Sabtu, 19 Januari 2008

Lembayung Majapahit - Episode 02


Episode ke 02

Di bagian depan lapangan, tak seberapa jauh dari sepasang gapura gerbang istana, berdiri seekor kuda hitam paling kekar dari seluruh kuda yang ada di Majapahit. Sang penunggangnya memiliki sepasang mata tajam, setajam mata burung hantu, alis matanya tebal dan hitam. Serius memperhatikan yang tengah terjadi di tengah lapangan. Raut wajah sang pemilik tampak sesekali mengerenyitkan matanya, terkadang mengangguk-anggukkan kepalanya. Badannya tak seberapa tinggi untuk ukuran seorang prajurit, bahkan cenderung sedikit gempal. Wibawa yang dimiliki, sungguh tak kalah dengan tingginya sang gunung kampud.

Gajah Mada senang melihat kembali besarnya semangat juang dan ketekunan yang ditunjukkan oleh para prajurit dalam mengikuti tatanan gelar perang yang dijalankannya. Telah tiga bulan ini ia berupaya keras untuk itu.

“Hmm, kenapa kalian biarkan para prajurit ini menjadi kendur semangatnya? Apa saja yang kalian kerjakan selama setahun ini?”

Pasangguhan Gagak Bongol menundukkan kepala dan melirik ke arah rekan disampingnya. Kanuruhan Gajah Enggon sejenak kemudian memajukan kudanya dua tindak mendekati sang maha patih.

“Kakang Gajah Mada, sebenarnya kami tetap mempertahankan beban latihan para prajurit sebagaimana yang biasa kakang lakukan, bahkan akhir-akhir ini kami telah tambahkan pula beberapa bentuk latihan baru yang lebih berat”,

“Gajah Enggon benar, kakang” sahut Gagak Bongol

“Namun, ketidakhadiran kakang di antara kami rupanya sangat mempengaruhi ketegaran jiwani semua prajurit. Api obor didalam dada mereka seperti kehabisan minyak. Kakang Gajah Mada-lah yang selama ini menjadi minyak jarak di hati mereka semua”.

“Apakah artinya kalian akan membiarkan negara ini musnah sepeninggalku kelak? Lalu, apa artinya segala jerih payah yang telah kita kerjakan selama ini? Lihatlah, bukankah kini, negera Majapahit ini telah menjadi cahaya utama dan panutan bagi seluruh negara-negara yang terbentang dari Onin di ujung timur hingga ke Tumasek di sisi barat sana. Semua itu memerlukan semangat dan tenaga kita, baik untuk meraihnya, juga mempertahankannya” ucap Maha Patih lirih.

“Sudah sampai dimanakah pasukan Nala?”, tanyanya tiba-tiba.

“Petugas penghubung menjelang pagi tadi baru saja melaporkan, bahwa Laksamana Nala dan pasukannya semalam bersandar di Hujung Galuh. Mereka baru saja tiba, setelah melakukan tugas berkeliling di perairan sekitar Celebes”, sahut Gajah Enggon.

“Saya perkirakan, saat matahari tepat di atas kepala, ia baru akan tiba di sini”

Nala, laksamana angkatan maritim yang dimiliki oleh Majapahit. Seorang perwira muda yang sangat menggigirisi tindakannya. Cepat dan tuntas. Kepandaiannya bertempur di lautan tak pernah ada yang meragukannya, hingga negeri-negeri di Swarna Dwipa dan Dharma Sraya pun mengakui kehebatannya. Begitu juga Tumasek.

Gajah Mada memiliki harapan besar kepada seorang Laksamana Nala. Gajah Mada memiliki pendapatnya sendiri, jika wilayah Nusantara ini ingin tetap utuh seperti saat ini, pasukan maritimlah pemegang kuncinya. Air dan lautan, baginya, adalah pemersatu, bukan pemisah.

Jika Majapahit bisa berjaya di lautan, berarti Majapahit akan memegang semuanya, hingga tak perlu cemas lagi jika pasukan tentara negeri Atap Langit datang kembali kelak. Gajah Mada harus selalu waspada terhadap mereka, dan itulah yang selalu menghantui batinnya selama ini. Bagaimanapun, seorang Khan Agung dari negeri Atap Langit itu pasti begitu murkanya karena pasukan yang dikirimnya ke Jawa Dwipa ini telah diperdaya oleh Raden Wijaya, penggagas berdirinya Negara Majapahit ini.

Perlahan Gajah Mada menundukan kepalanya kembali. Lama ia termenung, sementara ke dua rekannya ikut terdiam tak berani bersuara sedikitpun. Mereka menyadari kegalauan sang maha patih tersebut. Alangkah rapuhnya negara ini jika hanya bergantung pada seorang Gajah Mada. Hanya akan seumur jagungkah kelangsungan hidup negera ini? Sungguh menyedihkan bila itu yang terjadi kelak.

Bersambung ke episode 3…

Tidak ada komentar: