Selasa, 16 September 2008

Kita Akan Menjadi Besar Jika Mau Berkaca Pada Diri Sendiri

Bagi kawan-kawan disini, khususnya yang bekerja di perusahaan swasta, pasti paham bagaimana ketatnya persaingan dalam memperebutkan karir dan kesempatan yang ada. Selayaknya politikus ulung, kita mesti pandai-pandai bersiasat guna mencapai tangga tertinggi yang ada. Yang paling sigap dan kencang larinya, pasti akan sampai di puncak paling duluan. Itu artinya, nama besar, kekuasaan dan uang, akan mengalir semakin deras memasuki kantong kita. Kalau sudah sampai di tahap ini, ibarat bang Bento, kita ingin apapun, sekali lirik oke sajalah.

Menggapai cita-cita setinggi langit sebenarnya sah-sah saja. Islam sendiri mengajarkan bahwa kita mesti mencapai keberhasilan hidup baik di dunia maupun di akhirat kelak. Bukankah tangan yang memberi itu lebih baik dari pada yang meminta atau menerima?

Namun, seringkali kita melupakan, bahwa Tuhan menghendaki satu kehidupan yang harmonis, pola hidup yang berimbang. Kita mesti menjalankan kegiatan dan ibadah kita dalam keseimbangan.

Terlalu memikirkan dunia itu mengubah kita menjadi manusia-manusia beringas bak serigala. Yang selalu berkeinginan membunuh saingan-saingannya di dalam memperebutkan mangsa kesukaan kita. Jangankan orang lain, jika perlu, saudarapun kita lenyapkan demi mangsa yang kita buru.

Sebaliknya, Allah sendiri tak suka jika kita sebagai umatnya, hanya menghabiskan waktu kita di dunia ini hanya untuk beribadah semata. Sholat dan dzikir setiap hari dari bangun tidur hingga mau tidur lagi, jelas Allah tidak menghendaki kita lakukan. Dengan begitu, kita akan menelantarkan banyak hal, baik keluarga kita maupun hubungan sosial kita.

Jadi, satu keseimbanganlah yang menjadi tujuan hidup kita. Keseimbangan yang selalu mendasarkan pada "rasa", beriringan dengan "suara hati" atau "hati nurani" kita.

Namun, seringkali kita dihadapkan pada monster-monster kehidupan, baik itu manusia-manusia biasa, dalam arti wajar-wajar saja, maupun manusia-manusia yang menurut kita termasuk manusia pilihan, baik karena jenjang pendidikannya yang bagus, pola ibadahnya yang tekun maupun gelar-gelar duniawi yang menempel padanya.

Banyak contoh, manusia pilihan semacam itu, menjadi gelap mata, mati rasa dan mendadak bisa nuraninya ketika ia berhadapan dengan peluang-peluang dunia yang terhampar di depan matanya. Peluang yang membungkus akal pikirannya, membutakan matanya. Peluang yang jika ia ambil segera terbayang betapa enak kehidupan yang bisa ia gapai, baik untuk dirinya sendiri maupun sanak kadangnya.

Nabi Muhammad sendiri pernah mengatakan, bahwa ia kuatir dengan umatnya kelak (yakni kita-kita ini semua), karena tidak kuat menghadapi tantangan hidup seperti harta, tahta dan wanita.

Kita mesti sadar, bahwa yang Nabi sebutkan sebagai "tantangan hidup" itu bukan saja kesulitan hidup yang mendera kita dan membuat hidup kita semakin sulit. Tidak. Tantangan hidup tidak mesti selalu diartikan sebagai kesulitan hidup. Karena sesungguhnya, kebahagiaan, peluang karir, peluang bisnis yang serba nikmat itu, justru sebenarnya "tantangan hidup" yang jauh lebih dahsyat karena ia terkemas dalam bungkus yang sedemikian cantik dan sangat menyilaukan mata hati kita.

Tantangan hidup berupa peluang baik itu seringkali berhasil mengubur orang-orang dengan kualitas pilihan sekalipun ke dalam jurang gelap yang tak berkesudahan. Ujung-ujungnya, ia rela dan sanggup membunuh siapapun yang menghalangi langkahnya, walaupun halangan itu berupa niat baik untuk membawanya kembali ke jalan yang lurus.

Bagaimana dengan kita? Masihkan mata hati kita awas memandang? Apakah nurani kita masih keras berbisik? Adakah rasa kita masih peka tuk meraba?