Rabu, 08 Oktober 2008

Terpaksa, Balik Kemarin Aku Menyuap Lagi

Hari Jumat, tgl 3 kemarin, saya membawa keluarga kembali mengarah ke barat. Berangkat jam 08.00 an dr salah satu RM spesialis gudeg langganan di Jogja menuju Jakarta melalui jalur selatan. Jalanan mulai ramai dilalui para peserta ritual tahunan bangsa ini, lebaran. Mereka mulai mengarahkan perjalanannya ke arah rumah tinggal mereka. Musim mudik sudah usai, tinggal baliknya.

Sampai di daerah Sedayu, menuju arah Wates, di depan kami ada sebuah kendaraan yang berjalan terlalu lambat, sementara jarak dengan kendaraan di depannya sudah terpaut jauh. Hati saya mulai risi mengikuti mobil yang jalannya kaya pengantin sunat ini, sementara di belakang, kendaraan mulai mengekor mengikuti buntut kendaraan kami.

Sebenarnya saya paham benar, garis ditengah jalan berbentuk garis lurus tak putus-putus dan dobel lagi, artinya baik dari jalur yang kami pakai atau sebaliknya, tidak diperkenankan untuk melanggar jalur sebelahnya.

Mencoba bertahan untuk sabar jalan berlahan untuk sesaat, akhirnya tak tahan juga, di detik berikutnya, wuzzz, kami salip kendaraan di depan kami itu dengan mengambil porsi jalur sebelah kami.

Tuhan Maha Pemurah, begitu kami lewati kendaraan itu, tampak pak polisi dengan senyum manisnya tengah mengatur arus kendaraan di tengah jalan, tepat di hadapan kami. Sementara, di jarak seratus meter di belakangnya, di sisi kiri jalan terparkir sebuah mobil patroli polisi dan seorang bapak petugas yang terhormat berdiri di belakangnya.

Begitu kendaraan kami terparkir rapi di pinggir jalan, sang bapak itu menghampiri kami, tetap dengan senyum nan ramah. Langkahnya tegap. Bangga kami melihatnya postur gagah seperti bapak petugas ini. Seringkali saya melihat, seorang polisi, sedikit berumur dengan perut yang membuncit. Bagaimana ia dapat mengejar buruannya yang nakal, sementara ia sendiri harus menjaga perutnya yang gendut itu. Setuju?

Tapi yang datang ini benar-benar gagah dan ramah. Tak nampak kemarahan atau kejengkelan di matanya, padahal ia tahu persis kenakalan kami dengan garis-garis lalu lintas itu. Begitu tiba disamping kaca tempat duduk saya, ia angkat tangannya menghormat, katanya:

"Selamat pagi pak. Bapak telah melanggar garis pembatas jalan. Mohon berikan STNK dan SIM bapak".

Percakapan berlanjut di belakang mobil patroli. Saya keluar tetap dengan celana pendek dan sandal jepit kebangsaan. Tak ada tempat dan waktu yang pas bagi saya untuk menghormati dirinya dengan mengganti celana panjang dan sepatu, bukan? Bukaaaaan...

"Dari mana pak? Atau mau kemana?" tanya sang petugas.

"Dari Jogja pak, mau pulang ke Jakarta" jawabku sambil mencoba seramah mungkin.

"Bisa bahasa Jawa, pak?" tanyanya lagi.

"Yo mesti iso, pak. Lha, wong aku wong kene" saurku cepet.
("Ya pasti bisa, pak. Lha saya ini kan orang sini" jawabku cepat).

Percakapan selanjutnya berlangsung akrab dalam bahasa jawa sehari-hari, penuh tawa dan canda selayaknya dua sahabat yang bertahun-tahun tak bertemu. Ini terjemahannya.

P - "Bagaimana ini mas? Kalo ditilang biayanya seratus ribu"
S - "Ya sudah pak. Saya memang salah, ditilang saja"
P - "Loh, nanti mas jadi repot. Kan Jauh. Mas di Jakarta sementara sidangnya disini"
S - "Ndak apa-apa pak. Saya banyak teman disini. Nanti biar saya minta bantu mereka untuk datang menebusnya ke pengadilan. Tolong buatkan saja surat tilangnya dengan form biru, jangan form merah"

Sejenak pak pol itu memandang saya, terus ia tanya lagi.

P - "Di Jakarta kerja dimana mas?"
S - "Di pabrik pak. Saya ini kuli pabrik"
P - "Wah, di pabriknya pasti pejabat ya? Mobilnya saja bagus"
S - "Masa pejabat pakai sandal jepit kaya gini, pak. Ga pantas"
P - "Lho, pengusaha saja banyak yang cuma pakai celana pendek kalo pergi kemana-mana"

Keduanya sesaat cengengesan.

S - "Trus, gimana pak? Saya tunggu surat tilangnya, takut keburu siang dan macet nanti"
P - "Gini saja mas. Sekarang lagi lebaran, saling memaafkan. Nah, apa mas keberatan jika sekali-kali memberi buat polisi untuk berlebaran?"

Sesaat saya terdiam tergugu. Sambil menahan nafas yang jadi ga karuan, saya jawab lagi.

S - "Sebenarnya saya ingin ditilang saja, pak. Saya salah kok"
P - "Ayolah mas, apa ga kasihan sama petugas kaya kami ini. Seikhlasnya saja. Sukarela, terserah mas mau kasih berapa"

Semenit kemudian, kami berlalu dari tempat itu, setelah saya selipkan uang "noban" ke dalam buku tilangnya. Tak lupa, saya ambil kembali SIM dan STNK. Wuzzz...
-------------------
Gambar dari:
sufimatre.wordpress.com

Tidak ada komentar: