Jumat, 23 Mei 2008

Buku "Matahari Merah Bulan Mei"

Buku ini ditulis oleh seorang aktivis mahasiswa, sebagai seorang dari pelaku sejarah masa Reformasi 1998.


Judul : Matahari Merah Bulan Mei
Penulis : Ali Akbar
Kata Penutup : Maman S. Mahayana
Penerbit : Maju Mbojo, Mei 2008
Tebal : vi + 249


Sepuluh tahun sudah Reformasi 1998 berlalu. Hiruk-pikuknya masih menyisakan berbagai kenangan sampai kini. Sudah empat presiden memimpin negeri ini. Namun, persoalan negeri ini tak kunjung selesai.

Salah satu fase terpenting dalam kehidupan bangsa ini pun telah tercatat dalam berbagai buku. Baik dalam bentuk biografi, otobiografi maupun fiksi. Salah satunya novel Matahari Merah Bulan Mei ini.

Novel ini ditulis oleh salah satu dari aktivis yang terlibat langsung dalam Reformasi 1998 yang karena begitu membingungkan rakyat sering dipelesetkan menjadi ’Repotnasi’. Repot memikirkan nasi (perut) lantaran harga beras terus membumbung tinggi.

Mengambil sudut pandang seorang tokoh aktivis mahasiswa, penulis menceritakan berbagai tokoh (terutama mahasiswa) menjelang Reformasi Mei 1998. Tokoh-tokoh mulai dari narapidana (tentara desertir), pembantu rumah tangga, kuli angkut, petani yang menjadi kuli bangunan, penjaga warung yang bercita-cita menjadi TKW sampai tokoh lurah yang menggambarkan krisis moral di negeri ini juga menghiasi novel ini. Beberapa tokoh nasional muncul sebagai cameo dalam novel ini. Misalnya Amien Rais, Ali Sadikin, Buyung Nasution.

Hampir semua tokoh bermuara pada satu tujuan. Jalinan benang merahnya dengan cerdas dan mulus dijalin oleh penulis. Kecuali tokoh narapidana (tentara desertir) yang hingga akhir hidupnya ’hubungan’ cerita yang lain sebatas mencuri dengar obrolan mahasiswa di warung tepi jalan.

Ali Akbar, si penulis, tampaknya lebih memilih untuk menceritakan peristiwa reformasi dari kacamatanya sendiri, dari sudut pandang pelaku sejarah. Jejak sejarah yang ditampilkan dalam novel ini misalnya penembakan mahasiswa Trisakti, pendudukan Gedung MPR/DPR hingga detik-detik Soeharto mengundurkan diri. Seperti dikatakan oleh Syamsudin Haris, pengamat politik dari LIPI, novel ini layak dibaca karena ditulis oleh aktivis mahasiswa yang terlibat langsung di dalam gerakan Reformasi 1998. Bahkan, Anis Matta, politisi dan anggota DPR RI, menyatakan ini adalah sebuah novel sejarah yang menggambarkan jejak jiwa seorang aktivis.

Meski porsi ceritanya tidak besar, Ali Akbar menyebutkan keterlibatan Amerika di dalam gerakan Reformasi. Ia menyebutkan ada tokoh mahasiswa yang didatangi oleh orang dari Kedutaan Besar Amerika Serikat. Orang itu menawarkan bantuan jika diperlukan. Ia memberikan selembar kartu nama yang kemudian dibuang oleh tokoh mahasiswa tersebut.

Sulit menghilangkan kecurigaan keterlibatan Amerika di dalam menentukan percaturan politik di Indonesia. Salah satu bagian dari peristiwa tahun 1966 yang terus dikaji oleh politikus dan sejarawan adalah mengenai keterlibatan badan intelijen Amerika—CIA. Ada pandangan kuat bahwa Amerika tidak sejalan dengan Soekarno dan berupaya menyingkirkannya. Apalagi ketika itu Soekarno condong ke blok Timur. Ada ’tuduhan’ bahwa Soeharto didukung oleh Amerika. Bahkan, ada dugaan kalau aksi demonstrasi mahasiswa angkatan 66 dibiayai oleh CIA.

Demonstrasi 1998 dianggap sama besar besar bahkan lebih besar dari demonstrasi 1966. Kedua demonstrasi itu diakui menjadi tahap penting di dalam sejarah Indoenesia. Namun, pernahkan ada yang menyatakan keterlibatan Amerika di dalam demonstrasi 1998?

Satu hal yang cukup menggelitik adalah penggunaan teknologi telepon genggam alias handphone. Pada masa itu handphone masih merupakan benda mewah tanda status seseorang. Tidak banyak orang yang memilikinya apalagi mahasiswa. Apakah ini indikasi keterlibatan Amerika atau memang aktivis tersebut dari keluarga kaya atau karena ia seorang aktivis ’karismatik’ yang mendapat ’bantuan’ dari banyak pihak yang bersimpati. Terlepas dari itu semua ternyata teknologi juga berperan dalam melengserkan suatu rezim seperti yang juga terjadi di Filipina.

Membaca novel ini kita seolah terlibat di dalamnya. Mengikuti rapat mengatur strategi berdemo, tidur di tenda ditemani nyamuk, ramai-ramai berdemonstrasi, bersitegang dengan aparat keamanan hingga memuncaknya Reformasi 1998. Inilah, meminjam ungkapan Maman Mahayana dalam kata penutupnya, catatan terpendam yang mengungkap kisah tak terucapkan. Beruntung, Ali Akbar merekam semua itu.



Achmad Sunjayadi
Pengajar FIB UI dan Erasmus Taalcentrum Jakarta
visit me at : http://www.sunjayad i.com

copasan dr: milis ResensiBuku@yahoogroups.com; ungguls belum punya buku ini

Jumat, 16 Mei 2008

Buku: Selamatkan Indonesia - by Amien Rais

Sebuah risalah kritis dipersembahkan untuk:

- Angkatan muda dan mahasiswa Indonesia,
- Para intelektual dan politisi yang punya hati nurani,
- Para ulama, zu'ama dan rohaniawan,
- Para prajurit yang selalu mengingat Sumpah Sapta Marga, dan para Bhayangkara yang senantiasa memegang Sumpah Tri Brata,
- Para penegak hukum dan keadilan,
- Segenap tokoh tiga pilar bangsa: buruh, tani dan nelayan,
- Para pengasuh media massa sebagai estate ke empat demokrasi,
- Para penggiat LSM yang tetap mengunggulkan kepentingan bangsa,
- Segenap pendidik yang sedang mengukir generasi muda,
- Semua anak bangsa yang masih peduli dengan mertabat dan harga diri bangsa.

Daftar isi pada Bab 6 Korupsi Paling Berbahaya: State Captured Corruption Zaman Habibie, Zaman Megawati dan Zaman Yudhoyono

Senin, 12 Mei 2008

Jangan (Membiasakan Diri Ber)Teriak

Cerita tentang salah satu kebiasaan yang ditemui pada penduduk yang tinggal di sekitar kepulauan Solomon, yang letaknya di Pasifik Selatan.

Nah, penduduk primitif yang tinggal di sana punya sebuah kebiasaan yang menarik yakni meneriaki pohon. Untuk apa? Kebiasaan ini ternyata mereka lakukan apabila terdapat pohon dengan akar-akar yang sangat kuat dan sulit untuk dipotong dengan kapak.

Inilah yang mereka lakukan, dengan tujuan supaya pohon itu mati. Caranya adalah, beberapa penduduk yang lebih kuat dan berani akan memanjat hingga ke atas pohon itu.

Lalu, ketika sampai di atas pohon itu bersama dengan penduduk yang ada di bawah pohon, mereka akan berteriak sekuat-kuatnya kepada pohon itu. Mereka lakukan teriakan berjam-jam, selama kurang lebih empat puluh hari. Dan apa yang terjadi sungguh menakjubkan. Pohon yang diteriaki itu perlahan-lahan daunnya akan mulai mengering. Setelah itu dahan-dahannya juga mulai akan rontok dan perlahan-lahan pohon itu akan mati dan dengan
demikian, mudahlah ditumbangkan.

Kalau kita perhatikan apa yang dilakukan oleh penduduk primitif ini sungguhlah aneh. Namun kita bisa belajar satu hal dari mereka. Mereka telah membuktikan bahwa teriakan-teriakan yang dilakukan terhadap mahkluk hidup tertentu seperti pohon akan menyebabkan benda tersebut kehilangan rohnya.

Akibatnya, dalam waktu panjang, makhluk hidup itu akan mati. Nah, sekarang apakah yang bisa kita pelajari dari kebiasaan penduduk primitif di kepulauan Solomon ini? O, sangat berharga sekali!. Yang jelas, ingatlah baik-baik bahwa setiap kali Anda berteriak kepada mahkluk hidup tertentu maka berarti Anda sedang mematikan rohnya.

Pernahkah kita berteriak pada anak kita?
Ayo cepat!
Dasar leletan!
Bego banget sih..
Hitungan mudah begitu aja nggak bisa dikerjakan.. .
Ayo, jangan main-main disini.
Berisik!
Bising!

Atau, pernahkah kita berteriak kepada orang tua kita karena merasa mereka membuat kita jengkel?
Kenapa sih makan aja berceceran?
Kenapa sih sakit sedikit aja mengeluh begitu?
Kenapa sih jarak dekat aja minta diantar?

Mama, tolong nggak usah cerewet, boleh nggak?
Atau, mungkin kitapun berteriak balik kepada pasangan hidup kita karena kita merasa sakit
hati?
Cuih! Saya nyesal kawin dengan orang seperti kamu, tahu nggak?!
Bodoh banget jadi laki nggak bisa apa-apa!
Aduh.. Perempuan kampungan banget sih?!

Atau, bisa seorang guru berteriak pada anak didiknya.
Eh tolol, soal mudah begitu aja nggak bisa. Kapan kamu mulai akan jadi pinter?

Ingatlah, setiap kali kita berteriak pada seseorang karena merasa jengkel, marah, terhina, terluka ingatlah dengan apa yang diajarkan oleh penduduk kepulauan Solomon ini. Mereka mengajari kita bahwa setiap kali kita mulai berteriak, kita mulai mematikan roh pada orang yang kita cintai.

Kita juga mematikan roh yang mempertautkan hubungan kita. Teriakan-teriakan, yang kita keluarkan karena emosi-emosi kita perlahan-lahan, pada akhirnya akan membunuh roh yang telah melekatkan hubungan kita.

Jadi, ketika masih ada kesempatan untuk berbicara baik-baik, cobalah untuk mendiskusikan mengenai apa yang Anda harapkan. Coba kita perhatikan dalam kehidupan kita sehari-hari. Teriakan, hanya kita berikan tatkala kita bicara dengan orang yang jauh jaraknya, bukan?!

Nah, tahukah Anda mengapa orang yang marah dan emosional, mengunakan teriakan-teriakan padahal jarak mereka hanya beberapa belas centimeter. Mudah menjelaskannya. Pada realitanya, meskipun secara fisik mereka dekat tapi sebenarnya hati mereka begituuuu
jauhnya. Itulah sebabnya mereka harus saling berteriak.

Selain itu, dengan berteriak, tanpa sadar mereka pun mulai berusaha melukai serta mematikan roh pada orang yang dimarahi kerena perasaan-perasaan dendam, benci atau kemarahan yang dimiliki. Kita berteriak karena kita ingin melukai, kita ingin membalas.

Jadi mulai sekarang ingatlah selalu. Jika kita tetap ingin roh pada orang yang kita sayangi tetap tumbuh, berkembang dan tidak mati, janganlah menggunakan teriakan-teriakan. Tapi, sebaliknya apabila Anda ingin segera membunuh roh pada orang lain ataupun roh pada hubungan Anda, selalulah berteriak.

Hanya ada 2 kemungkinan balasan yang Anda akan terima. Anda akan semakin dijauhi. Ataupun Anda akan mendapatkan teriakan balik sebagai balasannya.

Saatnya sekarang, kita coba ciptakan kehidupan yang damai tanpa harus berteriak-teriak untuk mencapai tujuan kita.

sumber: email dr salah satu sahabat, sumber awal tak tercantumkan.

Jumat, 09 Mei 2008

Baru Terbit - Gajah Mada 6 - Perang Paregreg

Sobat peminat novel roman sejarah semua, kabar gembira, Langit kresna
Hariadi baru saja menerbitkan novel roman sejarah Majapahit, melanjut-
kan novel populernya, Gajah Mada, yang berjudul:

"Gajah Mada 6: Perang Paregrek 1"

- "Aku seorang raja." kata Hayam Wuruk datar dan tenang, "mestinya
semua oang tahu sebagai Raja aku memiliki kekuasaan yang sangat besar.
Aku bisa menjatuhkan hukuman mati pada siapapun yang menurut anggapan-
ku melakukan kesalahan besar.

Breh Wirabumi itu bukan Minak Jinggo, aku tidak pernah memberinya
nama Minak Jinggo. Akan tetapi di luar sana ada orang yang berani-
beraninya memberi nama olok-olok Minak Jinggo. Penyebutan Breh Wira-
bumi dengan nama olok-olok itu sangat menyinggung perasaanku dan
sungguh memancing keinginanku menjatuhinya dengan hukuman mati."

***

Perang Paregrek, sebuah perang keluarga dengan latar belakang konflik
yang tidak terduga. menyambung sukses pentalogi Gajah Mada. El-Kaha
(Langit Kresna hariadi) kembali mengajak anda berimajinasi ke wilayah
abad 13 dan 14.

Sinopsis dan informasi lain tentang buku ini tersedia di halaman depan
situs www.inibuku.com. Jangan lupa klik [buku baru] di kiri atas
halaman situs untuk mendapatkan info seluruh buku baru.

Terima kasih
www.inibuku.com - toko buku online
Pesan melalui telpon : 021 4287-6779 atau 021 421-2057