Jumat, 18 Januari 2008

Lembayung Majapahit - Sebuah Sinopsis Singkat



Ibunda Prabu Tribhuanatunggadewi tetap dengan pendiriannya. Gajah Mada, ia anggap telah menghancurkan ikatan darah yang semestinya berpadu. Niat suci untuk menyatukan balung pisah, telah berbalik menjadi tragedi. Baginya, tak pantas lagi Sang Maha Patih kembali ke di Istana Wilwatikta.

Sementara itu, Sang Prabu Hayam Wuruk sendiri kini berada dipersimpangan jalan. Ia berhadapan dengan pilihan yang sulit. Mana yang harus ia utamakan? Perasaan Sang Ibunda Prabu, atau menyelamatkan keutuhan wilayah negara? Memanggil pulang Gajah Mada jelas melukai hati Sang Ibunda Prabu.

Nyatanya, ketika sosok Gajah Mada tak lagi hadir di tengah pusat kekuasaan Majapahit, hal itu telah membawa dampak yang buruk. Beberapa negara bawahan mulai bertingkah dengan berbagai alasan. Mereka tidak hadir ketika diundang serta mulai menghindar dari kewajiban mereka kepada Majapahit.

Akhirnya, Gajah Mada kembali lagi ke Majapahit. Setahun lamanya ia terusir karena tragedi Bubat. Sumpah Palapa yang tinggal sejengkal lagi akan membulat, terpaksa ia hentikan. Sudah cukup sampai disini, ujar batinnya. Namun demikian, kecintaannya kepada negaranya tak pernah surut sedikitpun.

Amukti Palapa akhirnya terwujud di bumi Nuswantara, walaupun tak bisa sempurna hanya karena wanita. Jasanya mempersatukan wilayah yang sedemikian luas bagaikan pupus tak berarti karena perasaan cinta Sang Prabu Hayam Wuruk. Bagi Gajah Mada, wanita dan cinta adalah bagian dari Amukti Palapa. Jauh sebelum Amukti Palapa itu ia sumpahkan, sesungguhnya, sumpah itu sendiri sudah melekat di dirinya sejak ia baru berumur lima tahun.

Tak perlu orang tahu siapakah diriku, dari manakah asalku dan dimanakah aku menyatu dengan bumiku. Karena itu semua bagian dari amalan Amukti Palapa.

Benarkah semua itu tak akan dapat disingkap? Jawabnya, belum tentu.

Sementara itu di ujung barat Jawa Dwipa, Kerajaan Sunda Galuh di Panjalu Ciamis mencoba menerima malapetaka itu dengan legawa. Istana Wilwatikta sudah memohon maaf beserta tangisnya. Tak ada lagi yang dapat mereka lakukan. Hanya sebatas “Esti larangan ti kaluaran” sebagai balasannya. Tidak boleh bagi mereka menikah dengan orang dari luar lingkungan kerabat Sunda. Istana Surawisesa bisa saja mengambil sikap lunak. Namun tidak demikian bagi sebagian kawula. Merekapun berangkat menuju Bumi Tarik untuk mengukur lebarnya dada Sang Maha Patih.

Mohon doanya, agar penulisan cerita ini berjalan lancar hingga selesai,

Great thanks

Visit My Profile

Tidak ada komentar: