Senin, 06 Oktober 2008

Jogja, Tempat Hati Berlabuh - Bag. 2 "Sholat Id di Alun-alun Lor Depan Kraton"

Pagi waktu Shubuh, mata sudah dipaksakan untuk terbuka. Lelah perjalanan kemarin dr Purbalingga seolah tak berbekas lagi. Nikmat ayam panggang Klaten sebelah kampus UGM masih semalam masih terbayang. Ingatan pagi ini kudu berangkat pagi-pagi benar tuk Sholat Id membuatku bersemangat tuk mandi, walau udara dingin terasa.

Jam 05.15 sudah menderukan mesin kendaraan menuju gedung THR, bioskop low end yang jadi langganan jaman sekolah dulu. Nantilah, saya cerita lebih dalam tentang kisah maksiat saya dgn gedung bioskop ini di jaman dahulu kala. Sekarang kita cerita yang baik-baik saja dulu.

Hanya memerlukan waktu 15 menit dr penginapan sampai di pelataran parkir gedung bioskop yang ternyata sdh berubah nama dan fungsi. Kini gedung ini bernama "Jogja Gelery". Dari namanya, kita pasti tahu apa fungsinya gedung itu sekarang.

Lapangan besar yang biasa dijadikan ajang sekatenan, masih teramat lengang. Diujung sana, diseberang ringin kembar, nampak mimbar sang khotib. Di depannya digelar karpet sembayang sebanyak 3 baris, sisanya kebelakang hanya di pasang tali-tali yang menunjukkan barisan shaf sholat.

Keinginan terpendam dalam hati semakin membara. Angan dan ingin yang selama ini terpendam, walau kenyataannya saya pernah hidup berpuluh tahun di kota ini, namun tak sekalipun keinginan ini muncul dalam angan, kini membuncah minta pelampiasan.

"Yuks mas, kita harus duduk di barisan depan paling dekat dengan tempat imam dan khatib berada" ajak saya kepada anak lelaki sulung yang menyertai sholat Id kali ini. Sementara istri dan si bungsu, tahun ini harus sholat sendirian di kamar penginapan, perut istri mendadak konslet sejak semalam.

"Kenapa harus paling depan, pa?" tanya si anak penasaran.

"Lihat saja nanti, semoga keinginan papa kali ini bisa sejalan dengan rencana Allah di atas sana" jawaban yang sesungguhnya justru menambah bingung anak lelaki saya ini. Tapi ia diam saja, walau hatinya pasti ga puas.

Ambil tempat duduk di shaf ketiga dari depan, pas di tengah-tengah antara imam dan khatib.

"Mas, tunggu saja, di depan kita ini nanti, Sri Sultan akan duduk dan sholat disitu" bisik saya lirih ditelinga kanan si sulung.

Hari semakin siang, panas mentari mulai mengusir dinginnya embun pagi di rerumputan alun-alun lor ini. Akh, bicara soal embun dan rumput pagi, membuat pikiranku menerawang ke nama seorang rekan dari pulau dewata. Sedang apakah ia sekarang? Gelombang manusia tak ada putus-putusnya memasuki arena sholat kali ini, baik dr arah kantor pos yang ada tepat di depan kraton Jogja ini, maupun dari daerah-daerah pemukiman yang ada di kiri kanannya. Alun-alun sendiri seperti berubah menjadi lautan manusia yang siap menampung sebesar dan sebanyak apapun gelombang manusia yang datang. Dahsyat, mungkin jumlah orang yang datang tak kalah dengan padatnya manusia di lapangan masjid Istiqlal Jakarta.

Jam 07.00 sholat dimulai, kami mencoba menjalani semua itu dengan keikhlasan dan kekhusyuan yang kami punya. Selepas sholat, ritual dilanjutkan dengan ceramah sang Khatib di mimbar. Prof Dr Habib Moh Chirzin, sungguh masih muda belia dengan gelar setinggi itu. Salut untuknya.

Begitu acara selesai, tanpa sempat pamitan pada si sulung, saya berdiri dan berlari menghampiri Sri Sultan X yang baru saja berhasil meluruskan kakinya tuk berdiri dan beranjak pulang. Tanpa sadar setengah kaget melihat kedatangan saya yang begitu tiba-tiba dan menjulurkan tangannya kepadanya, ia menyambut tangan saya.

Momen itu hanya berjalan 3-4 detik saja. Saya jabat erat tangannya. Dengan sepenuh hati saya tempelkan punggung tangannya ke dahi saya. Di detik berikutnya, saya cium punggung tangan sang nata tersebut. Perlahan saya lepaskan jabatan tangan saya itu, dengan ngapurancang, saya menundukkan dan menganggukkan kepala kepada beliau sembari berjalan mundur perlahan. Dalam sepersekian detik, puluhan orang bergegas mengikuti tindakan saya tersebut, termsuk si sulung yang sejenak kemudian saya lihat ikut bersalaman dengan Sri Sultan X itu.

Inilah tujuan utama saya ke Jogja kali ini. Menghirup udara Jogja, menyerap aura magisnya dan sungkem kepada sang raja. Semua sudah berhasil saya jalankan pagi ini.

Bateri batin dan spirituil yang sepertinya low bat mendadak terasa full power lagi. Bahkan seperti baterei HP baru yang habis di charge selama 8 jam, begitu kata buku manualnya. Dada terasa penuh, aura Kraton, Parangtritis - Parangkusumo serta kawah Merapi melebur menyatu dalam dada sang kawula alit seperti saya. Ngalap berkah namanya. Bagi kami, tak ada yang melebihi kasunyatan yang begini indah seperti indahnya pagi ini.

Tidak ada komentar: