Rabu, 13 Agustus 2008

Jangan Tunda Lagi, Negeri Ini Sudah Menanti

hemm…
berair mataku membaca semua ini...
tak sanggup lagi aku melihat…
tak kuat lagi aku mendengar…
habis sudah segala kata-kata...

aku tak sanggup lagi untuk berbicara...
negara ini kini menjadi komoditi...
bagi mereka yang memiliki kepandaian, kewenangan dan kesempatan...
mereka meraih, menggapai, mengambil semuanya...
harta, tahta dan wanita menjadi tuhan...
menghalalkan semuanya.... 

tak peduli tetangga...
tak peduli saudara...
tak peduli keluarga...
apalagi kita yg bukan siapa-siapa mereka....

kupercaya sudah tiba saatnya....
melanjutkan revolusi yang terhenti....
terselimut retorika reformasi...

bukan, bukan kenyataan seperti ini yg kita cari...
mari singsingkan celanamu, lengan bajumu...
kita cari kebenaran yang hilang...

kebenaran yang menjadi barang langka
kita harus bergerak bersama....
mencari dan mencari....

tak peduli apa di depan mata...
tak peduli siapa yang menghadang kita....
saatnya kebenaran ditegakan di negeri ini....
tak peduli mereka tak bernurani harus mati...

saudaraku, jalanan menunggu kita...
bergerak bersama...
berjalan bersama...
berjuang bersama...
mari....
jangan tunda lagi...

Selasa, 12 Agustus 2008

Cerpen: Gelut Batin Rama

Baca bagian cerita ini sebelumnya, disini.

Siang itu Rama akhirnya bertemu dengan Damayanti. Beberapa tahun mereka tak bertemu. Banyak perubahan di keduanya. Setidaknya, keduanya kini berkaca-mata minus. Walau begitu, keduanya saling menganggap bahwa lawan bicaranya justru lebih baik kondisinya dibandingkan saat kuliah dulu. 

Menurut Rama, Damayanti lebih anggun dalam kedewasaannya. Wajahnya jauh lebih bersih dan terawat walau dengan polesan sesederhana itu. Kacamata membuatnya tampak sangat matang dan dewasa. Tubuhnya tak menampakan perubahan yang banyak walau sudah memiliki dua anak.

Sebaliknya, Damayanti melihat Rama tampak gagah dengan kematangan usia yang ditunjukkan oleh beberapa helai rambut yang memutih di sisi kiri dan kanan kepalanya. Cara berpakaian yang jauh lebih rapi. Bagaimanapun Damayanti tak bisa melupakan cara berpakaian Rama yang gaya suka-suka sewaktu sekolah dulu. Rambut panjang sebahu kadang diikatnya dengan karet gelang. Kalung dari tali sepatu berwarna hitam dengan liontin bergambarkan daun ganja. Entah mengapa, waktu itu ia bisa dekat dan tertarik dengan lelaki di depannya ini, sementara ia sendiri gadis yang demikian tekun menjalankan kewajiban kepada Tuhannya.

Pertemuan yang demikian mengesankan bagi keduanya. Rasa dan kematangan jiwa tak pernah luntur dari mereka berdua. Entah mengapa, Rama selalu merasa jadi lelaki yang berbeda ketika bersama Damayanti. Hatinya tegar, kokoh sekaligus begitu lapang dan dalam untuk menerima rasa apapun.

Rasa sayang dan kangen yang membuncah dihati keduanya tak terekspresikan dalam perbuatan. Tak ada sentuhan-sentuhan fisik diantara mereka, walau sekedar sentuhan di ujung jari sekalipun. Tidak ada.

Kebahagiaan mereka telah terpenuhi dengan pertemuan dan pembicaraan yang mengalir tak kunjung putus, tentang pengalaman mereka sejak meninggalkan fakultas, dunia kerja, kesibukan hari-hari, hingga pengalaman-pengalaman lucu anak-anak mereka.

-------------------------------

Rama mengendarai mobilnya dengan rasa yang tak terucapkan. Dalam beberapa hari ini saja, ia bertemu kembali dengan perempuan-perempuan yang pernah mengisi relung hatinya. Shinta berpuluh tahun yang lalu ketika ia masih remaja. Damayanti ketika ia mulai menginjak dunia kedewasaan, walau mungkin dewasa yang tanggung. Akhirnya, pikirannya berlabuh pada Anjani, istrinya di rumah. 

Shinta yang memiliki kecantikan sempurna, kini perlahan terkikis oleh waktu. Benar kata banyak orang, kecantikan tubuh akan luruh bersama berjalannya waktu. Selain itu, Rama kini menyadari, banyak rahasia dalam diri Shinta yang belum bisa ia kenali. Beberapa kali ia terpaksa mengkerutkan keningnya melihat dan mendengar Shinta siang itu. Shinta memang tak pernah memilih, tapi ia kawin dengan lelaki pilihan orang-tuanya. Lalu, dimanakah bedanya?

Akh, Rama gelisah memikirkan itu. Hati Rama berkelahi dengan dirinya sendiri.

"Kau cemburu, Rama. Atau, kau merasa tertipu karena ternyata ia sudah menikah?" tanya batin hitamnya.

"Tidak, aku tidak cemburu, ataupun merasa tertipu...." jawab batin putihnya.

"Kau pasti akan menikahinya bila ia belum bersuami. Bukankah ia kekasih tercantik dalam hidupmu?" kejar batin hitam.

Batin putih tak perlu menjawab ketika ia dapati Rama sudah dalam keputusannya, Rama tak akan menikah dengannya.

----------------------------

Damayanti tak secantik Shinta. Namun, Rama merasa mengenal perempuan itu begitu dalam. Sepertinya ia bisa merenangi lubuk hatinya yang mengalun perlahan. Tak pernah ada percikan gelombang disana. Ia senang bisa menyelami semua itu walau tak memiliki raga Damayanti. Rasanya, ia sudah memiliki semua rasa yang ada dilubuk perempuan itu, begitu juga sebaliknya. Pada tahap ini, pernikahan antara mereka memang tak diperlukan lagi. Tali perkawinan telah dijalani oleh kedua hati mereka sejak lama. Rama saja yang terlambat menyadari hal itu.

Lepas dari itu semua, Rama semakin mantap menginjak pedal gas mobilnya. Dadanya serasa ringan seakan mau terbang. Kerinduannya yang memuncak secara tiba-tiba muncul dihatinya terhadap wanita yang paling dikasihinya. Kini ia tahu kemana ia harus berlabuh. Kini ia paham bersama siapa sampan ini harus dikayuh bersama.

"Anjani, aku mencintaimu...., sungguh...." teriak batinnya seakan meluncur ke langit menuju rumahnya. Jauh lebih cepat mendahului raganya yang terkekang dalam batas kecepatan mobil yang ia pacu.

Senin, 11 Agustus 2008

Cerpen: Pertemuan yang Lain

Semenjak pertemuannya dengan Shinta, hati Rama justru menjadi tak tenang. Masa-masa kebersamaan dengan Shinta di bangku SMA menggiring benaknya ke masa yang lebih dekat, di masa ia kuliah.

"Akh, Damayanti...." sesaat hatinya mengucap nama kekasihnya dulu.

Perlahan Rama meletakkan punggungnya di sandaran kursi kantor. Ia datang terlalu pagi hari ini. Sendirian di ruang kerjanya. Meja teman-temannya masih kosong. Sedikit dibuai rasa kantuk sisa bangun pagi, dalam keheningan pikirannya, ia menerawang ke satu waktu, beberapa tahun yang lalu.
---------------------------

Rama dan Damayanti memiliki kesepakatan, walau keduanya saling mencintai, mereka tak mungkin berpadu. Damayanti seorang gadis muslimah, berjilbab dalam kesehariannya. Keteduhan matanya, kehalusan sikapnya, kecerdasannya membuat Rama berubah total. Hubungan yang mereka jalin, sungguh berbeda. Rama kali ini mengalami hubungan yang sedemikian santun dengan seorang gadis yang menjadi pacarnya. Sesekali Rama bisa memegang atau menggenggam pergelangan tangan sang gadis, itu pun di saat Rama membimbing Damayanti menyeberangi jalan. Lebih dari itu, tak pernah ia lakukan. Dulu, ia sering mengolok-olok temannya yang berpacaran demikian santun. Kini ia mengalaminya. Tak pernah ia sesali keadaan ini. Kebersamaannya dengan Damayanti sungguh menggugah nuraninya.

Sayang, mereka saat itu tak mungkin berlanjut. Damayanti memiliki kekasih dari masa lalunya saat ia masih SMA. Pacar yang jarang sekali bertemu, dan menghadapi kerikil tajam, kedua orang tua Damayanti tak merestui hubungannya dengan pacarnya itu.

Dalam kondisi demikian, Rama tak pernah merasa dirinya di duakan. Demi kebahagiaan Damayanti, ia sanggup menerima keadaan, seberapapun buruknya.

"Rama, kita tahu hati kita masing-masing. Rasanya aku tak adil jika kita tetap bersama, sementara aku sendiri belum menuntaskan masa laluku. Masa lalu yang membawa pertentangan batin dengan kedua orangtuaku. Kita percaya, jodoh ada di tangan Allah Swt. Satu saat kita dipertemukan, di saat yang lain kita dipisahkan. Namun, bila jodoh, kelak kita pasti dipertemukannya kembali oleh-NYA." Damayanti bertutur dengan lembut. Matanya menatap langsung ke bola mata Rama. Tak ada keraguan di sana. Dalam kelembutan penuh kasih sayang, Damayanti dapat menuturkannya dengan runtut.

"Hemm..." Rama tertunduk, tak sanggup memandang mata sang kekasih. Namun kembali ia dibuat heran oleh hatinya sendiri. Tak ada kemarahan di sana. Ia seolah memiliki hati seluas dan sedalam samudera yang sanggup menampung limpahan air sebanyak apapun.

"Aku berjanji padamu, Rama. Jika masalahku ini telah dapat kuselesaikan, apapun hasilnya, aku pasti mencarimu. Namun begitu, jangan kau halangi hidupmu dari orang-orang yang kau cintai jika kelak kau bertemu dengan mereka hanya karena aku. Terima dan sambutlah mereka. Siapa tahu, itu jodohmu" desis Damayanti perlahan. Kali ini, ada sedikit getar dinada suara sang gadis.

"Akh, tak mungkin aku..." Rama mencoba menjawan perlahan. Kalimatnya terputus ketika tertatap olehnya, Damayanti menegakkan kembali wajahnya, ia memandang dirinya dalam-dalam dengan menggelengkan kepalanya perlahan.

"Seperti tadi kubilang, jangan kau coba tutupi hatimu. Jalani saja hidupmu sewajarnya"
----------------------------

Itu menjadi pembicaraan terakhir mereka sebagai sepasang kekasih. Pertemuan-pertemuan berikutnya terasa sangatlah aneh bagi Rama. Walau begitu, tak ada yang berubah dari kebersamaan mereka. Ke kampus berdua, berjalan berdua, makan siang bersama di warung dekat kampus hingga sesekali jalan bersama menyusuri keramaian pusat pertokoan. Hingga akhirnya, mereka berpisah karena masa kuliah usai dan keduanya terjun kedunia baru, dunia pekerjaan.
------------------------------

Satu hari, Rama telah menjalin pertunangan dengan Anjani. Hari pernikahan beberapa bulan ke depan sudah ditetapkan. Damayanti menelponnya, meminta dirinya bertemu dengannya, juga dengan kedua orang tuanya.

Getaran hati Rama begitu dahsyat. Walau tak terucap, Rama tahu persis arti dari permintaan Damayanti barusan. Kesepakatan beberapa tahun yang lalu terungkit kembali, sedemikian detilnya. Tak ada yang terlewatkan.

Cerita Damayanti dulu tentang pertemuan sepasang kekasih setelah perpisahan, apabila sudah menjadi kehendak Allah, bukanlah hal yang mustahil. Lamaran yang ia lakukan pada Anjani dua bulan yang lalu, hari pernikahan yang akan diselenggarakan enam bulan ke depan seakan menghantui segenap otaknya. Nurani saling hantam dahsyat dengan ego diri yang berselimut kebenaran akal pikirannya.

Dalam puncak kebimbangan, Rama bersikap benar saat itu. Paling tidak, itulah yang ia rasakan.

Pintu perjodohan yang Damayanti buka bagi dirinya ia tolak.

"Maaf, bukannya aku tak mengharapkan lagi hal ini. Rasaku tak pernah berubah kepadamu, tapi di saat ini telah hadir seorang perempuan dalam hidupku"

Damayanti memang gadis luar biasa. Kejujurannya membuka pintu dengan senyum, begitu juga ketika ia mendengar ketidakmungkinan Rama menerima kembali dirinya, masih dengan senyum yang sama.

Tak lama setelah Rama menikah dengan Anjani, ia menerima kabar pernikahan Damayanti pula.
-----------------------------

Perlahan Rama bangkit dan menegakkan punggungnya. Perlahan ia buka phonebook di ponselnya. Hari itu pula, Rama telah membuat janji untuk bertemu Damayanti esok harinya.

Cerpen: Dimana Arti?

Arti termenung di bangku belakang taksi. Kegembiraan sesaat yang lalu tak nampak lagi. Kilat sinar mata bahagia, ekspresi kegembiraan keluar masuk dari satu merchant ke merchant yang lain pupus sudah.

Pikiran menerawang pada kehidupan yang kini ia jalani.

"Akh, ini hanyalah sementara waktu. Tak ada pilihan lain, aku memang harus lalui tahapan ini..." batinnya berusaha menenangkan dirinya sendiri yang tengah gelisah.

Taksi terus melaju menembus sore yang kian temaram, sebentar lagi malam memanjat perlahan.
------------------

Sementara itu, di seberang jalan, dua lelaki seolah tak berkedip menatap ke arah pintu rumah tinggal Arti.

"Ia belum datang... Mungkinkah kita terlambat?" desis seorang diantara.
"Sabar, sebentar lagi ia pasti datang. Teman kita melaporkan ia naik taksi dan ia yakin, gadis itu sedang dalam perjalanan pulang ke rumahnya, kemari" jawab rekan satunya.
--------------------

"Kau harus dapatkan anak itu, atau jangan pernah kau berani berdiri lagi dihadapanku". Suara teriakan Amin terdengar serak di ponsel lelaki yang tengah melajukan kendaraannya membelah kota.

"Siap, bos. Saya paham" jawabnya tegas. Bukan sekali ini ia melakukan tugas penculikan. Baginya tak akan terlalu sukar mendapatkan seorang gadis dari rumahnya. Dulu, seorang pengusaha nasionalpun pernah ia ciduk di pelataran parkir kantor, walau untuk itu ia harus menikam seorang satpam dengan pisau di perutnya.
-------------------

Taksi memperlambat laju kendaraannya ketika mendekati rumah berpagar hijau yang ditunjukkan oleh penumpangnya. Ketika taksi berhenti, Arti segera membuka dompetnya mengambil uang yang ditunjukkan oleh argometer. Semua berjalan cepat, ketika secara bersamaan dua lelaki memasuki taksi tersebut. Seorang lelaki dengan sigap duduk disebelahnya dan mendekap erat badannya. Ketika kesadarannya sesaat kemudian pulih, ia membuka mulutnya hendak berteriak minta tolong pada orang-orang di sekitar taksi. Belum sempat ia lakukan, kain beraroma khas telah menutup mulut dan hidungnya. Sesaat kemudian, dunia Arti menjadi gelap gulita.

Di saat yang sama, sopir taksi dengan tubuh sangat gemetar dipaksa keluar oleh seorang lelaki bertopi dan berkaca mata gelap yang mengarahkan pistol ke jidatnya. Masih dengan ketakutannya, sang sopir membuka pintunya dan menjatuhkan diri ke aspal jalan. Bergegas sang penodong masuk dan memegang kendali atas mobilnya, untuk melesat menghilang dalam gelapnya malam sesaat kemudian.
-----------------

"Anjing, sialan...." teriak lelaki yang datang tak lama kemudian di tempat itu. Kerumunan orang saling bersahutan menceritakan kejadian pencurian sebuah taksi berikut seorang gadis penumpangnya. Arti diculik. Ya, Arti nama gadis tetangga mereka kini hilang di culik oleh dua orang lelaki.

"Hem, apa yang harus kukatakan pada bos Amin?" keluh lelaki yang perlahan meninggalkan tempat itu.