Jumat, 31 Oktober 2008

Cerpen: "Lara, Bercinta dalam Kabut"

Lara, beberapa saat terakhir ini banyak termenung dalam kesendiriannya. Ketika jam 20.00 malam tiba, Putri, nama cinderella kesayangannya telah lelap terbuai mimpi.

Hari ini, Putri, anak tunggal tercintanya tidur dalam senyuman. Seusai bermain-main dengan caryon kesukaannya, ia mewarnai gambar-gambar kartun kesukaannya. Hobi yang ia lakukan disetiap saat yang ia miliki. Buku-buku mewarnai hampir memenuhi setiap ruangan rumah yang ada.

Lara kembali dalam ketermenungannya. Ia pandangi layar ponsel ditangannya.

Belum terdengar deru kendaraan Cakra suaminya. Seperti biasa, ia tiba di rumah paling cepat jam 21.00 malam. Tumpukan pekerjaan yang tak bisa ditunda akibat deadline harian, membuatnya ia selalu sibuk dan sibuk. Datang malam dan berangkat kerja kembali keesokan harinya ketika matahari belum bersinar penuh.

"Telpon? Jangan.... Telpon? Jangan... Atau aku sms saja?" batinnya bergelut dalam bingung. Hatinya bersiteru dengan akal pikirannya sendiri.

Sementara di layar ponsel tertera sederetan no ponsel dengan nama Anom.

Pikiran Lara menerawan beberapa minggu yang lalu. Ketika itu, ia pulang bersama Putri mengunjungi kedua orang tuanya di kota kelahirannya. Adik lelakinya menikah. Tak pernah diduga sebelumnya, ketika di kampung halaman itu, Lara bertemu dengan Cahyo, sahabat baik Anom, kekasihnya yang sesungguhnya tak pernah ia bisa hapuskan dari kedalaman lubuk hatinya. Dari Cahyo pula, kini Lara bisa menyimpan nomer ponsel Anom.

"Kau telpon Anom saja, Lara. Ia pasti suprise dan sangat senang bisa bertemu kembali dengannya", jelas Cahya bersemangat.

"Apakah ia mau menerima telpon dariku?" tanya Lara setengah berharap setengah ragu.

"Ah, gila kau. Tentu saja ia akan senang sekali bisa mendengar suaramu. Bukankan dulu kalian berpisah karena keinginan mamamu? Kutahu, diantara kalian tak pernah ada masalah apapun kan?" balas Cahyo panjang lebar. Matanya berbinar senang.

"Kau lihat diriku, Lara. Aku saja yang hanya sahabat kalian berdua, begitu senang bisa bertemu denganmu. Apalagi Anom? Ia pacarmu bukan? Dan kalian tak pernah terlibat pertengkaran apapun sampai kalian berdua memutuskan berpisah karena desakan mamamu itu. Benar kan?" kejar Cahya. Kedua tangannya terentang, seolah mencari pembenaran akan kalimat yang ia ucapkan.

Entah mengapa, Lara semakin membenarkan kalimat yang masuk ke dalam telinganya.

"Cahyo benar. Kenyataannya, kami sama-sama menangis saat perpisahan itu terjadi. Kami masih saling mencintai. Dan kenyataannnya, ia cinta matiku hingga kini. Aku tak pernah bisa melupakannya, tak akan pernah berhasil mengusirnya dari hati ini" batin Lara penuh pergolakan yang pada akhirnya membuat dirinya bingung sendiri.

"Dia tinggal dimana sekarang? Berapa putranya?" tanya Lara sembari berusaha mengusir kecamuk dihatinya.

"Wah, ia sudah berhasil sekarang. Ia kerja di perusahaan asing, sebuah group konglomerasi international. Seingatku, ia punya anak dua" jelas Cahyo. Ada kebanggaan disana yang tertangkap oleh mata Lara. Rupanya, Cahyo sebagai sahabat terdekat Anom, ikut merasakan kegembiraan melihat keberhasilan sahabatnya itu.

"Padahal kau tahu sendiri, Lara. Semasa kuliah dulu, ia lebih sering mencontek dari aku. Aku ini lebih segalanya dibandingkan pacarmu itu. Tapi rupanya ia berubah semenjak kerja, nyatanya, ia kini berhasil dalam karirnya. Aku salut padanya. Bahagia melihat semua itu" jelasnya lagi. Seolah Cahyo tahu perasaan apa yang baru saja terlintas dibenaknya. Ia jelaskan walau Lara sendiri belum menanyakannya.

Berjalan waktu dari hari ke hari. Matahari dan rembulan begitu harmonis bergantian menyinari bumi, silih berganti. Tak terasa, tiga bulan sudah berlalu.

Lara kini sedang di kota kelahirannya kembali. Di kampung halamannya. Tapi, malam ini ia tak tidur di rumah orang tuanya. Di sebuah hotel berbintang di tengah kota. Semalam, ia berpamitan kepada mereka, malam ini ia akan tidur di rumah seorang sahabatnya semasa kuliah dulu. Putri ia titipkan pada neneknya.

Pagi masih gelap, walau begitu, sinar temaramnya mulai menembus sela-sela gordin jendela. Dinginnya AC ruangan menembus tebalnya selimut yang mereka kenakan.

Mengenang semalam, air matanya perlahan kembali membuncah. Mata terasa panas. Ada penyesalan di sana, namun lebih banyak kebahagiaan di ujung terdalam hatinya.

"Terima kasih kak Anom... Bagiku, semalam adalah malam pengantin yang sesungguhnya bagiku. Begitu lama aku telah menantinya..." tangannya membelai pelan wajah Anom yang masih pulas tertidur disisinya. Perlahan ia kecup kening Anom perlahan dengan segenap perasaan yang ia miliki.

"Maafkan Lara, Bang Cakra. Lara bersalah. Namun Lara berjanji tak akan meninggalkan Bang Cakra, juga Putri tercinta, selamanya. Namun, maafkan bila cinta Lara sungguh tak bisa berpaling. Ia telah lama memiliki pilihannya sendiri"jerit batin Lara tenggelam dalam kesunyian.

Tidak ada komentar: