demi nafkah. Penulis yang saya tahu persis punya motif ekonomi antara lain Farid Gaban (saya dengar langsung ucapannya), Ajip Rosidi (dari esai dia), dan Philip Pullman (dari wawancara). Saya ingin jujur dengan hal ini. Kata Paul Arden: "Pikirkan tentang uang. Ia jujur. Uang akan membuat Anda kreatif."

Menjaga api semangat menulis ini ternyata sulit juga, meski banyak caranya.


Kita harus jujur dengan motif menulis sendiri. Kalau ingin tulisan dipublikasi, lantas mendapat honor, akui saja. Kejujuran motif akan membuat penulis mahfum untuk apa dia menulis, dan akan ketahuan apa dirinya tulus atau bohong. Bila motif seseorang "senang menulis", dia tak akan sedih bila tulisannya ditolak media, sebab dia bisa mempublikasi tulisan itu di media lain. Bila niatnya menjual tulisan tapi media menolak, dia patut sedih, karena produknya tak laku. Oleh karena itu tulisan itu harus diperbaiki atau diteliti lagi kenapa sampai gagal dimuat. 

Bila sudah tahu motif menulis dan tahu cara menjaga api semangat terus menggerakkan tangan, mungkin orang bisa tetap antusias meski tulisannya diabaikan orang, atau bisa puas meski dibaca sendiri. Yang paling utama ialah berusaha sebaik mungkin menulis, bereksperimen, terus meningkatkan pencapaian. Dengan begitu dia kehabisan alasan untuk tidak meng-up date blog maupun berusaha lebih keras mencari cara menyelesaikan draft naskahnya.[]

-----------------------

Republika, Minggu, 27 Juli 2008; [Selisik]

ANWAR HOLID, penulis & penyunting, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung. 
Blogger @ http://halamanganji l.blogspot. com

Artikel "Menjaga Api Semangat Menulis"

Sebuah artikel yang pas banget dgn diriku. Seringkali rasa ingin menulis membuncah dalam dada, namun di kali lainnya, ia terjun bebas hingga ke dasar jurang. Sudah kucoba cari cara guna mempertahankan api semangat tuk menulis itu, walau ternyata tak pernah mudah.

Copas-an artikel ini semoga bermanfaat bagi kita semua disini, kawan-kawan semua dan juga aku pribadi.

Catatan: Di copas dengan peringkasan di beberapa paragraf untuk memperpendek artikel, diupayakan tidak mengubah makna yang ada secara keseluruhan.

-----------------------

FAKTA ini mungkin agak mengagetkan: beberapa blog teman saya ternyata tak di-up date sampai dua tahun. Ini membuat saya bertanya: ke mana semangat menulis mereka? Apa mereka ganti blog atau punya kesibukan luar biasa sampai lupa menulis?

Salah seorang menjawab enteng: "Saya sudah malas mengisi blog lagi, mas."

Wah, padahal tulisan dia jadi favorit sejumlah orang lho, termasuk di antaranya seorang kritikus yang menurut saya paling nyelekit senusantara. Posting kawan saya itu merupakan paduan antara kejujuran, humor, dan sinisme menyiasati kesulitan pilihan hidup. Jelas, orang yang malas menulis biasanya (sedang) kehilangan motif menulis.

Seminggu lalu saya menerima email dari kawan. Dia jujur bilang bahwa belakangan ini gairah menulisnya hilang, sulit konsentrasi menuntaskan draft novel yang sudah agak lama terlunta-lunta, gelisah tak punya "pekerjaan tetap," dan agak kehilangan orientasi karena mendadak kekasihnya dipanggil Tuhan. Dengan merasa ikut sedih, saya berusaha menghibur, kemungkinan besar dia sulit menemukan alasan kuat yang bisa bikin dirinya semangat, penuh motivasi.

Saya bilang, "Sebenarnya pekerjaan tetap penulis itu ya duduk menulis; bukan ngantor atau lainnya. Waktu ngobrol dengan Bagus Takwin, kami mendapati bahwa beberapa di antara kelemahan kita sebagai penulis ialah kita kesulitan, bahkan gagal, mengorganisasi diri, sulit mengelola kesempatan atau bikin skala prioritas. Akibatnya target tulisan gagal tercapai, dan dia frustrasi."

Bila blog lama terbengkalai, draft kisah tak kunjung selesai, bingung mau berbuat apa, itu merupakan tanda bahwa seorang penulis tengah kehilangan dorongan (motivasi) ataupun writer's block (halangan menulis.) Dia kehilangan api yang bisa memanaskan semangat berkarya. Sebagian penulis terhalang oleh kebingungan, lainnya bayang-bayang kesuksesan. Apa yang bisa diperbuat dalam keadaan seperti itu? 

Dorongan (motif) menulis setiap orang lain-lain, dan itu harus sejak awal ditetapkan dengan jujur oleh dirinya sendiri. Ada orang menulis karena uang, ingin melampiaskan perasaan, mengungkapkan pikiran, bersaksi (membeberkan kejujuran), mengungkap informasi, bersenang-senang, menghibur, dan 101 motif lain. Tanpa motivasi seseorang bisa segera bosan menulis atau kehilangan alasan untuk melanjutkan keinginan menulis, apalagi jika suatu ketika dia bertemu masa sulit saat menulis---misalnya mengalami writer's block, kekecewaan hidup, atau karena subjek tulisannya sulit.

Dalam kasus blog, saya berprasangka, boleh jadi si blogger bosan menulis setelah tahu ternyata blognya sepi, nyaris tak dilirik orang, dan tulisan-tulisannya didiamkan. Mungkin timbul perasaan sia-sia dirinya menulis. Padahal tujuan awal dia punya blog ialah ada media publikasi tulisan-tulisannya.

Sejumlah orang menulis karena uang. Mereka menulis dengan niat tembus ke media massa, berusaha agar tulisan itu sesuai kriteria media, dipoles, dan memenuhi idealisme tertentu. Memang belum tentu bila tulisan ditolak mereka bakal kecewa; tapi itu berarti kesempatan mendapat nafkah jadi kurang.

Wartawan merupakan contoh utama menulis demi nafkah. Penulis yang saya tahu persis punya motif ekonomi antara lain Farid Gaban (saya dengar langsung ucapannya), Ajip Rosidi (dari esai dia), dan Philip Pullman (dari wawancara). Saya ingin jujur dengan hal ini. Kata Paul Arden: "Pikirkan tentang uang. Ia jujur. Uang akan membuat Anda kreatif."

Menjaga api semangat menulis ini ternyata sulit juga, meski banyak caranya.


Kita harus jujur dengan motif menulis sendiri. Kalau ingin tulisan dipublikasi, lantas mendapat honor, akui saja. Kejujuran motif akan membuat penulis mahfum untuk apa dia menulis, dan akan ketahuan apa dirinya tulus atau bohong. Bila motif seseorang "senang menulis", dia tak akan sedih bila tulisannya ditolak media, sebab dia bisa mempublikasi tulisan itu di media lain. Bila niatnya menjual tulisan tapi media menolak, dia patut sedih, karena produknya tak laku. Oleh karena itu tulisan itu harus diperbaiki atau diteliti lagi kenapa sampai gagal dimuat. 

Bila sudah tahu motif menulis dan tahu cara menjaga api semangat terus menggerakkan tangan, mungkin orang bisa tetap antusias meski tulisannya diabaikan orang, atau bisa puas meski dibaca sendiri. Yang paling utama ialah berusaha sebaik mungkin menulis, bereksperimen, terus meningkatkan pencapaian. Dengan begitu dia kehabisan alasan untuk tidak meng-up date blog maupun berusaha lebih keras mencari cara menyelesaikan draft naskahnya.[]

-----------------------

Republika, Minggu, 27 Juli 2008; [Selisik]

ANWAR HOLID, penulis & penyunting, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung. 
Blogger @ http://halamanganji l.blogspot. com

Senin, 23 Juni 2008

Renungan Pagi: Tuhan Itu Tidak Ada

Seorang konsumen datang ke tempat tukang cukur untuk memotong rambut dan
merapikan brewoknya. Si tukang cukur mulai memotong rambut konsumennya dan mulailah terlibat pembicaraan yang mulai menghangat.

Mereka membicarakan banyak hal dan berbagai variasi topik pembicaraan, dan sesaat topik pembicaraan beralih tentang Tuhan.

Si tukang cukur bilang,"Saya tidak percaya Tuhan itu ada".

"Kenapa kamu berkata begitu ???" timpal si konsumen.

"Begini, coba Anda perhatikan di depan sana , di jalanan... untuk menyadari bahwa Tuhan itu tidak ada.
Katakan kepadaku, jika Tuhan itu ada, adakah yang sakit?
Adakah anak terlantar?
Jika Tuhan ada, tidak akan ada sakit ataupun kesusahan. Saya tidak dapat membayangkan Tuhan Yang Maha Penyayang akan membiarkan ini semua terjadi."

Si konsumen diam untuk berpikir sejenak, tapi tidak merespon karena dia
tidak ingin memulai adu pendapat. Si tukang cukur menyelesaikan pekerjaannya dan si konsumen pergi meninggalkan tempat si tukang cukur.

Beberapa saat setelah dia meninggalkan ruangan itu dia melihat ada orang di jalan dengan rambut yang panjang, berombak kasar (mlungker-mlungker-istilah jawa-nya), kotor dan brewok yang tidak dicukur. Orang itu terlihat kotor dan tidak terawat.

Si konsumen balik ke tempat tukang cukur dan berkata, "Kamu tahu, sebenarnya TIDAK ADA TUKANG CUKUR."

Si tukang cukur tidak terima," Kamu kok bisa bilang begitu ??".

"Saya disini dan saya tukang cukur. Dan barusan saya mencukurmu!"

"Tidak!" elak si konsumen.

"Tukang cukur itu tidak ada, sebab jika ada, tidak akan ada orang dengan rambut panjang yang kotor dan brewokan seperti orang yang di luar sana", si konsumen menambahkan.

"Ah tidak, tapi tukang cukur tetap ada!", sanggah si tukang cukur.

"Apa yang kamu lihat itu adalah salah mereka sendiri, kenapa mereka tidak datang ke saya", jawab si tukang cukur membela diri.

"Cocok!" kata si konsumen menyetujui.

"Itulah point utama-nya!.

Sama dengan Tuhan, TUHAN ITU JUGA ADA! Tapi apa yang terjadi... orang-orang TIDAK MAU DATANG kepada-NYA, dan TIDAK MAU MENCARI-NYA. Oleh karena itu banyak yang sakit dan tertimpa kesusahan di dunia ini."

Si tukang cukur terbengong !!!

(sumber: milis tetangga)

Rabu, 18 Juni 2008

Info Buku Baru: "Anak Betawi Diburu Intel Yahudi"

Sekedar melanjutkan, telah terbit sebuah buku novel baru, siapa tahu cocok dan berminat. Aku sendiri belum membacanya. Ridwan Saidi sendiri adalah salah satu penulis favoritku di negeri ini.

Salam hangat...
-------------------------

Karya Ridwan Saidi
306 hlm / 13 x 19 cm / Mei 2008
Rp 55,000

Dengan mengikuti petualangan si Doel, anak Betawi yang diburu intel Yahudi lantaran
mendapatkan dokumen top secret rahasia Israel, dan romantika percintaannya dengan gadis Belanda, kita bukan disajikan kisah picisan semata, namun sebuah epik berlatar sosial-politik tanah air dan perkaitannya dengan perkembangan internasional sejak 1948 – 1978.

Ramuan pengetahuan historis serta gaya narasi sastra yang khas dan kaya humor akhirnya membuat novel Ridwan Saidi ini bukan saja mampu menghadirkan dunia Betawi dengan segala kekhasannya dan nafas Islam yang kental dalam tradisinya, lebih jauh lagi adalah perkaitannya dengan Indonesia dan akhirnya dunia internasional, wabil khusus dalam konteks
persaudaraan dan perjuangan Islam sedunia.

***

Bisa didapatkan di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung serta Toga Mas mulai 12 Juni
2008.

Dapatkan diskon 15% dengan memesan langsung ke Penerbit Masup Jakarta + ongkos kirim untuk wilayah Jabodetabek atau paket untuk luar Jabodetabek.

MASUP JAKARTA Jl. Pala 4 B Beji Timur Depok 16422
Telp/Fax: 021-77206987
email: masupjakarta@ yahoo.com

Selasa, 10 Juni 2008

Meruntuhkan Teori Evolusi, Harun Yahya Divonis Penjara

Di media massa yang pemberitaannya pro thd teori evolusi dan pro-Freemasonry, seperti:
Reuters, dsb, Harun Yahya difitnah telah melakukan kegiatan utk mengeruk keuntungan material pribadi. Sungguh tidak masuk akal, mengingat segala karyanya dapat didownload gratis dari internet tanpa perlu bayar, dan dia pernah menolak sogokkan uang besar dari Freemasonry agar berhenti menulis buku.


Senin, 26 Mei 2008

Untuk kesekian kalinya, Adnan Oktar alias Harun Yahya dipenjarakan. Inilah penindasan para ilmuwan yang berani mengungkap kekeliruan ilmiah teori evolusi

Hidayatullah.com--
Penindasan terhadap para ilmuwan dan intelektual yang berani mengungkap kekeliruan ilmiah teori evolusi Darwin, dan berbagai sisi gelap teori itu tidak hanya berlaku di Amerika Serikat. Untuk kesekian kalinya, Adnan Oktar, dengan nama pena Harun Yahya, diganjar pengadilan Turki 3 tahun penjara, lantaran mengemukakan kebenaran bahwa teori evolusi Darwin tidaklah ilmiah.

Sebelum ini, Harun Yahya sudah dipenjara beberapa kali. Ia pernah dikurung di rumah sakit jiwa bersama para pasien penyakit jiwa berbahaya. Di tempat itu, beliau dicoba untuk dibunuh beberapa kali.

Meski demikian, Harun Yahya tetap tidak bergeming membongkar kepalsuan teori evolusi, beserta gerakan ideologis yang mendukungnya, termasuk Freemasonry.

Pembunuhan Karakter

Sebagaimana diketahui, ilmuwan Muslim yang karyanya sudah merambah dunia itu beberapa tahun terakhir ini mengagetkan dunia. Buku besar Harun Yahya berjudul "Atlas Penciptaan" muncul di Eropa, dan mengagetkan pihak berwenang di negara-negara seperti Perancis, Denmark, Austria, dan Italia.

Tidak mampu menanggapi balik secara ilmiah dan intelektual, organisasi dunia setinggi Dewan Eropa mengeluarkan resolusi yang melarang buku Atlas Penciptaan dan pemikiran kritis semacamnya atas teori evolusi diajarkan di sekolah-sekolah Eropa.

Lebih dari itu, tindakan penyusupan agen rahasia Freemasonry pun dilakukan demi membungkam kegiatan Harun Yahya.

Bisa ditebak, media massa pro evolusi memanfaatkan peristiwa ini untuk melakukan pembunuhan karakter Harun Yahya untuk kesekian kalinya dengan berbagai tuduhan negatif, tak terkecuali situs rujukan seperti wikipedia.

Menjawab putusan pengadilan ini, Harun Yahya menyampaikan pernyataan penting dalam sebuah konferensi pers.

"Ini adalah sebuah kasus yang mungkin akan tercatat dalam sejarah. Saya belum pernah mendengar, melihat atau membaca kasus yang penuh tipu daya semacam ini. Namun kami masih menaruh rasa hormat yang sepatutnya.

Kami menghormati sistem keadilan. Kami menghormati keputusan pengadilan. Ada suatu kebaikan dalam segala hal. Keputusan itu telah ditakdirkan dalam pandangan Allah sebelum para orang tua hakim itu dilahirkan.

Mereka mengeluarkan pernyataan putusan hakim ketika saatnya tiba. Mereka mengeluarkan pernyataan putusan pengadilan yang ada dalam takdir mereka. Tak seorang pun dapat menentukan untuk dirinya sendiri, tidak pula membuat pernyataan apa pun sekehendaknya sendiri. Setiap orang membuat pernyataan yang telah ditetapkan dalam takdirnya. Mengapa ini terjadi dengan cara sedemikian itu? Sebab
kebaikan akan muncul dengan takdir itu terjadi,
" ujarnya.

Harun Yahya menyebut pemenjaraan dirinya diibaratkan kasus Nabi Yusuf AS. "Insya Allah, kami juga berada pada jalan Nabi Yusuf AS. Kami berada pada jalan para nabi yang dirahmati. Kami menetapi sunnah mereka yang agung. Insya Allah kami melakukan apa yang mendatangkan kebaikan. Orang mukmin berada di jalan para nabi, dan di dalam Al-Quran," katanya dikutip www.harunyahya.com. [as / cha / berbagai sumber / www.hidayatullah.com]

simak biografi penuh derita, dera dan percobaan pembunuhan di:
http://www.harunyahya.com/indo/m_riwayat.htm





Senin, 09 Juni 2008

Joke: Pergeseran Budaya 2 - Malam Pengantin (+17 Thn)

MALAM PENGANTIN WANITA

Jaman dulu, mempelai wanita memasuki kamar pengantinnya masih mengenakan gaun pengantinnya lengkap, dan menuju ranjang pengantin kemudian tiduran telungkup dengan perasaan harap-harap cemas, was-was, deg-degan dan tubuh panas-dingin, tanpa suara menunggu mempelai prianya berbuat sesuatu.

Kemudian terjadilah pergeseran nilai-nilai dalam masyarakat, sehingga pada jaman berikutnya...
Mempelai wanita memasuki kamar pengantinnya sudah dengan gaun tidur lumayan tipis dengan bagian dada rendah serta lumayan pendek sebatas pangkal paha lalu menuju ranjang pengantin kemudian tiduran miring membelakangi mempelai prianya sambil berkata lirih:
"f*** me if you can."

Kemudian terjadi lagi pergeseran nilai-nilai dalam masyarakat, sehingga pada jaman berikutnya...

Mempelai wanita memasuki kamar pengantinnya sudah tanpa sehelai benangpun lalu menuju ranjang pengantin, kemudian tiduran telentang sambil berkata lantang:
"mas..., jangan seperti yang sudah-sudah ya, cuma tahan 10 menitan, gw baru aja on, kamu sudah selesai, beda banget sama mantan pacar gw dulu yang sanggup dari bedug magrib sampai azan subuh".


MALAM PENGANTIN PRIA

Jaman dulu, mempelai pria memasuki kamar pengantin masih mengenakan gaun pengantinnya lengkap, dan menuju ranjang pengantin, dimana sudah tergolek mempelai wanita yang tidak kalah lengkap gaun pengantinnya, kemudian pria tersebut mulai satu persatu melucuti pakaiannya sendiri, dan pada saat melepaskan bagian terakhir dari busana mempelai wanita, terdengar adzan subuh berkumandang.

Kemudian terjadilah pergeseran nilai-nilai dalam masyarakat, sehingga pada jaman berikutnya...

Mempelai pria memasuki kamar pengantinnya hanya dengan kaus singlet dan celana pendek lalu menuju ranjang pengantin yang sudah tergolek mempelai wanita dengan gaun tidur lumayan tipis, sambil bibirnya terus menghisap rokok, butuh waktu satu-dua jam untuk untuk terus merokok dan merokok sampai akhirnya baru bisa memulai tanpa foreplay, selesai dalam 10 menitan.

Kemudian terjadi lagi pergeseran nilai-nilai dalam masyarakat, sehingga pada jaman berikutnya...

Mempelai pria memasuki kamar pengantinnya sudah tanpa sehelai benangpun lalu menuju ranjang pengantin yang sudah tergolek mempelai wanita, sambil menggengam dompet yang kemudian dilemparkannya kearah mempelai wanita seraya berkata lantang: "kamu boleh ambil semua isi dompet itu, gw cuma pengen telentang... kamu yang 'kerja' diatas.

Jumat, 06 Juni 2008

Pengalaman Agamis di Sebuah Bengkel

Kamis kemarin, aku berdua ma anakku yang sulung, sedari pagi sudah cabut ke sebuah bengkel. Mengganti sarung jok dlm bengkel yang sedikit luar biasa menurutku.

Begini:
Jika beberapa tahun yang lalu, untuk keperluan yg sama, dibengkel lainnya, aku harus datang, pilih bahan dan motif, deal harga, besoknya bisa datang dan dipasang, kali ini tidak.

Setelah deal semuanya, aku masih hrs menunggu 2 minggu lamanya untuk pemasangan. Ketika kutanya mengapa sedemikian lama? Mereka menjawab bahwa kapasitas pasang mereka hanyalah 6 - 8 jok mobil per hari. Sesuai urutan pemesanan yang masih waiting list dan kapasitas terpasang tersebut, aku harus rela menunggu 2 minggu lamanya. Luar biasa bengkel ini, kata batinku.

Kemarin kamis adalah hari pemasangan yang telah kami sepakati. Jam 08.30 tiba di tempat sudah menempati urutan yang ketiga. Belum jam sepuluh, bengkelpun penuh sudah dengan daftar pasiennya.

Semua pegawai bengkel berseragam, ada bagian bongkar jok, bagian produksi, bagian pasang, bagian door trim dan juga staff khusus penjualan, selain staff administrasi kantor sekaligus kasir yang digawangi oleh 2 mbak berjilbab yang manis-manis.

Diruang tunggu yang hanya berisi kursi untuk 6 orang itu, sempit namun lumayan karena ber AC, aku segera tenggelam dalam buku bacaan bawaanku. Anakku pun sibuk dengan komik2nya sembari asik mendengarkan headphone musik dr HP-nya.

Jam 11.30, dengan perut yang mulai menggugat, ku bersiap-siap ke mall terdekat tuk makan siang.

"Jam 12 istirahat ya mbak?" tanyaku pada mereka.

"Iya pak, kami istirahat 1 jam dan waktu untuk sholat 30 menit. Anak-anak akan mulai bekerja lagi dari jam 13.30" jelasnya dengan lemparan senyum ramahnya.

"Loh, ada jatah waktu sholatnya juga, to?" tanyaku heran sekaligus kagum.

"Iya pak, nanti waktu Ashar kami pun akan sholat untuk 30menit. Tuh tulisannya..." ujarnya lagi sembari menunjukkan jarinya ke kaca yang menghadap ke bengkel.

Dengan perlahan kuberusaha membaca pengumuman itu. Perlu sedikit usaha karena aku membaca dari belakang sehingga huruf terbalik dan membacanya pun harus dari kanan ke kiri.

Tertulis "Utamakan Sholat dari Pekerjaan".

Wah, hebat nian pemilik bengkel ini. Baru secara sadar aku melihat sekeliling ruang tunggu itu. Ternyata bengkel ini sudah berulangkali masuk ke dalam majalah-majalah yg membahas dunia otomotif.

Pemiliknya seorang muslim dari Lampung. Jumlah karyawan sekitar 50 - 60 orang. Kisaran gaji antara 1 - 3 juta (saya lupa mencatat, ini majalah tahun berapa). Bagi karyawan muslim yang melalaikan ibadah sholatnya, hukumannya nggak tanggung-tanggung, dikeluarkan dari pekerjaannya. Salut buat pengusaha satu ini.

Selepas makan siang, sambil sesekali melihat proses pengerjaan mobil, aku banyak berbincang dengan mbak anggi, mbak rini dan mas-mas di sana seputar hidup dan kehidupan, juga tentang keagamaan. Hem, sebuah tempat kerja yang sangat menyenangkan. Sebuah contoh nyata bagaimana nilai-nilai spiritual berhasil membangun sebuah company menjadi besar tersuguh di depan mataku. Allah Akbar.

Selasa, 03 Juni 2008

Lowongan Kerja: IT Section Head di Bekasi

Sebuah perusahaan swasta asing strata menengah, sedang membutuhkan:

01. Seorang Kepala IT
02. S1 bidang IT
03. Menguasai Visual Basic, Crystal Report & SQL Server
04. Mengetahui software Solomon merupakan suatu added value
05. Tahan terhadap tekanan pekerjaan
06. Lokasi pekerjaan di Bekasi
07. Terbuka bagi fresh graduate.

Bagi sahabat yang berminat, silahkan PM untuk lebih detilnya.

Jumat, 23 Mei 2008

Buku "Matahari Merah Bulan Mei"

Buku ini ditulis oleh seorang aktivis mahasiswa, sebagai seorang dari pelaku sejarah masa Reformasi 1998.


Judul : Matahari Merah Bulan Mei
Penulis : Ali Akbar
Kata Penutup : Maman S. Mahayana
Penerbit : Maju Mbojo, Mei 2008
Tebal : vi + 249


Sepuluh tahun sudah Reformasi 1998 berlalu. Hiruk-pikuknya masih menyisakan berbagai kenangan sampai kini. Sudah empat presiden memimpin negeri ini. Namun, persoalan negeri ini tak kunjung selesai.

Salah satu fase terpenting dalam kehidupan bangsa ini pun telah tercatat dalam berbagai buku. Baik dalam bentuk biografi, otobiografi maupun fiksi. Salah satunya novel Matahari Merah Bulan Mei ini.

Novel ini ditulis oleh salah satu dari aktivis yang terlibat langsung dalam Reformasi 1998 yang karena begitu membingungkan rakyat sering dipelesetkan menjadi ’Repotnasi’. Repot memikirkan nasi (perut) lantaran harga beras terus membumbung tinggi.

Mengambil sudut pandang seorang tokoh aktivis mahasiswa, penulis menceritakan berbagai tokoh (terutama mahasiswa) menjelang Reformasi Mei 1998. Tokoh-tokoh mulai dari narapidana (tentara desertir), pembantu rumah tangga, kuli angkut, petani yang menjadi kuli bangunan, penjaga warung yang bercita-cita menjadi TKW sampai tokoh lurah yang menggambarkan krisis moral di negeri ini juga menghiasi novel ini. Beberapa tokoh nasional muncul sebagai cameo dalam novel ini. Misalnya Amien Rais, Ali Sadikin, Buyung Nasution.

Hampir semua tokoh bermuara pada satu tujuan. Jalinan benang merahnya dengan cerdas dan mulus dijalin oleh penulis. Kecuali tokoh narapidana (tentara desertir) yang hingga akhir hidupnya ’hubungan’ cerita yang lain sebatas mencuri dengar obrolan mahasiswa di warung tepi jalan.

Ali Akbar, si penulis, tampaknya lebih memilih untuk menceritakan peristiwa reformasi dari kacamatanya sendiri, dari sudut pandang pelaku sejarah. Jejak sejarah yang ditampilkan dalam novel ini misalnya penembakan mahasiswa Trisakti, pendudukan Gedung MPR/DPR hingga detik-detik Soeharto mengundurkan diri. Seperti dikatakan oleh Syamsudin Haris, pengamat politik dari LIPI, novel ini layak dibaca karena ditulis oleh aktivis mahasiswa yang terlibat langsung di dalam gerakan Reformasi 1998. Bahkan, Anis Matta, politisi dan anggota DPR RI, menyatakan ini adalah sebuah novel sejarah yang menggambarkan jejak jiwa seorang aktivis.

Meski porsi ceritanya tidak besar, Ali Akbar menyebutkan keterlibatan Amerika di dalam gerakan Reformasi. Ia menyebutkan ada tokoh mahasiswa yang didatangi oleh orang dari Kedutaan Besar Amerika Serikat. Orang itu menawarkan bantuan jika diperlukan. Ia memberikan selembar kartu nama yang kemudian dibuang oleh tokoh mahasiswa tersebut.

Sulit menghilangkan kecurigaan keterlibatan Amerika di dalam menentukan percaturan politik di Indonesia. Salah satu bagian dari peristiwa tahun 1966 yang terus dikaji oleh politikus dan sejarawan adalah mengenai keterlibatan badan intelijen Amerika—CIA. Ada pandangan kuat bahwa Amerika tidak sejalan dengan Soekarno dan berupaya menyingkirkannya. Apalagi ketika itu Soekarno condong ke blok Timur. Ada ’tuduhan’ bahwa Soeharto didukung oleh Amerika. Bahkan, ada dugaan kalau aksi demonstrasi mahasiswa angkatan 66 dibiayai oleh CIA.

Demonstrasi 1998 dianggap sama besar besar bahkan lebih besar dari demonstrasi 1966. Kedua demonstrasi itu diakui menjadi tahap penting di dalam sejarah Indoenesia. Namun, pernahkan ada yang menyatakan keterlibatan Amerika di dalam demonstrasi 1998?

Satu hal yang cukup menggelitik adalah penggunaan teknologi telepon genggam alias handphone. Pada masa itu handphone masih merupakan benda mewah tanda status seseorang. Tidak banyak orang yang memilikinya apalagi mahasiswa. Apakah ini indikasi keterlibatan Amerika atau memang aktivis tersebut dari keluarga kaya atau karena ia seorang aktivis ’karismatik’ yang mendapat ’bantuan’ dari banyak pihak yang bersimpati. Terlepas dari itu semua ternyata teknologi juga berperan dalam melengserkan suatu rezim seperti yang juga terjadi di Filipina.

Membaca novel ini kita seolah terlibat di dalamnya. Mengikuti rapat mengatur strategi berdemo, tidur di tenda ditemani nyamuk, ramai-ramai berdemonstrasi, bersitegang dengan aparat keamanan hingga memuncaknya Reformasi 1998. Inilah, meminjam ungkapan Maman Mahayana dalam kata penutupnya, catatan terpendam yang mengungkap kisah tak terucapkan. Beruntung, Ali Akbar merekam semua itu.



Achmad Sunjayadi
Pengajar FIB UI dan Erasmus Taalcentrum Jakarta
visit me at : http://www.sunjayad i.com

copasan dr: milis ResensiBuku@yahoogroups.com; ungguls belum punya buku ini

Jumat, 16 Mei 2008

Buku: Selamatkan Indonesia - by Amien Rais

Sebuah risalah kritis dipersembahkan untuk:

- Angkatan muda dan mahasiswa Indonesia,
- Para intelektual dan politisi yang punya hati nurani,
- Para ulama, zu'ama dan rohaniawan,
- Para prajurit yang selalu mengingat Sumpah Sapta Marga, dan para Bhayangkara yang senantiasa memegang Sumpah Tri Brata,
- Para penegak hukum dan keadilan,
- Segenap tokoh tiga pilar bangsa: buruh, tani dan nelayan,
- Para pengasuh media massa sebagai estate ke empat demokrasi,
- Para penggiat LSM yang tetap mengunggulkan kepentingan bangsa,
- Segenap pendidik yang sedang mengukir generasi muda,
- Semua anak bangsa yang masih peduli dengan mertabat dan harga diri bangsa.

Daftar isi pada Bab 6 Korupsi Paling Berbahaya: State Captured Corruption Zaman Habibie, Zaman Megawati dan Zaman Yudhoyono

Senin, 12 Mei 2008

Jangan (Membiasakan Diri Ber)Teriak

Cerita tentang salah satu kebiasaan yang ditemui pada penduduk yang tinggal di sekitar kepulauan Solomon, yang letaknya di Pasifik Selatan.

Nah, penduduk primitif yang tinggal di sana punya sebuah kebiasaan yang menarik yakni meneriaki pohon. Untuk apa? Kebiasaan ini ternyata mereka lakukan apabila terdapat pohon dengan akar-akar yang sangat kuat dan sulit untuk dipotong dengan kapak.

Inilah yang mereka lakukan, dengan tujuan supaya pohon itu mati. Caranya adalah, beberapa penduduk yang lebih kuat dan berani akan memanjat hingga ke atas pohon itu.

Lalu, ketika sampai di atas pohon itu bersama dengan penduduk yang ada di bawah pohon, mereka akan berteriak sekuat-kuatnya kepada pohon itu. Mereka lakukan teriakan berjam-jam, selama kurang lebih empat puluh hari. Dan apa yang terjadi sungguh menakjubkan. Pohon yang diteriaki itu perlahan-lahan daunnya akan mulai mengering. Setelah itu dahan-dahannya juga mulai akan rontok dan perlahan-lahan pohon itu akan mati dan dengan
demikian, mudahlah ditumbangkan.

Kalau kita perhatikan apa yang dilakukan oleh penduduk primitif ini sungguhlah aneh. Namun kita bisa belajar satu hal dari mereka. Mereka telah membuktikan bahwa teriakan-teriakan yang dilakukan terhadap mahkluk hidup tertentu seperti pohon akan menyebabkan benda tersebut kehilangan rohnya.

Akibatnya, dalam waktu panjang, makhluk hidup itu akan mati. Nah, sekarang apakah yang bisa kita pelajari dari kebiasaan penduduk primitif di kepulauan Solomon ini? O, sangat berharga sekali!. Yang jelas, ingatlah baik-baik bahwa setiap kali Anda berteriak kepada mahkluk hidup tertentu maka berarti Anda sedang mematikan rohnya.

Pernahkah kita berteriak pada anak kita?
Ayo cepat!
Dasar leletan!
Bego banget sih..
Hitungan mudah begitu aja nggak bisa dikerjakan.. .
Ayo, jangan main-main disini.
Berisik!
Bising!

Atau, pernahkah kita berteriak kepada orang tua kita karena merasa mereka membuat kita jengkel?
Kenapa sih makan aja berceceran?
Kenapa sih sakit sedikit aja mengeluh begitu?
Kenapa sih jarak dekat aja minta diantar?

Mama, tolong nggak usah cerewet, boleh nggak?
Atau, mungkin kitapun berteriak balik kepada pasangan hidup kita karena kita merasa sakit
hati?
Cuih! Saya nyesal kawin dengan orang seperti kamu, tahu nggak?!
Bodoh banget jadi laki nggak bisa apa-apa!
Aduh.. Perempuan kampungan banget sih?!

Atau, bisa seorang guru berteriak pada anak didiknya.
Eh tolol, soal mudah begitu aja nggak bisa. Kapan kamu mulai akan jadi pinter?

Ingatlah, setiap kali kita berteriak pada seseorang karena merasa jengkel, marah, terhina, terluka ingatlah dengan apa yang diajarkan oleh penduduk kepulauan Solomon ini. Mereka mengajari kita bahwa setiap kali kita mulai berteriak, kita mulai mematikan roh pada orang yang kita cintai.

Kita juga mematikan roh yang mempertautkan hubungan kita. Teriakan-teriakan, yang kita keluarkan karena emosi-emosi kita perlahan-lahan, pada akhirnya akan membunuh roh yang telah melekatkan hubungan kita.

Jadi, ketika masih ada kesempatan untuk berbicara baik-baik, cobalah untuk mendiskusikan mengenai apa yang Anda harapkan. Coba kita perhatikan dalam kehidupan kita sehari-hari. Teriakan, hanya kita berikan tatkala kita bicara dengan orang yang jauh jaraknya, bukan?!

Nah, tahukah Anda mengapa orang yang marah dan emosional, mengunakan teriakan-teriakan padahal jarak mereka hanya beberapa belas centimeter. Mudah menjelaskannya. Pada realitanya, meskipun secara fisik mereka dekat tapi sebenarnya hati mereka begituuuu
jauhnya. Itulah sebabnya mereka harus saling berteriak.

Selain itu, dengan berteriak, tanpa sadar mereka pun mulai berusaha melukai serta mematikan roh pada orang yang dimarahi kerena perasaan-perasaan dendam, benci atau kemarahan yang dimiliki. Kita berteriak karena kita ingin melukai, kita ingin membalas.

Jadi mulai sekarang ingatlah selalu. Jika kita tetap ingin roh pada orang yang kita sayangi tetap tumbuh, berkembang dan tidak mati, janganlah menggunakan teriakan-teriakan. Tapi, sebaliknya apabila Anda ingin segera membunuh roh pada orang lain ataupun roh pada hubungan Anda, selalulah berteriak.

Hanya ada 2 kemungkinan balasan yang Anda akan terima. Anda akan semakin dijauhi. Ataupun Anda akan mendapatkan teriakan balik sebagai balasannya.

Saatnya sekarang, kita coba ciptakan kehidupan yang damai tanpa harus berteriak-teriak untuk mencapai tujuan kita.

sumber: email dr salah satu sahabat, sumber awal tak tercantumkan.

Jumat, 09 Mei 2008

Baru Terbit - Gajah Mada 6 - Perang Paregreg

Sobat peminat novel roman sejarah semua, kabar gembira, Langit kresna
Hariadi baru saja menerbitkan novel roman sejarah Majapahit, melanjut-
kan novel populernya, Gajah Mada, yang berjudul:

"Gajah Mada 6: Perang Paregrek 1"

- "Aku seorang raja." kata Hayam Wuruk datar dan tenang, "mestinya
semua oang tahu sebagai Raja aku memiliki kekuasaan yang sangat besar.
Aku bisa menjatuhkan hukuman mati pada siapapun yang menurut anggapan-
ku melakukan kesalahan besar.

Breh Wirabumi itu bukan Minak Jinggo, aku tidak pernah memberinya
nama Minak Jinggo. Akan tetapi di luar sana ada orang yang berani-
beraninya memberi nama olok-olok Minak Jinggo. Penyebutan Breh Wira-
bumi dengan nama olok-olok itu sangat menyinggung perasaanku dan
sungguh memancing keinginanku menjatuhinya dengan hukuman mati."

***

Perang Paregrek, sebuah perang keluarga dengan latar belakang konflik
yang tidak terduga. menyambung sukses pentalogi Gajah Mada. El-Kaha
(Langit Kresna hariadi) kembali mengajak anda berimajinasi ke wilayah
abad 13 dan 14.

Sinopsis dan informasi lain tentang buku ini tersedia di halaman depan
situs www.inibuku.com. Jangan lupa klik [buku baru] di kiri atas
halaman situs untuk mendapatkan info seluruh buku baru.

Terima kasih
www.inibuku.com - toko buku online
Pesan melalui telpon : 021 4287-6779 atau 021 421-2057

Selasa, 22 April 2008

My Sweety Blue

Aku berduka...
Terluka...

Kau tiada...
Memahat luka...

Dalam...
Dalam...
Dalam...

Hati memerah...
Darah...

Mata memerah...
Marah...

Berlalu...
Membiru...
Kaku...

Blue....
Luv u...

Sabtu, 19 April 2008

Pameran Besar Komik Indonesia di TMII

Siang tadi, aku lg asik bercengkerama di Cafe Open Space Megablitz XXI Mega Mall Bekasi bersama keluarga, di temani segelas Capucinno dan French Fries panas dan pedas, HP mendadak melantunkan lagu "Keakuanku", salah satu tembang kesukaanku dr Iwan Fals.

"SMS dr siapa nih?" tanya batinku sembari mengambil HP yg tergeletak di meja.

Jam menunjukkan pukul 14:27.

"Datang yah, tgl 20 ini jam 10 pagi di Istana Anak TMII. Undangan ada di saya. Pada HUT TMII ke 33 diadakan Pameran Besar Komik Indonesia 19-27 April"

Nama "Andy Wijaya" tampil sebagai nama pengirimnya. Bagi para penikmat komik indonesia, pasti tahu nama ini. Ia bersama rekan-rekan dekatnya, mas Iwan Gunawan, Surjorimba S. dkk. lainnya telah menjadi motor-motor penggerak bagi bangkitnya kembali komik Indonesia yang telah lama terpuruk, tertidur pingsan berpuluh-tahun lamanya, melalui Komik Indonesia dot com-nya.

Melalui komik-indonesia.com mereka meremaster komik-komik lawas Indonesia pernah populer pada masanya. Godam Mata Sinar X karya Wid NS, komik Si Buta dari Gua Hantu karya Ganes, komik Gina (Reborn) karya Gerdi WK, komik Labah-labah Merah karya Kus Br . dan lain-lainnya yg kini beredar kembali dlm format yg lebih modern merupakan bukti dari kiprah mereka baik secara langsung maupun tidak.

Euforia orang-orang thd komik Indonesia, dan berkat jaringan yg semakin luas luas, kini telah lahir orang-orang nekat yg bermodalkan kecintaan thd komik bangsa sendiri, mereka berani dan mau mempertaruhkan dana, waktu dan tenaga mereka demi bangkitnya kembali komik bangsa dewe ini. Lahirlah kerjasama-kerjasama para pecinta itu yang menamakan kelompok mereka sebagai: Kelompok Penggemar Komik Godam, Kelompok Penggemar Komik Gina. Sungguh luar biasa.

Di luar kelompok2 itu, tampil pula Neoparadigm yg baru saja merelease komik "Aquanus - Benua ke Tujuh" yg banyak menuai pujian, baik tuk gambar, cerita, pewarnaan maupun tampilan dari komik tsb. Dalam waktu dekat, komik "Godam - Jodoh Buat Awang" pun akan beredar melanjutkan komik sebelumnya "Godam - Reborn". Sungguh mengasikan bisa menikmati ini semua.

Gebrakan kebangkitan ini tak hanya bergema di dalam negeri, sobat Erwin Prima Arya, seorang ahli remaster, kini tengah berkolaborasi dengan rekan kerjanya di Singapura tuk meremaster dan mentranslatekan komik Si Buta dari Gua Hantu yg berjudul "Banjir Darah di Pantai Sanur" go internasional. Sungguh luar biasa bukan?

Jumat, 18 April 2008

Cantik, Maafkan Aku...

Cantik...
Maafkan aku...
Bukan ku tak cinta...
Bukan karna ku tak sayang...

Di sini...
Bersamamu
Aku tak bisa berpaling...

Lama waktu bersama...
Menjalani hari-hari...
Mingu demi minggu...
Bulan berganti bulan...
Berkali kita jelang tahun yang baru...

Dalam sukaku...
Dalam sedihku..
Kau bersamaku...
Selalu...

Lukamu adalah sakitku...
Sukamu gembira batinku...

Detik berjalan...
Perpisahan tak tertahankan...

Cantik....
Kau luar biasa...
Menjalani saatku bersamamu...
Sang waktu berlari....

Kebersamaanmu...
Jdi pahatan cinta yang tak kan tenggelam...
Begitu dalam
Dalam...
Semakin dalam...

Menjadi istri kedua
Istri Muda
Apapun itu
Tak jadi bebanmu...

Kau bilang,
"Ini bukan pilihan...
tapi...
inilah hidup...
yang mesti kita jalani...
dengan setia...
bersama hati....
berpeluk hari-hari..."

Cantik....
Maafkan aku....

Blog-Brary-2008 "Perpustakaan Untuk Anak Indonesia"

Melanjutkan dr MP-nya Kang Arul di: http://arul.multiply.com/

Berapa banyak anak-anak Indonesia yang bisa mendapatkan bacaan bermutu? Bahkan berapa banyak anak-anak Indonesia yang memiliki kesempatan untuk bisa membaca bacaan yang mendidik, mengembangkan wawasa, dan menambah pengetahuan? Berapa banyak perpustakaan yang dibutuhkan anak-anak Indonesia.

Saatnya para blogger untuk menyatukan langkah dan memberikan kontribusi secara offline kepada anak-anak Indonesia. Mari kita bangun perpustakaan bagi anak-anak yang tinggal di daerah kumuh, yang tumbuh-kembang di lingkungan jauh dari bacaan bermanfaat, dan anak-anak Indonesia yang punya hak untuk mendapatkan bacaan yang bermutu.

Dukung BLOGBRARY2008; Perpustakaan untuk Anak Indonesia. Sebuah kegiatan sosial BSR atau Blogger Social Responsiblity yang berasal dari blogger Indonesia untuk anak-anak Indonesia.

Apa yang bisa Anda lakukan?

Pertama, kumpulkan buku-buku layak baca. Kirimkan ke alamat Sentra Pengumpulan Buku yang ada di setiap kota. Atau blogvolunter kami akan mendatangi tempat Anda.

Kedua, kirimkan donasi Anda ke alamat rekening kami yang nantinya akan dipergunakan sepenuhnya untuk mendukung kegiatan ini (untuk sementara) di tiga provinsi; Jakarta, Banten, dan Jawa Barat

Ketiga, sebarkan pengumuman ini. Ajak blogger untuk menyukseskan BLOGBRARY2008; Perpustakaan untuk Anak Indonesia

Untuk informasi silahkan menghubungi Kangarul ( 08128749407 or 0817804088 ) - Septi ( 08561131243 )

Atau buka blog kami di http://blogbrary2008.wordpress.com/

Selasa, 08 April 2008

Buku Baru John Roosa: "Dalih Pembunuhan Masal: Gerakan 30 September"

"Apa Yang Sebenarnya Telah Terjadi" Dalam Gerakan 30 September

Cetakan 1
Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra, 2008
xxiv+392 hlm; 16 cm x 23 cm
ISBN: 978-979-17579- 0-4

--------- --------- --------- --------- -

Ditulis dengan sangat baik dan mengasyikkan, inilah upaya ilmiah pertama dalam kurun waktu lebih dari dua dasawarsa untuk mengkaji secara serius bukti-bukti yang berkenaan dengan teka-teki paling penting dalam sejarah Indonesia, kudeta 30 September 1965.
Robert Cribb, Australian National University

Tiga pencapaian mengagumkan yang diraih John Roosa adalah menyoroti bukti baru empat puluh tahun setelah peristiwa, memutar-balikkan kesimpulan-kesimpul an yang sudah diterima umum, dan melakukan ini semua dalam gaya mencekam ala kisah detektif.
Gerry van Klinken, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde

Buku John Roosa yang menggugah dan berdasar pada penelitian menyeluruh menyajikan bukti padu untuk mendukung interpretasi-interpretasi yang sebelumnya didasarkan hanya pada spekulasi. Buku ini merupakan sumbangan yang penting bagi kepustakaan tentang kudeta di Indonesia.
Harold Crouch, Review of Politics

Ini merupakan bahan bacaan penting bagi pelajar sejarah modern Indonesia, dan bagi siapapun yang tertarik pada kekerasan politik, peran militer dalam politik, dan kebijakan luar negeri Amerika Serikat.
Geoffrey Robinson, University of California at Los Angeles

Buku ini merupakan catatan paling detil dan dengan penelitian terbaik tentang kejadian-kejadian 1965 yang pernah ditulis. Siapa pun yang berniat memahami kejadian-kejadian yang masih menebar mendung di atas bumi Indonesia dan sedikit dipahami oleh sebagian
besar masyarakat Indonesia akan memperoleh manfaat sangat besar dengan membaca buku kelas satu ini.
Carmel Budiardjo, Tapol Bulletin

Sumbangan yang luar biasa berharga. Ini merupakan masukan akademik pertama yang signifikan tentang masalah yang dibicarakan dalam jangka waktu tertentu, dan cukup memukau dibaca.
Vedi Hadiz, Pacific Affairs

Catatan John Roosa tentang Gerakan 30 September merupakan karya detektif yang mengesankan … ia sudah barang tentu menyumbangkan penelitian yang terbaik sampai saat ini tentang siapa yang mengorganisasikan gerakan ini, mengapa gerakan tersebut gagal, dan
bagaimana gerakan ini beranjak ke pembunuhan massal, yang diikuti dengan berpuluh-puluh tahun represi. Buku ini layak dibaca kalangan seluas-luasnya.
Olle Törnquist, International Review of Social History

http://johnroosa- dpm.blogspot. com

Kamis, 03 April 2008

Hadiah Sebuah Buku Karya Sahabat

Beberapa hari yg lalu, sepulang kerja, aku disambut oleh anakku yg bungsu. Ia berlari menghampiriku yg tengah memarkirkan motor.

"Pa, nih ada kiriman buku dari temen papa" katanya sembari menyerahkan sebuah bungkusan amplop warna coklat. Tertera nama sang pengirimnya, seorang sahabatku, Mas Erwin Prima Arya.

"Makasih ya dik" jawabku girang.

Sehari sebelumnya, mas Erwin memberitahuku bahwa ada titipan buku untukku karya terbaru sahabatku di Surabaya, Mas Ferry Herlambang yang berjudul "Menguasai PERALATAN GAMBAR pada Photoshop CS3 - Esensi Yang Terlupakan-".

Begitu kubuka halaman judul bagian dalam, wuih, lengkap dengan sapaan hangat sang penulis plus tanda-tangannya. Pokoknya mantabz bangedz.

Dengan buku ini ditanganku, kini aku bisa mulai tuk coba-coba belajar Photoshop, karena jujur saja, aku sendiri gaptek tentang software semacam ini. Semoga saja bisa berjalan dengan lancar, apalagi buku ini dilengkapi pula dengan CD yang tentunya sangat membantu proses pembelajaranku ini. Asik, sekali lagi, asiiik.

Terima kasih untuk mas Ferry untuk hadiah yg mengesankan ini, semoga buku ini bisa mendulang sukses, dan bisa segera terbit versi cetak ulang, amin. Jangan lupa, aku tunggu pula buku-buku karya berikutnya. Tak lupa, aku ucapkan kasih pula tuk mas Erwin yg telah banyak membantuku. Sukses selalu.

Rabu, 02 April 2008

Buku: "Hidup Tanpa Ijazah - Yg Terekam dlm Kenangan" - Autobiografi Ajip Rosidi

Ada seorang putra Indonesia yang tak punya gelar akademik sama sekali, bahkan ijazah SMA pun tak punya karena ia tidak menamatkan SMA-nya, tetapi ia diangkat sebagai gurubesar di tiga perguruan tinggi di Jepang. Bagaimana bisa?

Sebuah buku baru diterbitkan Pustaka Jaya, Januari 2008. Tebalnya setebal bantal, 1364 halaman, dicetak di kertas HVS. Meskipun tebal dan cetakannya bagus, harganya murah untuk buku setebal ini, Rp 95.000 (bandingkan dengan buku seri Harry Potter terakhir, Deadly Hollows, tebal 1008 halaman, berkertas dengan kualitas di bawah HVS, berharga Rp 175.000).

Saat mengetahui harganya, saya cukup kaget juga, buku-buku yang dicetak biasa
(bukan deluks) dengan tebal sekitar 200-300 halaman kini harga rata-ratanya sekitar Rp 35.000 - 50.000, dengan harga rata2 itu maka buku tebal Pustaka Jaya ini mestinya berharga sekitar Rp 250.000. Bagaimana buku setebal 1364 halaman ini harganya hanya Rp 95.000 ?

Saya mendapatkan jawabannya pada halaman 1329 di buku ini dalam "Ucapan Terimakasih". Buku yang akan saya ceritakan ini memang harga seharusnya adalah sekitar Rp 300.000. Tetapi, siapa yang mau membeli buku setebal 1364 halaman dengan harga Rp 300.000 ? Kata Rosihan Anwar, wartawan dan penulis senior itu, tebal buku maksimal yang masih menarik untuk dibaca orang-orang Indonesia adalah sekitar 300-400 halaman. Memang Rosihan Anwar menganjurkan penulis buku ini untuk memotong bukunya sampai menjadi maksimal 400 halaman saja, tetapi penulisnya merasa sayang memotong manuskripnya yang sudah sampai 1000 halaman, jadi ia tak memotongnya sama sekali, maka akhirnya
menjadi 1364 halaman. Harganya? Ada sekitar 100 orang, sebagian di antaranya tokoh-tokoh terkenal Indonesia dan Manca Negara dari berbagai latar belakang, dari seniman sampai birokrat, dari ilmuwan sampai jenderal, yang bersedia membeli buku ini dengan harga edisi khusus dan terjadilah subsidi silang sehingga masyarakat umum dapat membelinya Rp 95.000. Sebuah ide bagus !

Buku ini judulnya "Hidup Tanpa Ijazah: Yang Terekam dalam Kenangan", sebuah otobiografi Ajip Rosidi, sastrawan dan budayawan Indonesia. Buku ini ditulis dalam waktu kurang dari setahun, ditulis atas anjuran teman-teman Ajip dan mengejar waktu agar telah terbit saat Ajip berusia 70 tahun pada 31 Januari 2008. Buku ini ditulis oleh Ajip sendiri, jadi bukan otobiografi pesanan seperti banyak dipesankan oleh para
tokoh politik dan militer (namanya otobiografi ya harusnya ditulis sendiri dong, kalau dituliskan orang lain ya namanya biografi). Walaupun buku ini mulai ditulis tahun 2006, Ajip dapat merekam dengan cukup detail peristiwa2 puluhan tahun sebelumnya sejak Ajip anak-anak, remaja, pemuda, dewasa muda, dewasa, sampai usianya sekarang (70 tahun). Pasti Ajip biasa menulis jurnal kegiatan harian sehingga ia bisa menuliskan kembali peristiwa sehari-hari
puluhan tahun ke belakang.

Mengapa Ajip memberi judul buku ini "Hidup Tanpa Ijazah" ? Karena Ajip tak punya ijazah apa-apa, ijazah SMA pun tidak, sebab ia keluar sebelum ujian akhir SMA (Taman Madya). Ajip tidak pernah kuliah, bukan sarjana, tentu bukan master, apalagi doktor. Ia hanya seorang otodidaktis (pelaku otodidak) tulen. Tetapi, lihat karya, sepak terjang, dan pengakuannya. Itu semua melebihi pencapaian rata-rata sarjana, master, doktor, dan profesor pada umumnya.

Saya tidak akan menceritakan dengan detail isi buku ini, untuk yang berminat silakan membelinya saja. Saya ingin menyoroti mengapa Ajip keluar sekolah, tidak mau meneruskan sekolahnya, otodidaknya, dan karya, sepak terjang, serta pengakuannya. Dengan sikap dan kiprahnya seperti itu Ajip adalah manusia langka, bukan hanya di Indonesia, di dunia pun jarang yang seperti dia.

Ajip lahir di Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, wilayah yang banyak menghasilkan genteng dan kecap itu, pada 31 Januari 1938. Menempuh pendidikan hanya sampai setingkat SMA yaitu di Taman Madya, Taman Siswa Jakarta, itu pun tidak tamat.Tahun 1956 dia dengan sengaja keluar dari sekolahnya seminggu sebelum ujian akhir dimulai. Pendidikan formalnya
berakhir 52 tahun yang lalu. Tetapi, ia tidak pernah berhenti belajar. Pendidikan dan belajar tak harus di satu tempat. Pendidikan harus di sekolah, belajar bisa di mana saja.

Saat Ajip mau menempuh ujian nasional, ramai terjadi kebocoran soal-soal ujian, orang tak segan mengeluarkan uang dalam jumlah banyak untuk membeli soal ujian, guru-guru pun bisa disogok. Di koran-koran timbul polemik tentang manfaat ujian. Dipertanyakan tentang keabsahan ujian untuk menilai prestasi murid yang sebenarnya. Ajip muda (16 tahun) berkesimpulan: orang tidak segan melakukan perbuatan hina, membeli soal ujian atau menyogok guru, demi lulus ujian. Untuk apa lulus ujian ? Untuk dapat ijazah. Untuk apa
ijazah? Untuk melamar kerja. Untuk apa kerja? Untuk dapat hidup. Kalau begitu, hidup berarti bergantung kepada secarik kertas bernama ijazah ! Ajip terkejut sendiri dengan kesimpulannya. Ia saat itu telah empat tahun berkarya (Ajip mulai mengirimkan tulisan2 cerita dan puisi dan dimuat di koran2 dan majalah2 sejak tahun 1952 saat umurnya masih 14 tahun) dan telah merasa bisa hidup cukup mandiri dengan honorariumnya. Ajip bertanya, apakah
seorang pengarang membutuhkan ijazah untuk bisa hidup ? Tidak.

Ajip memutuskan bahwa hidupnya tidak akan digantungkan kepada selembar ijazah. Prestasinya tidak akan bergantung kepada selembar ijazah. Menurutnya tak ada sekolah atau universitas yang dapat menuntunnya menjadi seorang pengarang yang baik, apalagi ia punya pengalaman bahwa guru2 bahasa Indonesianya semasa di SMP dan SMA harus lebih banyak membaca daripada dirinya.

"Aku akan dapat meningkatkan pengetahuan dan kemampuanku dalam bidang sastra dan penulisan dengan banyak membaca. Dan membaca tidak usah di sekolah. Tidak usah juga bersekolah tinggi karena aku sudah mengenal huruf-huruf. Buku-buku dapat dibeli, atau dipinjam dari perpustakaan. Dalam membaca aku dapat melampaui kebanyakan orang yang punya ijazah lebar. Dengan kian luasnya bacaanku, maka tulisanku akan lebih berbobot. Kalau tulisanku berbobot, niscaya orang-orang akan menghargaiku sebagai pengarang. Akhirnya yang penting dalam hidup adalah prestasi yang diakui oleh masyarakat. Berapa
banyak orang yang mempunyai ijazah tinggi dan menduduki jabatan penting dalam masyarakat tetapi tidak pernah memperlihatkan prestasi pribadi?

Mereka akan lenyap dari ingatan masyarakat kalau mereka sudah pensiun atau setelah meninggal. Aku ingin tetap dikenang orang walaupun aku sudah meninggalkan dunia yang fana ini. Dan hal itu hanya dapat dicapai dengan berkerja keras, dengan mencipta karya yang bagus. Orang akan tetap mengingat namaku kalau karya-karya yang kutulis bermutu" begitu tulis Ajip Rosidi di dalam buku ini halaman 167-168.

Dan, keluarlah Ajip dari sekolah alias drop out, dia menulis surat kepada gurunya di atas kartu pos, "saya tidak jadi ikut ujian nasional karena saya akan membuktikan bahwa saya dapat hidup tanpa ijazah" Luar biasa keputusan anak remaja ini, keputusan sendiri, tanpa memberi tahu orang tuanya di Jatiwangi.

Dan puluhan tahun berikutnya adalah puluhan tahun pembuktian bahwa Ajip bisa hidup tanpa ijazah. Sebuah bakat yang ditekuni secara luar biasa akan berhasil luar biasa juga. Setahun sebelum ia keluar dari SMA, buku pertamanya telah terbit ketika umurnya masih 17 tahun, berjudul "Tahun-Tahun Kematian" (kumpulan cerpen). Itu adalah buku pertama yang mengawali sebanyak lebih dari 110 judul buku berikutnya selama puluhan tahun kemudian. Ajip menulis buku-buku baik kumpulan cerpen, kumpulan puisi, roman, drama, penulisan kembali cerita rakyat, cerita wayang, bacaan anak-anak, kumpulan humor, esai dan kritik, polemik, memoar, bunga rampai, buku terjemahan, biografi (ada 10 halaman daftar lengkap karya Ajip di buku otobiografi ini).

Ajip menulis baik dalam bahasa Sunda maupun bahasa Indonesia. Banyak karyanya diterjemahkan oleh penerbit internasional ke dalam bahasa-bahasa asing Belanda, Cina, Hindi, Inggris, Jepang, Jerman, Kroasia, Prancis, Rusia, Thai, dan lain-lain.

Sepak terjang Ajip tak hanya dalam dunia penulisan sastra dan sekitarnya. Ia adalah redaktur dan Pemimpin majalah Suluh Pelajar (1953-1955) saat Ajip masih duduk di SMP dan SMA. Juga ia menjadi pemimpin redaksi Majalah Sunda (1965-1967), Budaya Jaya (1968-1979), dan Cupumanik (sejak 2005).

Ajip juga adalah redaktur, pendiri dan pemimpin usaha2 penerbitan. Ia adalah seorang redaktur Balai Pustaka (1955-1956). Tahun 1962 mendirikan Penerbit Kiwari, tahun 1964-1969 mendirikan dan memimpin Penerbit Tjupumanik di Jatiwangi. Tahun 1971 mendirikan Penerbit Pustaka Jaya dan menjadi pemimpinnya. Tahun 1981 mendirikan Penerbit Girimukti Pusaka, Tahun 2000 ia mendirikan dan memimpin Penerbit Kiblat Buku Utama di Bandung. Usaha
penerbitannya ada yang terus berjalan sampai Sekarang (Pustaka Jaya), ada juga yang telah lama berhenti.

Ajip juga sangat giat dalam berorganisasi, misalnya tahun 1954 (umur 16 tahun) menjadi anggota Badan Musyawarat Kebudayaan Nasional. Tahun 1956 menjadi anggota Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda. Tahun 1972-1981 menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (dewan ini juga dibentuk pada tahun 1968 atas prakarsa Ajip. Tahun 1973-1979 sebagai ketua Ikatan Penerbit Indonesia(IKAPI). Tahun 1993 Ajip mendirikan Yayasan Kebudayaan Rancage, sebuah yayasan yang mengapresiasi karya-karya sastra daerah dalam bahasa Sunda,
Jawa, dan Bali.

Ajip juga menduduki banyak anggota badan-badan kehormatan. Tahun 1960-1962 dia adalah anggota Badan Pertimbangan Ilmu Pengetahuan bidang Sastra dan Sejarah. Tahun 1978-1980 sebagai staf ahli menteri Pendidikan dan Kebudayaan, tahun 1979-1982 menjadi anggota Dewan Fim Nasional, tahun 1979-1980 menjadi anggota Dewan Pertimbangan Pengembangan Buku Nasional. Tahun 2002 diangkat menjadi anggota Akademi Jakarta.

Meskipun Ajip tak menamatkan SMA-nya, tak pernah kuliah, bukan sarjana, tentu bukan master, apalagi doktor, tahun 1967 ia diangkat sebagai dosen luar biasa pada Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran di Bandung. Ajip pun sering diundang memberikan kuliah umum di berbagai perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Dan, tahun 1981, Ajip diangkat sebagai Visiting Professor pada Osaka Gaikokugo Daigaku di Osaka, Jepang. Ajip mengajar di Jepang sampai tahun 2003. Ajip pun diangkat sebagai Gurubesar Luar Biasa pada tahun
1983-1994 di Tenri Daigaku di Tenri, Nara, Jepang. Tahun 1983-1996 menjadi Gurubesar Luar Biasa pada Kyoto Sangyo Daigaku di Kyoto. Pensiun sebagai guru besar, Ajip pulang ke Indonesia pada tahun 2003. Sekalipun Ajip berada di Jepang selama 22 tahun, dia tetap menulis buku2nya dalam bahasa Sunda dan Indonesia, tetap berhubungan dengan para penggiat sastra di Tanah Air, dan tetap memantau serta mengelola organisasi2 yang pernah didirikannya dari jauh.

Sebagai penggiat sastra, tentu Ajip pun banyak menjadi pembicara di berbagai simposium, seminar, kongres, konferensi atau lokakarya mengenai kebudayaan dan kesenian, terutama tentang sastra dan bahasa, baik di tingkat daerah, nasional, regional, maupun internasional. Sebagai orang yang mumpuni dalam bidang sastra, Ajip pun kerap diminta sebagai anggota dewan juri dalam menilai berbagai perlombaan bidang sastra dan kesenian.

Ajip dan organisasinya pun beberapa kali mendapatkan dana nasional maupun internacional untuk penelitian sastra dan budaya. Tahun 1969-1972 Ajip mendirikan dan memimpin proyek penelitian pantun dan folklor Sunda. Tahun 1960-1967 Ajip mendapatkan dana dari the Toyota Foundation untuk meneliti kebudayaan Sunda dalam rangka penyusunan Ensiklopedi Sunda (telah terbit pada tahun 2000). Tahun 1960-1994 meneliti puisi Sunda, dan hasilnya dituliskan dalam tiga jilid buku dengan tabal total 1700 halaman (telah terbit dua jilid).

Karena dedikasinya yang total lepada kesustraan dan kebudayaan, Ajip beberapa kali diganjar penghargaan, yaitu 1957 : Hadiah Sastra Nasional untuk kumpulan puisinya, 1960 : Hadiah Sastra Nasional untuk buku kumpulan cerpennya, 1974 : Cultural Award dari Australia, 1993 : Hadiah Seni, 1994: penghargaan sebagai salah satu dari 10 putra Sunda terbaik, 1999: penghargaan Order of the Sacred Treasure, Gold Rays with Neck Ribbon dari
Jepang, 2003 : penghargaan Mastera dari Brunei, 2004 : Teeuw Award dari Belanda.

Demikian sekilas karya-karya dan pencapaian-pencapai an Ajip. Ia berkarya sejak berumur 14 tahun sampai kini usianya 70 tahun, menekuni sastra dan budaya Sunda dan sastra Indonesia selama 56 tahun.

Di dalam buku ini, yang berisi 23 bab, kita bisa mengetahui bahwa pergaulan Ajip begitu luas, baik dengan kalangan sesama sastrawan dan budayawan, juga dengan banyak tokoh dari berbagai bidang baik di Indonesia maupun peneliti2 asing yang datang ke Indonesia untuk meneliti sastra dan budaya Indonesia. Bagaimana pergaulan dan pandangan Ajip dengan tokoh2 seperti Ali Sadikin, Mochtar Lubis, Taufik Ismail, Asrul Sani, Affandi, Gus Dur, Nurcholish Madjid, dan masih banyak lagi bisa dibaca di sini. Pengamatannya tentang
kejadian2 penting yang dialami Indonesia entah itu pertikaian politik, bencana, korupsi, dan lain2 dari tahun2 1940-an sampai sekarang bisa dibaca juga di sini. Ajip juga menceritakan pikiran dan sikapnya tentang itu semua dan hal2 yang dialaminya, termasuk saat gempa Kobe di Jepang, sebagaimana layaknya sebuah otobiografi. Buku otobiografi setebal 1364 halaman ini adalah salah satu dari buku2 otobiografi paling tebal yang pernah ditulis.

Kata seorang pengamat, Ajip adalah seorang langka dengan kelebihan yang tidak dimiliki H.B. Jassin, Goenawan Mohamad, dan Soebagio Sastrowardojo (Dr. Faruk dalam Kompas 31 Mei 2003).

"Mungkin ada orang yang membaca buku ini menuduh bahwa buku ini merupakan usaha Ajip untuk memamerkan kehebatannya sebagai orang yang "kurang sekolah", tetapi berhasil mencapai prestasi internasional. Tentu saja tuduhan itu sukar dibantah. Meskipun tentunya sah-sah saja bagi orang berprestasi untuk memamerkan prestasinya, apalagi prestasi ini dicapai melalui perjuangan dan usaha sendiri dengan kerja keras. Ajip sudah merupakan seorang yang dihargai di Indonesia, dia tak akan perlu memamerkan diri lagi, buku ini ditulisnya lebih kepada keinginan untuk mengawetkan kenangan2 dan pikiran2-nya, berbagi pengalaman dengan orang lain", begitu tulis Arief Budiman dari Melbourne, teman karib Ajip, dalam kata pengantar otobiografi ini.

Satu hal yang sangat penting yang merupakan pesan Ajip melalui buku ini adalah : meskipun pendidikan sangat penting, orang bisa juga berhasil meskipun tidak atau kurang sekolahnya. Ajip telah membuktikan kepada kita semua bahwa ia bisa hidup dan berhasil sampai punya reputasi internasional bahkan sampai menjadi gurubesar di tiga perguruan tinggi di luar negeri
meskipun tak punya gelar akademik apa pun, bahkan ijazah SMA pun tak ia miliki, Ajip benar2 : hidup tanpa ijazah.

"Ajip akan diterjang kegelisahan yang luar biasa saat ia mandeg membaca dan gagap menulis" (Maman S. Mahayana dalam Panji Mas, Februari 2003).

salam,

awang
(sumber: milis daarut-tauhid)