Selasa, 29 Juli 2008

... dan Siswa pun Mulai Belajar Kolusi dr Guru Mereka Sendiri ...

Saat sekarang ini, siswa pelajar memasuki awal tahun ajaran baru. Anak dan orang tua disibukkan dengan berbagai kebutuhan guna melengkapi perlengkapan belajar putra-putri kesayangan mereka. Pertama, tentang seragam, mulai dari seragam sekolah yang masing-masing sekolah menetapkan aturan sendiri, misalnya badge di lengan kiri dan kanan yang biasanya di sediakan koperasi sekolah. Dasi pun harus beli di sana, topi juga karena harus dilengkapi dengan nama sekolahan yang bersangkutan. Jadi tak ada pilihan bagi para orang tua untuk memilih membli di luar, walau mungkin saja di luar sana mereka bisa mendapatkannya dengan kualitas lebih baik dan harga bersaing.

Masih tentang seragam, ada lagi perlengkapan pramuka, seragam batik, baju olah raga dan pernik-pernik lainnya yang semuanya harus ada nama sekolah yang bersangkutan.

Diluar masalah seragam, satu hal lainnya yang lebih "hot" adalah buku. Anak saya sendiri, yang tahun ini memasuki awal tahun belajarnya di bangku SMP, harus menunggu sang guru satu per satu memberikan nama buku, pengarang dan penerbit yang hendak ia pakai mengajar siswa-siswinya.

Satu hal menarik, tentang buku ini, sang guru selalu memberi catatan di akhir penjelasannya, buku yang hendak ia pakai bisa di beli di toko buku dekat sekolahan. Siswa dianjurkan membeli buku di toko buku tersebut, karena membeli di toko buku itu sama saja membeli di koperasi sekolah. Tentang buku ini, koperasi sekolah memang tidak menjualnya, terbentur peraturan yang tidak mengijinkannya untuk itu. "Oh ya, jika kalian membeli buku cetak di toko itu, buku kalian akan di stempel nama toko itu sebagai buktinya" sang guru mengakhiri pesan sponsornya.

Jadilah toko buku super kecil mungil dan seadanya itu sedemikian padat dikerumuni pelajar yang hendak membeli buku, persis pasar malam kagetan.

Mari kita berhitung, di SMP tempat anak saya belajar untuk kelas I memiliki 10 kelas dengan rata-rata 40 pelajar per kelas, total kelas I-nya saja memiliki 400 pelajar di kalikan 3, yakni dengan kelas II dan III, keseluruhan ada 1.200 siswa.

Setiap level kelasnya memerlukan sekitar 10 jenis buku pelajaran (IPA, IPS, Bahasa dll) yang harus mereka beli, jadi disetiap awal tahun ajaran baru, sekitar 12.000 buku cetak terdistribusikan ke pelajar dengan harga rata-rata berkisar Rp. 20.000 - 30.000 perbuku. Mengambil harga minimal, 12.000 buku x Rp. 20.000 = Rp. 240 juta. Bukan angka yang sedikit. Berapa keuntungan sebuah buku? Bisa 5%, 10% hingga 30%.

Melihat itu semua, satu kerjasama yang baik sekali antara penjual buku dengan para guru telah terjalin. Entah bagaimana pola pembagian keuntungan diantara mereka.

Satu hal yang pasti, anak saya mulai mendapat pembelajaran apa yang dinamakan kolusi di saat ia masih di bangku SMP.

Saya jelaskan pula, jika antara penjual buku dan sang guru memeliki hubungan kekerabatan, itulah namanya kolusi yang dilakukan dengan cara nepotisme. Adakah unsur korupsi dalam hal ini? Entahlah, saya jadi malas memikirkannya.

Tidak ada komentar: