Mata bak fatamorgana
Ketika asa bertemu waktu
Nyata dan mimpi menyatu
Aku
Kamu
Kita
Bersama menggapai semu
Berapa lama asa bertahan?
Berapa cepat waktu berlalu?
"Sira Gajah Mada, pepatih hamoengkoe bhoemi tan ayoen hamoekti palapa.Sira Gajah Mada, lamoen hoewoes kalah Noesantara ingsoen hamoekti palapa. Lamoen kalah ring Goeroen, ring Seram, Tanjoengpoera, ring Haroe, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Soenda, Palembang, Toemasek, samana ingsoen hamoekti palapa - Gajah Mada"
Mata bak fatamorgana
Ketika asa bertemu waktu
Nyata dan mimpi menyatu
Aku
Kamu
Kita
Bersama menggapai semu
Berapa lama asa bertahan?
Berapa cepat waktu berlalu?
Saat sekarang ini, siswa pelajar memasuki awal tahun ajaran baru. Anak dan orang tua disibukkan dengan berbagai kebutuhan guna melengkapi perlengkapan belajar putra-putri kesayangan mereka. Pertama, tentang seragam, mulai dari seragam sekolah yang masing-masing sekolah menetapkan aturan sendiri, misalnya badge di lengan kiri dan kanan yang biasanya di sediakan koperasi sekolah. Dasi pun harus beli di sana, topi juga karena harus dilengkapi dengan nama sekolahan yang bersangkutan. Jadi tak ada pilihan bagi para orang tua untuk memilih membli di luar, walau mungkin saja di luar sana mereka bisa mendapatkannya dengan kualitas lebih baik dan harga bersaing.
Masih tentang seragam, ada lagi perlengkapan pramuka, seragam batik, baju olah raga dan pernik-pernik lainnya yang semuanya harus ada nama sekolah yang bersangkutan.
Diluar masalah seragam, satu hal lainnya yang lebih "hot" adalah buku. Anak saya sendiri, yang tahun ini memasuki awal tahun belajarnya di bangku SMP, harus menunggu sang guru satu per satu memberikan nama buku, pengarang dan penerbit yang hendak ia pakai mengajar siswa-siswinya.
Satu hal menarik, tentang buku ini, sang guru selalu memberi catatan di akhir penjelasannya, buku yang hendak ia pakai bisa di beli di toko buku dekat sekolahan. Siswa dianjurkan membeli buku di toko buku tersebut, karena membeli di toko buku itu sama saja membeli di koperasi sekolah. Tentang buku ini, koperasi sekolah memang tidak menjualnya, terbentur peraturan yang tidak mengijinkannya untuk itu. "Oh ya, jika kalian membeli buku cetak di toko itu, buku kalian akan di stempel nama toko itu sebagai buktinya" sang guru mengakhiri pesan sponsornya.
Jadilah toko buku super kecil mungil dan seadanya itu sedemikian padat dikerumuni pelajar yang hendak membeli buku, persis pasar malam kagetan.
Mari kita berhitung, di SMP tempat anak saya belajar untuk kelas I memiliki 10 kelas dengan rata-rata 40 pelajar per kelas, total kelas I-nya saja memiliki 400 pelajar di kalikan 3, yakni dengan kelas II dan III, keseluruhan ada 1.200 siswa.
Setiap level kelasnya memerlukan sekitar 10 jenis buku pelajaran (IPA, IPS, Bahasa dll) yang harus mereka beli, jadi disetiap awal tahun ajaran baru, sekitar 12.000 buku cetak terdistribusikan ke pelajar dengan harga rata-rata berkisar Rp. 20.000 - 30.000 perbuku. Mengambil harga minimal, 12.000 buku x Rp. 20.000 = Rp. 240 juta. Bukan angka yang sedikit. Berapa keuntungan sebuah buku? Bisa 5%, 10% hingga 30%.
Melihat itu semua, satu kerjasama yang baik sekali antara penjual buku dengan para guru telah terjalin. Entah bagaimana pola pembagian keuntungan diantara mereka.
Satu hal yang pasti, anak saya mulai mendapat pembelajaran apa yang dinamakan kolusi di saat ia masih di bangku SMP.
Saya jelaskan pula, jika antara penjual buku dan sang guru memeliki hubungan kekerabatan, itulah namanya kolusi yang dilakukan dengan cara nepotisme. Adakah unsur korupsi dalam hal ini? Entahlah, saya jadi malas memikirkannya.
Sebuah artikel yang pas banget dgn diriku. Seringkali rasa ingin menulis membuncah dalam dada, namun di kali lainnya, ia terjun bebas hingga ke dasar jurang. Sudah kucoba cari cara guna mempertahankan api semangat tuk menulis itu, walau ternyata tak pernah mudah.
Copas-an artikel ini semoga bermanfaat bagi kita semua disini, kawan-kawan semua dan juga aku pribadi.
Catatan: Di copas dengan peringkasan di beberapa paragraf untuk memperpendek artikel, diupayakan tidak mengubah makna yang ada secara keseluruhan.
-----------------------
FAKTA ini mungkin agak mengagetkan: beberapa blog teman saya ternyata tak di-up date sampai dua tahun. Ini membuat saya bertanya: ke mana semangat menulis mereka? Apa mereka ganti blog atau punya kesibukan luar biasa sampai lupa menulis?
Salah seorang menjawab enteng: "Saya sudah malas mengisi blog lagi, mas."
Wah, padahal tulisan dia jadi favorit sejumlah orang lho, termasuk di antaranya seorang kritikus yang menurut saya paling nyelekit senusantara. Posting kawan saya itu merupakan paduan antara kejujuran, humor, dan sinisme menyiasati kesulitan pilihan hidup. Jelas, orang yang malas menulis biasanya (sedang) kehilangan motif menulis.
Seminggu lalu saya menerima email dari kawan. Dia jujur bilang bahwa belakangan ini gairah menulisnya hilang, sulit konsentrasi menuntaskan draft novel yang sudah agak lama terlunta-lunta, gelisah tak punya "pekerjaan tetap," dan agak kehilangan orientasi karena mendadak kekasihnya dipanggil Tuhan. Dengan merasa ikut sedih, saya berusaha menghibur, kemungkinan besar dia sulit menemukan alasan kuat yang bisa bikin dirinya semangat, penuh motivasi.
Saya bilang, "Sebenarnya pekerjaan tetap penulis itu ya duduk menulis; bukan ngantor atau lainnya. Waktu ngobrol dengan Bagus Takwin, kami mendapati bahwa beberapa di antara kelemahan kita sebagai penulis ialah kita kesulitan, bahkan gagal, mengorganisasi diri, sulit mengelola kesempatan atau bikin skala prioritas. Akibatnya target tulisan gagal tercapai, dan dia frustrasi."
Sejumlah orang menulis karena uang. Mereka menulis dengan niat tembus ke media massa, berusaha agar tulisan itu sesuai kriteria media, dipoles, dan memenuhi idealisme tertentu. Memang belum tentu bila tulisan ditolak mereka bakal kecewa; tapi itu berarti kesempatan mendapat nafkah jadi kurang.
Wartawan merupakan contoh utama menulis demi nafkah. Penulis yang saya tahu persis punya motif ekonomi antara lain Farid Gaban (saya dengar langsung ucapannya), Ajip Rosidi (dari esai dia), dan Philip Pullman (dari wawancara). Saya ingin jujur dengan hal ini. Kata Paul Arden: "Pikirkan tentang uang. Ia jujur. Uang akan membuat Anda kreatif."
Menjaga api semangat menulis ini ternyata sulit juga, meski banyak caranya.
-----------------------
Republika, Minggu, 27 Juli 2008; [Selisik]
Sebuah artikel yang pas banget dgn diriku. Seringkali rasa ingin menulis membuncah dalam dada, namun di kali lainnya, ia terjun bebas hingga ke dasar jurang. Sudah kucoba cari cara guna mempertahankan api semangat tuk menulis itu, walau ternyata tak pernah mudah.
Copas-an artikel ini semoga bermanfaat bagi kita semua disini, kawan-kawan semua dan juga aku pribadi.
Catatan: Di copas dengan peringkasan di beberapa paragraf untuk memperpendek artikel, diupayakan tidak mengubah makna yang ada secara keseluruhan.
-----------------------
FAKTA ini mungkin agak mengagetkan: beberapa blog teman saya ternyata tak di-up date sampai dua tahun. Ini membuat saya bertanya: ke mana semangat menulis mereka? Apa mereka ganti blog atau punya kesibukan luar biasa sampai lupa menulis?
Salah seorang menjawab enteng: "Saya sudah malas mengisi blog lagi, mas."
Wah, padahal tulisan dia jadi favorit sejumlah orang lho, termasuk di antaranya seorang kritikus yang menurut saya paling nyelekit senusantara. Posting kawan saya itu merupakan paduan antara kejujuran, humor, dan sinisme menyiasati kesulitan pilihan hidup. Jelas, orang yang malas menulis biasanya (sedang) kehilangan motif menulis.
Seminggu lalu saya menerima email dari kawan. Dia jujur bilang bahwa belakangan ini gairah menulisnya hilang, sulit konsentrasi menuntaskan draft novel yang sudah agak lama terlunta-lunta, gelisah tak punya "pekerjaan tetap," dan agak kehilangan orientasi karena mendadak kekasihnya dipanggil Tuhan. Dengan merasa ikut sedih, saya berusaha menghibur, kemungkinan besar dia sulit menemukan alasan kuat yang bisa bikin dirinya semangat, penuh motivasi.
Saya bilang, "Sebenarnya pekerjaan tetap penulis itu ya duduk menulis; bukan ngantor atau lainnya. Waktu ngobrol dengan Bagus Takwin, kami mendapati bahwa beberapa di antara kelemahan kita sebagai penulis ialah kita kesulitan, bahkan gagal, mengorganisasi diri, sulit mengelola kesempatan atau bikin skala prioritas. Akibatnya target tulisan gagal tercapai, dan dia frustrasi."
Sejumlah orang menulis karena uang. Mereka menulis dengan niat tembus ke media massa, berusaha agar tulisan itu sesuai kriteria media, dipoles, dan memenuhi idealisme tertentu. Memang belum tentu bila tulisan ditolak mereka bakal kecewa; tapi itu berarti kesempatan mendapat nafkah jadi kurang.
Wartawan merupakan contoh utama menulis demi nafkah. Penulis yang saya tahu persis punya motif ekonomi antara lain Farid Gaban (saya dengar langsung ucapannya), Ajip Rosidi (dari esai dia), dan Philip Pullman (dari wawancara). Saya ingin jujur dengan hal ini. Kata Paul Arden: "Pikirkan tentang uang. Ia jujur. Uang akan membuat Anda kreatif."
Menjaga api semangat menulis ini ternyata sulit juga, meski banyak caranya.
-----------------------
Republika, Minggu, 27 Juli 2008; [Selisik]