Senin, 25 Februari 2008

Sedikit Cerita Ttg Konser "Lagu Cinta" Bersama Iwan Fals

Sabtu, jam 15.00 an kami memasuki pelataran parkir yang cukup darurat keadaannya, ditengah-tengah kebun milik perorangan, dengan kondisi tanah yg cukup becek. Maklum, kondisi abis hujan, dan kebun itu bertanah merah, untuk berjalan kakipun hrs super hati2 agar tak terpeleset jatuh. Bukan soal kotornya, kalo sdh berniat nonton musik macam begini, kotor badan baju sudah kutempatkan dlm prioritasku nomer ke 200 sekian.

Sepanjang tepian jalan menuju lokasi pertunjukan, begitu banyak pedagang lesehan girlan yang menjual aneka pernak-pernik Iwan Fals, mulai dari stiker, kaset bekas, vcd, kaos, gantungan kunci, poto berbingkai hingga poster. Pokoknya benda apa saja yang ada gambar atau tulisan IF-nya mereka jual disini. Tak urung, 3 T-shirt kugondol dari mereka, 2 diantaranya langsung kukenakan ke anak-anakku, dan juga beberapa stiker. Sementara kaos jatahku, ku simpan & tinggal di mobil saja.

Hanya beberapa puluh langkah kemudian, sampailah kami di loket. Beberapa spanduk tentang konser itu itu terpasang dipinggiran jalan, juga ttg IFM. Semua panitia berseragam T-shirt berwarna orange dengan tulisan "Panitia" di lengan kanan mereka. Dipunggung dan bag dada, tertulis pula Iwan Fals Managemen (IFM).

Di loket, atas nama cinta, sesuai tema konser sore itu, saya coba bernegosiasi untuk menggratiskan tiket tuk Devi anakku. Dan atas nama cinta pula, mereka mengabulkannya, alhamdulillah, bisa berhemat Rp 30 ribu.

Memasuki pintu penjagaan, kamera digital terfilter disini. Kemudian kami memasuki lapangan yang lumayan luas, suasana masih cukup lengang. beberapa tenda berjejer dibeberapa lokasi. Satu tenda khusus menjual merchandise resmi IF, seperti T-shirt, dompet, tas pinggang, juga beberapa kaset dari album lawas tapi baru, masih bersegel. Hebatnya, kaos disini harganya sama dengan yang dijual dipinggiran jalan tadi. Bedanya, jika yang diluar dengan berbagai merk, kalo yg di dalam, di lapangan ini, yang resmi, hanya bermerk satu, Iwan Fals, cape deeeeeh, kenapa tadi mesti beli di luar ya? gpp, deh. Namanya kita juga anak baru, belum paham situasinya, hehehe.

Di tenda ini, kembali sebuah T-shirt terpilih olehku, 2 dompet tuk anak-anak, 1 tas pinggang dan 9 kaset terbawa olehku. Pokoknya asyik, sekali lagi, asyik.

Jam 15.25, pintu utama ke panggung dibuka. Kami masuk satu persatu. Sementara, kami ambil posisi di bagian belakang. Ini mainan baru buatku, mengingat bawa keluarga cari lokasi aman, di bag belakang saja.

Jam 15.30 sesuai dengan jam yang tercantum dlm tiket, Bang Iwan keluar dari sisi kiri panggung, diikuti oleh para personel band. Penonton yang tadinya banyak berduduk rapi serentak berdiri dan maju kedepan.

Tanpa banyak orasi pembukaan, Iwan Fals langsung menggenjot dengan 2 buah lagu cintanya berturutan. Sembari bergoyang dibelakang, ikut berteriak-teriak bernyanyi, kuamati situasi di depan. Mata dan otak malingku segera bekerja. Cukup aman nih, batinku. Istri dan anak-anak kutinggal dibelakang, aku mulai bergerak maju ke depan panggung bagian kiri. Tak lama kemudiam, sudah berdiri di posisi paling depan. Kembali di sana saya bergoyang dengan lagu-lagunya bang Iwan. Usai lagu ke empat, saya tinggalkan lokasi baru itu, tuk menjemput anggota pasukan yang masih dibelakang.

Lagu kelima baru berjalan separuh, lapangan mulai padat, awan gelap mulai menggantung dilangit. Lagu kelima hampir usai ketika kami, aku dan anggota pasukan yang kubawa sudah berjejer rapi dibarisan paling depan, dekat panggung, ditali pembatas. Kami bernyanyi dan bergoyang disana.

Sampai dengan jam 17.00 an, begitu banyak lagu cinta dinyanyikan, mulai Kereta Tiba Pukul Berapa, Ku Menanti Seorang Kekasih, Entah, Aku Kau dan Bekas Pacarmu. Silahkan sahabat sebut semua lagu cinta bang Iwan yang kalian kenal, hampir sembilan puluh lima persen dinyanyikan kali semua. Mantabbbz sekali.

Selepas jam 17.00, Iwan Fals mulai panas, ia lebih banyak bernyanyi sambil berdiri, sesekali berjingkrak-jingkrak. Saatnya mulai nyanyi lagu cinta yang nostal-gila, kata bang Iwan. Meluncurlah lagu Lonteku dan sejenisnya.

Ada kejadian lucu sewaktu deting piano awal lagu "Yang Terlupakan" mulai terdengar. Seluruh penonton berdiri dan bernyanyi sambil menggoyangkan tangannya ke kiri dan ke kanan. Bang Iwan dan semua personel yang terkejut melihat kami semua bernyanyi, mendadak menghilang ke belakang panggung. Tinggal pemain keyboard seorang yang mengiringin kami bernyanyi. Selepas itu, panggung kosong melompong. Selepas refrain, kami tertawa semua menyadari keadaan ini. Denting keyboard masih berlanjut. Bang Iwan dan personel muncul kembali, mulai ikut bersama kami bernyanyi.

Selepas usai lagu ini, Iwan Fals berbicara "Tuh, kerenan suara situ, jadi minder....'. Kami pun tertawa ngakak. Oh ya, sebelum bagian lagu-lagu cinta yang sedikit edan-edanan ini, KD sempat berduet bernyanyi bersama Iwan Fals. Lagu pertama adalah lagunya KD yg sedikit diubah aransemennya, sebagaimana kita tahu, KD tak boleh lagi menyanyikan lagu-lagunya yang diaransemen oleh Erwin Gutawa. "Semoga tak ada mata-mata yang dikirim oleg EG kemari" kata Iwan Fals. Lagu berikutnya, mereka menyanyikan lagu baru dari album 50:50. Hebatnya, setelah KD turun panggung, bang Iwan menyanyikan sebuah lagu milik KD. Satu penghormatan dari seorang senior kepada juniornya yang luar biasa.

Sempat pula saya terkejut, setelah bang Iwan menyatakan semua hasil pendapatan tiket, dari pertunjukan ini, juga yang bulan Januari kemarin, maupun bulan-bulan berikutnya akan disalurkan bagi yang membutuhkan. Bang Iwan sempat pula membacakan hasil perolehan tiket bulan Januari yang lalu. "Kok jadi kata di masjid ya, hehehehe...." komentar Bang Iwan di penghujung penjelasannya. Luar biasa memang, walau hasil yang di dapat tidaklah terlalu banyak, mengingat harga tiket yang hanya Rp 30 ribu dengan kapasitas penonton yang hanya beberapa ratus orang itu saja. Tapi, sungguh luar biasa Bang Iwan ini.

Pertunjukan usai molor dari waktu yang ditentukan 17.30. Semua personel tampil kedepan, saling berrangkulan dan nunduk ke arah penonton tepat ketika jam sudah menunjuk pukul 17.45. Itupun karena mengingat adzan maghrib sebentar lagi akan segera berkumandang.

Puas hati rasanya. Ku kan kembali tgl 15 Maret nanti ke sini, ke Panggung Kita, bernyanyi bersama lagi dalam tema "Untukmu Negeri". Kebayang, pasti lebih seru.

Terima kasih bang Iwan, untuk lagu dan semangat cinta yang kau kobarkan dalam hati ini.
Sukses dan sehat selalu buat bang dan keluarga, amin...

Kamis, 21 Februari 2008

Super Hero Aquanus Akan Hadir Kembali

Teman-teman penggemar komik Insyaallah Maret 2008 ini, Aquanus bisa hadir untuk meng-hibur kita semua, dengan judul "Benua Ke Tujuh".

Komik ini merupakan kerja sama antara Studio Metha (Yogyakarta)dengan Neo Paradigm (Surabaya). Aquanus: "Benua Ke Tujuh" adalah karya bersama teman-teman Neo Paradigm (Berni, Dwi "Jink", Arief, dan Nico).

Aquanus dicetak berwarna di atas kertas mate paper dengan cover di atas art paper. Jumlah halaman 108 Ukuran 17 x 24,5 cm. Harga komik direncanakan antara Rp 35.000 - Rp 40.000 (kepastiannya masih menunggu deal akhir dari percetakan).

Semoga munculnya Aquanus dapat mengobati kerinduan kita semua.

A. Makhfat
NB.
(1) Teman-teman Neo Paradigm akan mengupload beberapa halaman contoh di neoparadigm.multiply.com.
(2) Pre order juga sudah dibuka lewat makhfat@yahoo.com atau sms ke 0818 269 291. Pesan lebih dari 5 eksemplar, gratis ongkos kirim lho.

Sumber: millis komik indonesia, by Akhmad Makhfat

Senin, 18 Februari 2008

Sedikit Cerita dr Launching Buku Asma Nadia Kemarin

Kemarin hari Minggu jam 02.00 siang kami sampai dipelataran parkir TB Gramed Matraman. Berhubung saya & pasukan yg saya bawa serta belum sempat makan siang, kami pun makan di Resto Pirlan, tepat di depan TB tsb. Banyak menu ditawarkan disana. Dari sate madura, bubur ayam, mie ayam, siomay, sate padang, gorengan plus aneka minumannya. Soal pilihan menu, jangan kuatir, segala aya-lah. Menu fav'rit saya sendiri di resto Pirlan itu adalah sate padang. Enak, yummie dan harganya pun cuma Rp 8.000 per porsi. Mantabbbz.

Setengah tiga kami menuju tempat launching buku. Tepat seperti perkiraanku, pasti terlambat. Deretan kursi lumayan penuh terisi, saya dan rombongan pun mendengarkan sambil berdiri. Di dekat kami, buku-buku baru di pajang rapi, mulai dari "One Gigabytes of Love", 'Catatan Harian di Setiap Sujudku, Risalah Cinta". Istri mengambil dua judul buku pertama. Buku OGOL sendiri merupakan hasil rekomendasi saya. Menarik juga membaca buku kumpulan cerpen para pengarang yang terkumpul dari anggota multiply.com itu.

Di depan, ada 3 penulis sbg pembicara, yakni: Asma Nadia, Nasanti dan Pritha Pinkq. Semuanya terlibat dlm buku OGOL. Sementara itu, Helvy Tiana Rosa yang menerbitkan buku Risalah Cinta tidak bisa hadir.

Kupasan isi buku, tanya jawab dengan penonton sembari bagi-bagi buku. Momen terindah di penghujung akhir acara, bu jendral RT saya bisa duduk berdampingan dengan penulis fav'rit-nya, Asma Nadia, sembari meminta tanda-tangan di buku yang barusan dibelinya. Sungguh menyesal, ia terlupa membawa koleksi buku2 dari penulis tersebut yang telah lama dikumpulkannya.

Sementara bu jendral, berfoto-foto, saya sempat ngobrol dengan Nasanti. Cerita punya cerita, saya sampaikan juga, bahwa sayapun memiliki blog di multiply. Sedikit terkejut, Nasanti menanyakan id saya. Begitu mendengar nama id saya, ia berseru sedikit kaget. 

"Loh?, bapak yang penggemar roman-roman sejarah itu ya?" tanyanya.

Saya sendiri cuma nyengir kuda.

"Kalau tak salah sedang bikin cerita tentang kerajaan apa ya?" lanjutnya lagi.

Wah, sang kuda pun semakin salah tingkah...  :-))

* gambar menyusul ya... ga bisa upload dr kompie kantor nih...  :-((

Minggu, 17 Februari 2008

Lembayung Majapahit - Bag. Kedua-puluh (20)

Senang rasanya bisa mengupload kelanjutan dari kisah sederhana ini. Setelah beberapa minggu ditinggalkan dan diendapkan dalam laci pikiran saja. Kisah mulai menjadi rumit, sementara keinginan untuk mencari sela terbaik baik isi cerita maupun sudut penuturan menjadi kepusingan tersendiri.

Bacalah buku-buku lainnya yang sejenis dulu. Akh, nasihat bijak itu seringkali bergaung didalam benak. Keinginan terbesar adalah memulai untuk membaca sekaligus menuntaskan buku Senopati Pamungkas 2, secara periode waktu Bocah Mada kecil hingga remaja bertepatan dengan setting waktu pada buku itu.

Apa yang terjadi dengan Ki Ajar Galura setelah mengetahui bahwa sepasang keris yang berhasil diambilnya hanyalah keris turunan semata? Bagaimanakah sikap yang diambil oleh Ibunda Prabu Tribhuanatunggadewi terhadap beberapa Senapati yang di penjara oleh Gajah Mada? Bagaimanakah sikap para senapati itu ketika mereka dibebaskan?

Sementara, cerita Bocah Mada yang tumbuh dari ia berusia 5 sampai 15 tahun menempa diri di lereng gunung Arjuna sendiri sungguh menarik untuk dikupas tuntas. Masa-masa mesu diri yang melelahkan. Belum lagi berbicara tentang peran Senapati Dalam Istana Halayudha yang memiliki sejuta akal untuk satu masalah yang ia hadapi, khususnya terhadap remaja sang Gajah Mada.

Terlepas dari itu semua, Gajah Mada ternyata dibawa oleh sang Brahmana dari istana utama yang didiami oleh Raden Wijaya, prabu Majapahit yang pertama. Siapakah sebenarnya orang tua dari bocah Mada ini?


Sang Brahmana dari Nusa Penida, Bali di masa akhir pendadaran Gajah Mada, sebelum ia kembali ke dalam lingkungan istana dalam, Sang Brahmana memerintahkan Gajah Mada mencari keberadaan sebuah pusaka berbentuk segitiga, peninggalan dari para leluhur yang agung, jauh sebelum kepulauan Nuswantara sekarang terbentuk. Dimanakah ia harus mendapatkannya? Bagaimana caranya? Konon, pusaka segitiga itu merupakan perlambang bangkitnya kembali kejayaan Nuswantara selanjutnya. Pusaka apakah itu? Dengan pusaka itu Gajah Mada mengawali perjuangan panjangnya, dan karena pusaka itu pula Gajah Mada menyembunyikan semuanya.

Begitu banyak yang masih harus diungkap. Tenang saja, jangan terburu-buru. Semua ada waktunya sendiri-sendiri.

Salam hangat selalu...
----------------------------------

Padepokan Watu Gunung, tepatnya berada di lereng sebelah timur Gunung Arjuna. Berada pada satu dataran yang merupakan puncak dari satu bukit. Bagian depan dan belakangnya merupakan lereng-lereng curam. Namun, padepokan itu memiliki jalan penghubung berupa jalan setapak diarah kanan dan kirinya, cukup lebar untuk dilalui sambil berkuda.

Dari arah lembah, dengan berkuda melalui jalan sebelah kiri, kira-kira akan memerlukan sepenginangan[1] waktu untuk sampai di padepokan itu. Sebaliknya, orang bermaksud naik ke puncak gunung itu, mereka harus mendaki memalui jalan setapak yang ada di sisi kanannya.

Bangunan utama padepokan Watu Gunung berada ditengahnya, dikelilingi oleh bangunan-bangunan lainnya yang berukuran lebih kecil. Cantrik padepokan itu sendiri tidak banyak, hanya berkisar seratusan murid saja. Mereka ngangsuh kawruh berbagai ilmu. Tak semua murid di sana belajar oleh kanuragan jaya kasantikan semata. Sebagian besar murid justru lebih banyak mendalami cara bercocok tanam, baik untuk memilih bibit padi, membuat pengairan, menentukan musim tanam dan musim panen. Juga belajar membuka lahan baru sebagai petegalan. Hanya sebagian kecil diantara mereka yang memperdalam kemampuan dalam olah sastra.

Apapun yang diminati oleh para cantrik di situ, Ki Ajar Watu Gunung mengharuskan mereka semua mendalami olah batin dengan kegiatan keagamaan, memanjatkan doa-doa pujian kepada para dewata di Khayangan.

Tengah malam itu, Ki Ajar Watu Gunung masih bersemedi di sanggar pamujan. Ruangan pamujan itu sendiri tak terlalu besar, di dalamnya hanya terdapat peralatan-peralatan yang biasa digunakan untuk keperluan pemanjatan doa-doa dan pujian kepada dewata yang agung. Beralaskan tikar pandan, Ki Ajar tengah duduk bersila di bagian tengah ruangan. Napasnya mengalir teratur, seperti orang yang tengah tidur pulas. Matanya terpejam, kedua telapak tangannya menangkup menyatu di dadanya. Iringan doa perlahan keluar dari mulutnya tanpa putus-putusnya. Bersatu dengan derasnya asap pembakaran kemenyan dan dupa yang terbang mengangkasa dari sebuah tungku kecil dari tanah liat dihadapannya.

Sementara itu, keadaan di luar padepokan penuh dengan kabut. Hawa dinginnya serasa menusuk tulang. Sesekali dari arah puncak gunung terdengar raungan garang harimau. Raja hutan itu biasa memberi tanda dengan bau air kencingnya sebagai peringatan harimau lainnya tidak memasuki wilayah kekuasaannya. Ular bandotan yang memiliki badan sebesar paha manusia, tengah bertengger di dahan pohon randu alas raksasa. Sejenak ia menegakkan kepalanya ketika raja hutan itu meraung garang tak jauh dari tempatnya. Namun, ia tak terlalu peduli, sejenak kemudian, ia menurunkan dan meletakan kepalanya kembali ke dahan pohon, tidur. Dirinya tak bernafsu untuk menghadapi sang raja hutan itu. Perutnya masih penuh setelah ia berhasil memangsa seekor induk kancil sehari sebelumnya di tepi sebuah danau

Ruang dalam sanggar pamujan kini telah sepi, tak terdengar lagi bacaan doa-doa dari mulut orang tua itu. Perlahan mata Ki Ajar Watu Gunung terbuka. Ia amati bara api yang semakin mengecil, asapnya semakin surut pula. Tangan kanannya terjulur mengambil potongan-potongan kecil batu kemenyan, ia letakan beberapa ke dalam tungku api itu. Lalu ia ambil pula sejumput butiran halus serbuk dupa, ia taburkan di atasnya. Sesaat nyala api membesar dan membakar potongan-potongan kemenyan itu. Asap pembakaran semakin banyak mengepulkan, menghantarkan asap wangi memenuhi ruang dalam sanggar pamujan itu.

Mata batinnya yang setajam eri pandan mendadak berdesir keras. Sejenak Ki Ajar mencoba memejamkan matanya kembali, ia coba kerahkan panggraita dalam hatinya. Perlahan ajian sapta pangrungu ia bangkitkan dari tidurnya. Berlandaskan ilmu itu, kemampuan mendengar telinganya akan meningkat dan memiliki ketajaman tak kalah dengan telinga burung guwek.

Hemmm, saatnya telah tiba. Sebentar lagi, mereka akan sampai di sini” ucapnya di dalam hatinya.

Perlahan ia mulai rapikan kembali peralatan untuk pamujannya. Setelah semuanya dirasa telah pada tempatnya, Ki Ajar Watu Gunung mulai melangkah keluar sanggar dan menuju ke halaman depan padepokannya.

Tepat di tengah halaman depan, orang tua itu mendongak ke langit. Dengan seksama ia perhatikan susunan pijar bintang yang satu dua mulai menampakan diri. Langit mulai bersih, gulungan awan telah menjauh tertiup angin sedari tadi. Tiba-tiba, matanya terpaku oleh satu bintang yang dilihatnya bersinar sangat terang jauh di langit utara.

Hem, sepertinya bakal ada kejadian besar yang akan di alami oleh bumi Tarik ini. Peralihan masa dari Singasari ke Wilwatikta sepertinya sesuai dengan kehendak para dewata. Semoga saja, aku dan sahabatku itu, tak salah menyimpulkannya” hati Ki Ajar Watu Gunung mencoba mencari keyakinan atas kesimpulannya itu.

Akh, kenapa aku mesti pusing sendiri? Bukankah lebih aku tunggu saja sampai ia datang kemari dan aku bisa membicarakan hal ini berdua dengannya” orang tua itu berusaha menutupi keresahan hatinya.

Perlahan ia memutar balik badannya, menuju satu amben yang terletak di teras depan padepokannya. Perlahan Ki Ajar Watu Gunung menaruh badannya di atas amben itu. Ia duduk bersikap semedi, bersila. Perlahan ia pusatkan semua kekuatan nalar budi yang dimilikinya.



[1] Sepenginangan = jumlah waktu yang dihabiskan seseorang untuk menginang. Menginang sendiri merupakan kebiasaan masyarakat Jawa masa lampau, berbahan baku: daun sirih, injet, buah jambe dan gambir. Keempat bahan itu bisa ditumbuk terlebih dahulu, biasanya menggunakan alat yang khusus untuk keperluan itu, terbuat dari besi kuningan. Hasil tumbukan tsb kemudian dikunyah-kunyah sampai habis rasanya, seperti kita memakan permen karet. Setelah proses menginang tsb selesai, orang biasanya akan melanjutkan dengan “menyusur”, yakni membersihkan gigi yang berwarna kemerah-merahan akibat menginang tadi dengan racikan tembakau. Seluruh proses ini bisa memakan waktu sekitar 30 menit, bisa lebih bisa kurang.

Jumat, 15 Februari 2008

Dari Inbox Pagi Ini...

Pagi ini, dari inbox mail, saya dapatkan sebuah pesan singkat yang dikirimkan dari seorang sahabat terkait dengan kisah Lembayung Majapahit.

Jika sebelumnya, ada yang menawarkan untuk membantu saya sepenuhnya, untuk membukukan kisah LM ini, kali ini, seorang sahabat lainnya, menawarkan untuk mengkomikkan kisah ini.

Saya pribadi, menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kesempatan yang ditawarkan dan diberikan kepada saya tersebut. Jujur saja, disisi lain, hal ini justru membuat saya miris hati. Timbul pertanyaan dalam lubuk hati terdalam, apakah nantinya saya dapat menuntaskan kisah ini dengan sebaik-baiknya?. Maklum saja, ini adalah kali pertama saya membuat tulisan, baik untuk saya pribadi sendiri, apalagi sebaliknya.

Sekali lagi, terima kasih untuk semua sahabat yang telah membantu, mendorong hingga lahirnya tulisan ini. Tanpa kalian semua, "I am just a nothing" di dunia yang baru sama sekali bagi saya, yakni: menulis.

I love all of you...

Senin, 11 Februari 2008

Buku Update Hari Ini, Senin 11 Feb 2008

Wuih, indah nian hari ini... sesampai di rumah, turun dari tomor, eh anakku yg bungsu langsung berlari menghampiriku dengan membawa amplop coklat, cukup tebal.

"Apaan tuh, de?" tanyaku.

"Nih, pah... paket buat papa... kayanya itu buku deh... dari om Langit" jawabnya sambil mengulurkan tangannya mengajakku salim. Memang sudah menjadi kebiasaan di rumahku, jika salah satu anggauta rumah keluar rumah, bepergian gitu, entah ke pasar, ke sekolah ataupun gawe, begitu masuk rumah harus di sambut dengan mengajak bersalaman. Kami nyebutnya dengan istilah "salim" itu tadi.

Upz, sori.... kok jadi ngelantur masalah salim ya... kembali ke soal paket tadi...

Begitu masuk ruang dalam, segera kubuka amplop itu... dan, woww woww... ternyata benar friend... isinya sebuah buku terbaru dari Mas Langit Kresna Hariadi yang berjudul "Candi Murca 2 - Air Terjun Seribu Angsa". Mantabbbz men...

Berikut gambar sampulnya, sekedar buat referensi kalian semua, agar jika sahabat mencari buku ini di toko buku langganan sahabat, bisa lebih mudah mendapatkannya.

Selamat berburu dan jangan ketinggalan yach... cepetan...

Kupas Tuntas - Sandyakalaning Langit Bubat

DI ATAS LAPANGAN BUBAT, TERBURAI LUKA DUA PERADABAN. ANTARA KEJAYAAN MAJAPAHIT DAN KEHORMATAN SUNDA GALUH. DEMARKASI BUDAYA MEMBUNCAHKAN PRASANGKA JAWA-SUNDA. BAGAIMANA KINI SUNDA DAN JAWA MELIHAT TRAGEDI BUBAT?

BAGAIMANA PANDANGAN LANGIT KRESNA HARIADI (PENGARANG NOVEL "PERANG BUBAT") DAN HERMAWAN AKSAN (PENGARANG NOVEL "DYAH PITALOKA") MENGENAI PERISTIWA TERSEBUT? SAKSIKAN EPISODE "SANDYAKALANING LANGIT BUBAT"

K U P A S T U N T A S

SELASA, 12 FEBRUARI
2008 PUKUL 23.30 WIB

HANYA DI TRANS7

Salam
-Bentang Pustaka-

Sumber: ResensiBuku@yahoogroups.com

Minggu, 10 Februari 2008

Ibuku, Madu Ayah Tiriku (Bag. Pertama)

Aku anak lelaki semata wayang dari ibuku. Ibuku seorang wanita jawa yang terdampar sendiri di kota yang sangat asing baginya, Jogja..Di kota gudeg inilah, ia memperjuangkan hidupnya dan juga hidupku, anak satu-satunya, yang menjadi harapannya di usia renta nanti.

Aku hanyalah seorang bocah. Di saat teman-temanku seusiaku sedang belajar di Taman Kanak-kanak, aku tetap di rumah kontrakan bersama ibuku. Aku tinggalkan Taman Kanak-kanakku sewaktu ibu membawaku minggat dari rumah beberapa minggu yang lalu. Ibu tak tahan lagi untuk hidup bersama bapak. Hampir setiap hari mereka berdua bertengkar. Bapak hampir setiap hari pulang pagi, dengan wajah lusuh, dengan mata berat kurang tidur, dengan mulut yang selalu berbau sama setiap harinya, aroma KTI yang selalu saja setia menemani malam-malam yang dilalui bapakku.

Bukan itu semua yang membuat ibu mengajakku minggat meninggalkan tepian sungai Kalimalang, tempat rumah petakan tempat tinggal kami tinggal dulu, di pinggiran Jakarta Timur. Uang. Ya uanglah sumber masalahnya. Bapak, demikian ibuku memanggilnya.Aku sendiri lebih senang memanggilnya dengan sebutan ayah. Ia seorang preman di terminal bus Cililitan. Tak setiap saat ia bisa memberikan uang, walau sedikit, cukup untuk sekedar menyalakan api kompor ibuku. Seringkali, ibuku harus pontang-panting kesana-kemari mencari kebaikan hati pemilik warung agar mengijinkannya berhutang, agar kompor kami bisa nyala, agar aku anak semata wayangnya bisa makan, sekedarnya. Hampir di setiap warung yang ada di sekitar rumah kami, ibuku memiliki hutang di sana.

"Lihatlah bapakmu itu, nak. Jangan kau ikuti jejaknya. Kau harus sekolah, yang rajin, agar kelak kau dapat hidup dengan wajar, seperti yang lain" tak pernah bosan ibu menasehatiku setiap kali bapak pulang pagi dan langsung jatuh tertidur dalam kasur. Kasur satu-satunya yang kami miliki dan kami gelar dengan alas tikar di atas tanah. Lantai petakan kami memang tanah, bukan peluran semen, bukan ubin, apalagi keramik.

Aku sendiri tak sepenuhnya paham omongan ibuku itu. Aku hanya merasakan, bapakku menyayangiku. Bapakku selalu menggendongku di pundaknya jika ia mengajakku berjalan-jalan menyusuri tepian Kalimalang.

Aku masing ingat, bulan lalu, bapak mengajakku ke pasar malam yang di adakan di lapangan bola tak jauh dari rumah petakan. Sore itu ia menyuruhku. Tak biasanya.

"Ayo, jagoanku, kau lekaslah mandi, ayah akan ajak kau melihat pasar malam" kata ayahku dengan tersenyum lebar.

"Benar yah?" Teriakku gembira namun setengah tak percaya.

"Tentu, pernahkah ayah berbohong padamu" jawabnya dengan semangat yang sama, gembira.

"Lekaslah kau mandi nak, ayah semalam dapat uang banyak, lihat itu ibumu, wajahnya ceria bukan? Ibumu pun sudah ayah suruh melunasi hutangnya di warung" jelas bapak sambil menunjuk ke arah ibuku yang sedang menyapu halaman dengan dengan sapu lidi. Tapi kulihat wajah ibuku tak menunjukkan rasa gembira.

"Ibu, ...?" tanyaku terhenti di tengah-tengah, tak dapat kuselesaikan. Aku ragu.

Ibu sejenak menghentikan pekerjaannya. Perlahan ia hirup napas panjang, mencoba memenuhi rongga dadanya dengan udara.

"Mandilah nak, ayahmu benar. Mungkin ia ingin membelikan baju baru untukmu. Atau, kau boleh beli makanan kesukaanmu di sana" tuturnya pelan. Nampak ia memaksakan senyum di mulutnya.

"Horeeeee....... aku mau dibelikan baju baru, aku mau roti pancong kesukaanku, ayah..." teriakku sambil berlari menuju halaman belakang rumah. Dengan tak sabar aku bergegas menyelesaikan mandiku.

Sore itu, aku dan ayahku sudah rapi. Badan kami serasa segar. Ibuku tak ikut. Ia lebih senang menunggu di rumah. Radio kecil yang dibelikan ayah di loakan Jatinegara menjadi teman setianya.

Seperti biasa, aku digendong dipundaknya. Kedua tanganku di pegangnya, direntangkannya agar tak jatuh. Ayah berjalan dengan gembira, walau kaki kanannya sedikit kaku. Lututnya tak leluasa ia gerakan. Ayahku tak pernah meninggalkan belati kecil panjang di kaki kanannya. Pisau itu yang mengganggu kebebasan gerak langkahnya.

Jumat, 08 Februari 2008

Agama Islam - Air Mata Rasulullah SAW

Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam.

"Bolehkah saya masuk?" tanyanya.

"Siapakah yang datang?" tanya Rasulullah dari pembaringannya kepada Fatimah.

"Tak tahulah ayahku, orang sepertinya baru sekali ini aku melihatnya" tutur Fatimah lembut.

"Suruhlah ia masuk" kata Rasulullah

Malaikat maut, Izrail datang menghampiri, sendirian, Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut bersama menyertainya.

Kemudian dipanggillah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini.

"Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?" Tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah.

"Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua surga terbuka lebar menanti kedatanganmu" kata Jibril.

Tapi itu ternyata tidak membuatkan Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan.

"Engkau tidak senang mendengar khabar ini?" Tanya Jibril lagi.

"Khabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?"

"Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman
kepadaku: - Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya- " kata Jibril.

Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang.

"Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini!" Perlahan Rasulullah mengaduh.

Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka.

"Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?" Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu.

"Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal" kata Jibril.

Sebentar kemudian terdengar Rasulullah mengaduh, karena sakit yang tidak tertahankan lagi.

"Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku"

Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya.

"Uushiikum bis-shalaati, wa maa malakat aimaanukum - peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu"

Di luar, pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan.

"Ummatii, ummatii, ummatiii -Umatku, umatku, umatku-"

Dan, berakhirlah hidup manusia mulia yang memberi sinaran itu. Kini, mampukah kita mencintai sepertinya? Allaahumma sholli alaa Muhammad wa baarik wa sallim alaihi. Betapa cintanya Rasulullah kepada kita.

Dpt dr millis tetangga, dgn sedikit perubahan untuk lebih mudah dipahami pembaca. (Use)

Senin, 04 Februari 2008

Satu Lagi Uluran Tangan Sahabat Terhadap LM

Hari Minggu kemarin, perhatian seorang sahabat kembali mendatangi saya. Sahabat ini menawarkan kesanggupan dirinya untuk membantu "Lermbayung Majapahit".

Sahabat saya ini memang seorang yang berpengalaman di dunia buku, dari hulu hingga hilir. Sebenarnya dulu sempat terpikir oleh saya untuk membicarakan tentang cerita LM ini kepadanya. Namun rasa sungkan yang menggumpal, karena ini merupakan tulisan pertama saya yang tentu saja masih banyak kekurangan dan kelemahannya.

Walaupun semangat untuk merampungkan kisah ini tetaplah besar, namun karena ke-awam-am saya terhadap dunia tulisan ini tak bisa membuat saya "pe-de" untuk membicarakannya dengan sahabat baik saya yang satu ini.

Berawal dari rasa iseng, seminggu yang lalu, saya coba kirimkan sinopsis LM kepadanya melalui email kepadanya. Sungguh di luar dugaan, di hari minggu kemarin ia telah menanggapinya dengan sangat positif. Sempat pula ia ajarkan beberapa teori penulisan kepada saya agar kisah LM ini bisa lebih baik lagi. Setelah itu, sahabat saya ini berjanji untuk membantu merapikan sebelum akhirnya menerbitkan dan mengedarkannya melalui jaringan yang dimilikinya dengan sistem yang sangat bersahabat.

Pada kesempatan ini, saya hanya bisa menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang tak terukur padanya. Terus terang, saat ini, saya belum berani banyak berjanji. Saya akan membicarakan cerita LM ini lebih detil dengannya, jika saya telah rampungkan hingga tuntas nanti. Semoga saja, kisah LM ini bisa saya rampungkan dan dapat memuaskan hati saya sendiri. Tanpa syarat itu, mungkin saja, saya hanya akan membukukan untuk beberapa sahabat saja yang selama ini mereka selalu mendukung dan memberi dorongan tiada henti kepada saya untuk menulis.

Bagaimana selanjutnya? Saat ini, sepertinya saya ingin menggarap bagian awal dan akhir dari kisah LM ini. Kedua bagian itu akan menjadi bagian yang paling penting, seru dan menantang saya.

Mohon doanya dan matur sembah nuwun kagem ingkang gusti, mugi-mugi ngijabahi, amin.

Sabtu, 02 Februari 2008

"Bunga Desa" namanya...

">http://i78.photobucket.com/albums/j89/joster091886/LeahDonnaDizon830.jpg">
Aku sengaja datang awal di cafe ini
Kami berjanji untuk bertemu
Wanita yang telah jadi "istriku" selama 3 bulan ini.
Tidak nyata,
Kami berumah tangga hanya di dunia chatt.

"Bunga_Desa" namanya.

Bulan lalu aku mengenalnya
Kami making love di chatt
Itu real...
Ada orgasme kami di sana
Berkali-kali
Bersama-sama

"Bunga_Desa" namanya.

Kupanggil dia "istriku"
Dia panggil aku "suamiku"
Kami tahu pasti,
Ada tabir tipis tak tembus mata
Ada jarak yang terentang

"Bunga_Desa" namanya.

Baru semalam kami berbuka diri
Tidak lewat chatt
Ini pertama kami bertemu suara
Dan berjanji bertemu di sini

"Bunga_Desa" namanya.

Aku memakai baju pink berbunga
Aku datang tepat 19.30
Tunggu aku di sana, suamiku....

"Bunga_Desa" namanya.

Sengaja ku pilih tempat ini
Dipojok dekat jendela
Agar bisa kupandang siapa yang datang

"Bunga_Desa" namanya.

Kini ia berdiri dihadapanku
Baju pink berbunga ditubuh sexy-nya
Dibalut blazer hitam
Ia jabat mesra tanganku
Matanya itu...
Bibir merekah merah...

"Bunga_Desa" namanya.

Ada paradok di sana
Ia sangat metropolis
Rambut recolouring 3 warna
Rebonding...

"Bunga_Desa" namanya.

Untuk saat ini,
Kami biarkan nafsu kami berbicara
Untuk sementara...

Hingga tak tahu lagi
Nanti...
Bagaimana kami akan berbagi...