Selasa, 12 Agustus 2008

Cerpen: Gelut Batin Rama

Baca bagian cerita ini sebelumnya, disini.

Siang itu Rama akhirnya bertemu dengan Damayanti. Beberapa tahun mereka tak bertemu. Banyak perubahan di keduanya. Setidaknya, keduanya kini berkaca-mata minus. Walau begitu, keduanya saling menganggap bahwa lawan bicaranya justru lebih baik kondisinya dibandingkan saat kuliah dulu. 

Menurut Rama, Damayanti lebih anggun dalam kedewasaannya. Wajahnya jauh lebih bersih dan terawat walau dengan polesan sesederhana itu. Kacamata membuatnya tampak sangat matang dan dewasa. Tubuhnya tak menampakan perubahan yang banyak walau sudah memiliki dua anak.

Sebaliknya, Damayanti melihat Rama tampak gagah dengan kematangan usia yang ditunjukkan oleh beberapa helai rambut yang memutih di sisi kiri dan kanan kepalanya. Cara berpakaian yang jauh lebih rapi. Bagaimanapun Damayanti tak bisa melupakan cara berpakaian Rama yang gaya suka-suka sewaktu sekolah dulu. Rambut panjang sebahu kadang diikatnya dengan karet gelang. Kalung dari tali sepatu berwarna hitam dengan liontin bergambarkan daun ganja. Entah mengapa, waktu itu ia bisa dekat dan tertarik dengan lelaki di depannya ini, sementara ia sendiri gadis yang demikian tekun menjalankan kewajiban kepada Tuhannya.

Pertemuan yang demikian mengesankan bagi keduanya. Rasa dan kematangan jiwa tak pernah luntur dari mereka berdua. Entah mengapa, Rama selalu merasa jadi lelaki yang berbeda ketika bersama Damayanti. Hatinya tegar, kokoh sekaligus begitu lapang dan dalam untuk menerima rasa apapun.

Rasa sayang dan kangen yang membuncah dihati keduanya tak terekspresikan dalam perbuatan. Tak ada sentuhan-sentuhan fisik diantara mereka, walau sekedar sentuhan di ujung jari sekalipun. Tidak ada.

Kebahagiaan mereka telah terpenuhi dengan pertemuan dan pembicaraan yang mengalir tak kunjung putus, tentang pengalaman mereka sejak meninggalkan fakultas, dunia kerja, kesibukan hari-hari, hingga pengalaman-pengalaman lucu anak-anak mereka.

-------------------------------

Rama mengendarai mobilnya dengan rasa yang tak terucapkan. Dalam beberapa hari ini saja, ia bertemu kembali dengan perempuan-perempuan yang pernah mengisi relung hatinya. Shinta berpuluh tahun yang lalu ketika ia masih remaja. Damayanti ketika ia mulai menginjak dunia kedewasaan, walau mungkin dewasa yang tanggung. Akhirnya, pikirannya berlabuh pada Anjani, istrinya di rumah. 

Shinta yang memiliki kecantikan sempurna, kini perlahan terkikis oleh waktu. Benar kata banyak orang, kecantikan tubuh akan luruh bersama berjalannya waktu. Selain itu, Rama kini menyadari, banyak rahasia dalam diri Shinta yang belum bisa ia kenali. Beberapa kali ia terpaksa mengkerutkan keningnya melihat dan mendengar Shinta siang itu. Shinta memang tak pernah memilih, tapi ia kawin dengan lelaki pilihan orang-tuanya. Lalu, dimanakah bedanya?

Akh, Rama gelisah memikirkan itu. Hati Rama berkelahi dengan dirinya sendiri.

"Kau cemburu, Rama. Atau, kau merasa tertipu karena ternyata ia sudah menikah?" tanya batin hitamnya.

"Tidak, aku tidak cemburu, ataupun merasa tertipu...." jawab batin putihnya.

"Kau pasti akan menikahinya bila ia belum bersuami. Bukankah ia kekasih tercantik dalam hidupmu?" kejar batin hitam.

Batin putih tak perlu menjawab ketika ia dapati Rama sudah dalam keputusannya, Rama tak akan menikah dengannya.

----------------------------

Damayanti tak secantik Shinta. Namun, Rama merasa mengenal perempuan itu begitu dalam. Sepertinya ia bisa merenangi lubuk hatinya yang mengalun perlahan. Tak pernah ada percikan gelombang disana. Ia senang bisa menyelami semua itu walau tak memiliki raga Damayanti. Rasanya, ia sudah memiliki semua rasa yang ada dilubuk perempuan itu, begitu juga sebaliknya. Pada tahap ini, pernikahan antara mereka memang tak diperlukan lagi. Tali perkawinan telah dijalani oleh kedua hati mereka sejak lama. Rama saja yang terlambat menyadari hal itu.

Lepas dari itu semua, Rama semakin mantap menginjak pedal gas mobilnya. Dadanya serasa ringan seakan mau terbang. Kerinduannya yang memuncak secara tiba-tiba muncul dihatinya terhadap wanita yang paling dikasihinya. Kini ia tahu kemana ia harus berlabuh. Kini ia paham bersama siapa sampan ini harus dikayuh bersama.

"Anjani, aku mencintaimu...., sungguh...." teriak batinnya seakan meluncur ke langit menuju rumahnya. Jauh lebih cepat mendahului raganya yang terkekang dalam batas kecepatan mobil yang ia pacu.

Tidak ada komentar: