Sabtu, 19 Januari 2008

Lembayung Majapahit - Episode 03


Episode 03

Di tengah lapangan para prajurit tengah memperagakan pertempuran antara Capit Urang melawan Cakra Byuha. Capit Urang, atau Supit Urang, para prajurit membentuk pasukan menjadi beberapa bagian, dua kelompok pertama akan bertindak menjadi tangan-tangan perkasa dari seekor udang, masing-masing di pimpin oleh pemimpin sayap, bisa seorang Senopati, Penatus, ataupun cukup hanya seorang Lurah, tergantung dari besarnya jumlah pasukan yang ada.

Mereka akan menjepit dan mengacaukan pihak musuh dari dua arah yang berlawanan. Sementara itu, di bagian tengahnya, pasukan utama akan bertemu berhadapan dada dengan pihak lawan. Jika dilihat dari atas menara pengawas yang ada di depan kraton, pasukan Capit Urang ini membentuk sebuah garis melengkung bagaikan tapal kuda.

Sedangkan gelar Cakra Byuha, menirukan gerak sebuah cakram bergerigi yang tengah berputar. Di setiap gerigi di pimpin oleh seorang pimpinan prajurit, sementara sang pemimpin tertinggi akan berada diporosnya sembari memberikan perintah-perintah melalui prajurit penghubung ke setiap pimpinan prajurit yang ada di tiap-tiap gerigi. Pertemuan ke dua gelar perang tersebut, menjadikan pertempuran yang dahsyat, walau hanya sekedar latihan saja.

Sewaktu pagi masih gelap tadi, mereka berlatih terlebih dahulu menggunakan gelar perang Glatik Neba melawan Dirada Meta. Glatik Neba, satu gelar yang mencoba mengikuti gerakan cepat dan menukik dari sekelompok burung glatik yang mulanya terbang tinggi dan secara tiba-tiba dan bersamaan, mereka terbang menukik menyerang lawannya. Sedangkan Dirada Meta sendiri merupakan gelar perang yang ditampilkan dengan penuh percaya diri, selayaknya seekor gajah raksasa. Pimpinan pasukan berada di depan di tengah pasukan. Sementara beberapa pimpinan kelompok berada di depan bertindak sebagai belalai sang gajah.

Telah tiga bulan terakhir ini, prajurit Majapahit seperti tak kenal lelah berlatih pertempuran dalam bentuk-bentuk gelar perang yang mereka kenal, Pasir Wutah, Garuda Nglayang, Gedong Minep, Samodra Rob dan lainnya. Dalam Sepasaran hari, mereka bisa berlatih hingga dua sampai tiga kali. Mereka mencoba mendapatkan setiap kemungkinan yang ada pada masing-masing gelar yang mereka dapat manfaatkan dalam petempuran sesungguhnya kelak.

Dari tengah lapangan, dimana pertempuran sedang berlangsung riuh, seekor kuda tiba-tiba memisahkan diri dan berderap kencang menunju ke tempat Gajah Mada dan dua sahabatnya menyaksikan latihan tersebut. Sang penunggang mengenakan topi hitam yang khas dan bergaris merah di tengahnya, berseragam baju hitam dengan kain lurik dengan corak tertentu pula, sementara di pundak kirinya berselempang kain yang di ikatkan dipinggang sebelah kanan. Corak kain lurik serta warna selempang dipundak itulah yang menunjukkan bahwa sang penunggang kuda itu adalah seorang berpangkat Senopati. Senopati Macan Liwung datang menghampiri mereka bertiga dengan tawanya yang lebar.

“Selamat pagi, kakang Gajah Mada” ujarnya riang, tak menampakan kelelahan sedikitpun.

“Bagaimana penilaian kakang terhadap latihan ini?” tanyanya kemudian.

Gajah Mada tersenyum menyambut kedatangan Senopati Macan Liwung.

“Bagus, Macan Liwung, aku senang menyaksikan perkembangan kemampuan dan semangat mereka semua”

“Namun orang-orang pasti segera menyadari, hal itu bisa terjadi karena Senopati Macan Liwung yang memimpin mereka” lanjut maha patih.

Macan Liwung tertawa semakin lebar, demikian juga Gajah Enggon dan Gagak Bongol. Sudah lama rasanya mereka tak tertawa gembira seperti sekarang ini.

“Itu semua bisa terjadi karena sesungguhnya para prajurit melihat kakang Gajah Mada berada di sini” jelas Macan Liwung.

“Mereka tak mau mengecewakan pepundhen yang sangat mereka kagumi”

Dada sang Maha Patih mongkog hatinya mendengar dan melihat semua itu. Mereka kini telah kembali menemukan kemampuan terbaiknya yang sempat hilang sewaktu ia tinggalkan setahun yang lalu.

Tiba-tiba mata sang maha patih menangkap sepasang burung bence yang tengah terbang melintas di atas tanah lapang. Hatinya merasa tidak nyaman, apalagi ia melihat arah kedatangan burung itu searah dengan Istana Kepatihan berada. Panggraitanya yang melebihi tajamnya eri pandan berdesir kencang.

“Hemm, apa gerangan yang sudah terjadi?” tanya batinnya.

Gajah Mada memutar kudanya, mengarah ke Gajah Enggon dan ke dua sahabatnya.

“Kalian teruskan latihan ini hingga waktunya. Dan bukankah Prabu Hayam Wuruk mengundang kita hadir di istana waktu sepenggalah matahari nanti?”.

“Benar kakang, kami pun tak akan lama di sini. Setelah latihan selesai, kami segera menghadiri pasewakan hari ini” sahut Kanuruhan Gajah Enggon.

“Baiklah, kita akan bertemu di pasewakan nanti, sekarang aku harus segera kembali ke Kepatihan. Nampaknya ada sesuatu yang harus kukerjakan terlebih dahulu di sana. Ku minta kalian berhati-hatilah dan waspadai segala sesuatu yang mencurigakan dan tidak pada tempatnya. Aku pergi dulu”.

Gajah Mada tak lagi menunggu jawaban, langsung menghentakkan kaki ke perut kudanya, menuju ke rumahnya, Istana Kepatihan. Sang kuda perkasa yang terkejut dengan perintah tuannya yang sangat tiba-tiba itu, sempat mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi sebelum akhirnya berlari secepat anak panah yang lepas dari busurnya. Ringkikan kuda sang maha patih demikian menggetarkan, seolah-olah di lambari oleh aji Gelap Ngampar.

Kanuruhan Gajah Enggon, Pasangguhan Gagak Bongol dan Senopati Macan Liwung tak sempat lagi menjawab. Mereka terpana dengan kejadian yang berlangsung cepat itu.

Sepeninggal Gajah Mada, mereka saling pandang tanpa suara, sinar mata mereka seolah sepakat, bahwa mereka memiliki kesan dan penilaian yang sama. Mereka melihat dan merasakan bahwa sang Maha Patih telah berubah, sama sekali berbeda jika dibandingkan sebelum ia di usir secara halus oleh Sang Prabu Hayam Wuruk karena peristiwa Bubat setahun yang lalu. Selama tiga bulan terakhir ini, baru sekali ini mereka melihat sang maha patih bisa tertawa lepas.

Gajah Enggon dan ke dua sahabatnya itu menyadari. Sekembalinya dari padepokan Madakaripura, Gajah Mada kini lebih banyak diam. Sepertinya ia sedang menanggung satu beban yang berat dan sangat mengganggu pikirannya. Sulit bagi mereka bertiga untuk menerkanya, dan tak mungkin pula menanyakannya.

Sesungguhnya mereka masih menyayangi leher dan kepala mereka. Mereka masih merasa enggan untuk melepaskannya sekarang. Lebih baik jika untuk sementara ini, mereka memilih bersikap diam saja, menunggu hingga tiba saatnya Sang Maha Patih sendiri berkenan hati membagikan beban itu kepada mereka. Namun demikian, mereka seolah telah berjanji pula, bahwa mereka pasti akan membantunya dengan segenap hati, walaupun harus bertaruh dengan nyawa mereka sekalipun.

Bersambung ke episode 04

Tidak ada komentar: