Senin, 06 Oktober 2008

Jogja, Tempat Hati Berlabuh - Bag. 1

Lama sekali saya tak bisa menjalani sholat Id di kampung halaman sendiri, Jogja. Seingat saya, lebih dari 5 atau 6 tahun lalu, mungkin lebih, untuk terakhir kali saya menjalankan sholat Id di kota tersebut. Ketidakbisaan itu karena alasan waktu ataupun karena saya memang tidak bisa pulang di hari raya tersebut.

Tahun ini, kerinduan itu begitu memuncak. Serasa asmaragama yang tak mungkin tuk ditunda lebih lama lagi. Jauh-jauh hari, saya perhitungkan, hari raya yang jatuh ditengah minggu kali ini merupakan satu kesempatan terbaik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

"Lebaran ini, saya harus pulang" jerit dalam hati.

Entahlah, kota kecil yang sekarang semakin krodit dan semrawut itu, tak pernah lekang dalam hati. Kerinduan yang selalu mengundang saya untuk datang dan datang lagi kesana. Sementara itu, tak ada lagi keluarga dalam arti sebenarnya yang kudu saya "sungkemi". Rumah orang tuapun sudah bukan milik kami lagi. Tapi, itulah kenyataannya.

Batin ini selalu merindukan udara kota Jogja. Menikmati jalan-jalan yang sering saya lalui dan nikmati. Airnya, makanannya, auranya. Ya, itu dia! Aura kota ini yang selalu memiliki nilai magis tersendiri, membuat hati ini tak mungkin menjauh selamanya. Dalam berjalannya kurun waktu, hati selalu saja memupuk helai demi helai kerinduan, merajutnya menjadi panggilan jiwa.

Kota ini bukanlah kota kelahiran, namun di kota inilah jiwa saya dibesarkan. Cara memandang dunia, baik secara kasat mata maupun halus, simbol-simbol keharmonisan antara sesama dan gusti pangeran dibenamkan dalam jiwa. Manunggaling manusia, alam lingkungan dan ingkang gusti diwujudkan dalam simbol-simbol yang sulit dipahami secara akal pikiran modern masa kini namun mengikat "rasa" sedemikian kuatnya dlm lubuk hati terdalam.

Disamping itu, pemahaman hubungan magis antara kraton, pantai kidul dan sang penjaga setia gunung merapi, merupakan satu kabut tebal yang selalu melindungi kami semua kawula Jogja dengan"rasa" tentrem yang sulit dijabarkan.

Meninggalnya Sultan IX dan penampakan Sri Ratu Kidul dalam kereta kencana yang menandai restu sang ratu dengan pengangkatan Sultan X merupakan pengalaman batin yang sangat mengayakan dimasa lalu. Begitu juga mengenai perjalanan Sultan X yang diuji harus mengambil air dari Taman Sari ke laut kidul pulang pergi dalam waktu yang sesaat, sulit dipercaya kebenaran logisnya, namun sangat sulit tuk dihapuskan begitu saja dari pandangan batin ini.
--------------------------------------------------------------

Gambar: http://bornjavanese.blogspot.com/

Tidak ada komentar: